SIDANG MAJELIS PUISI; MENELAAH PUISI TERDAKWA DARI SIDANG SATU KEPUISI BERIKUTNYA



MAHFUDISME Diskusi sastra di Kindai Seni Kreatif (KSK) yang diberikan nama Sidang Majelis Puisi, merupakan kegiatan mendiskusikan puisi seorang yang ditunjuk oleh Kepala Suku Kindai, Ali Syamsudin Arsy. Untuk mempertanggungjawabkan puisinya, seorang yang di sidang karyanya, pertama-tama mengenalkan diri dan karyanya. Selanjutnya dikupas, ditelanjangi, dan para hadirin akan bersenggama dengan bahasa-bahasa didalamnya, hadirin akan lebih klimaks ketika sudah membongkar imajinasi dalam karya tersebut.

Adanya diskusi ini menarik sekali. Perlu dilanjutkan kegiatan ini dengan banyaknya pengalaman yang dibawakan oleh peserta dalam diskusi yang lain, ditempat berbeda membuat suasana diskusi semakin beragam dan menambah wawasan baru-yang barangkali dapat dipetik ilmunya- sehingga memiliki kesan yang mendalam bagi perjalanan kepenulisan perpuisian khususnya di Banjarbaru.

Pentas kesenian di Meja Bundar Murjani bersama kegiatan Poetry In Action at Mingguraya, Forum Lingkar Pena, diskusi di Perpusda yang mempunyai imajinasi besar tentang kesenian Banjarbaru dalam kancah nasional dan bagaimana memposisikan kesastraan sebagai bagian pembangunan peradaban manusia.

Meski diskusi itu akhirnya tak terdengar lagi, sekali menghadiri buat saya adalah anugerah yang pernah ditemui, bahwa disini ada perencanaan yang mungkin bisa dilibatkan dalam pembangunan Banjarbaru dari sisi hiburan dan pemetaannya.

Saya ingin mengajak pada pembaca pada beberapa poin yang bisa kita renungkan sebagai penikmat diskusi sastra.

Sastra selalu identik dengan puisi. Pemaknaan puisi yang baik adalah puisi itu sendiri. Kadang si penulis masih meraba makna yang tulisannya. Sebagai peserta diskusi majelis puisi, saya sedikit masuk pada tiap puisi yang disuguhkan melalui paparan kreativitas penulisannya. Pada perjalanan sidang yang terhormat itu, saya mencoba meraba apa itu puisi? Untuk apa puisi?

Saya tidak akan membahas apa itu puisi dan untuk apa puisi, namun saya ingin memaparkan cerita dalam diskusi majelis puisi Kindai Seni Kreatif. Saya merupakan peserta dalam sidang pertama yang saya nilai cukup berkesan tentang puisi.

Ternyata dari baris puisi itu mestinya tidak dimulai dengan huruf besar. Karena kalau dimulai dengan huruf besar berupa kalimat, sedang kalimat memiliki unsur subjek, objek dan predikat. Termasuk cara menghindari tanda baca yang kental dengan kalimat.

Sidang ke-1 menghadirkan puisi karya Anna Desliani yang saya anggap puisi terbaik dari sidang yang saya ikuti sepanjang ini. Dari sekian puisi dari beberapa orang yang disidangkan disini, puisi Anna memang yang berkesan meski puisi yang ditulis spontan dan bagian petikan status dari kegelisahannya selama beberapa hari semenjak ditunjuk menghadirkan puisi. Penilaian saya hanya berkutat pada pola merangkai baitnya yang indah karena saya selalu gagal memaknai sebuah puisi baik dan tidaknya.
Majelis puisi memasuki sidang yang ke-2. Puisi yang dihadirkan memiliki catatannya tersendiri dalam sidang itu. Sidang ke-2 ini menghadirkan penulis amatir yang mulai menemukan jiwanya dalam kesunyian puisi. Ia pengagum wanita yang di ekspresikan dengan bait penuh keraguan. Mungkin keraguannya hanya terjadi dalam puisi buat si “putri malu” entah lah ia berhasil jadi rangga buat mendapatkan cinta? Orang tersebut bernama Muhammad Iqbal. Udah itu aja.

Sidang ke-3 bagi saya merupakan puisi yang perlu diperhitungkan dalam memulas kegelisahan yang sebenarnya. Pemaparan kreativitasnya dalam penulisan yang sederhana membuat peserta kadang terjebak. Puisinya pemberontakan terhadap keadaan penulis melalui beberapa pertanyaan yang kemudian mencoba dijawab sendiri dan pada saat bersamaan mengajak orang untuk memecahkan pergulatan batinnya. Iyalah Abdul Karim.

Diskusi ke-4, meski tidak hadir saya sedikit membaca. Puisinya pada intinya tentang nasehat bagi dirinya dan juga peserta. Puisi seperti ini kadang ketika didiskusikan akan timbul kesan bahwa penulisnya sangat pemula, pola pemakaian diksinya juga terlalu klise. Saya belum pertemu penulisnya apakah memang pemula atau sudah malang melintang? Orang itu bernama AkhmadCahyo Setio.

Mendatangkan penulis dari mahasiswa jurusan bahasa dan sastra indonesia, sidang majelis puisi ke-5 sedikit dikejutkan dengan pola puisi dengan rangkaian judul berita yang mencolok. Kesan membuat perbedaan dalam cara penulisan saya rasa gagal oleh keraguannya ketika menjelaskan selalu menyebut “mungkin”. Tidak tegasnya itu menjadikan peserta ragu apakah benar puisinya ia tulis karena masih meraba maknanya.  Dia Akbar Rizky Sholeh.

Kehadiran terdakwa puisi penulis senior membuat saya berprasangka baik bahwa sidang majelis puisi ada peningkatan kualitas karena mendatangkan penulis yang sudah memiliki nama tersendiri di kalimantan selatan. Namun ternyata puisinya tak ubahnya coretan dalam keadaan ngantuk.. Cuma sayangnya pada diskusi majelis puisi ini pesertanya adalah para menikmat yang santun. Memiliki etika yang baik berdasarkan kesepuhan. Sidang ke-6 ini menghadirkan Gusti Ardiansyah.

Penulis: Ali senior, penulis musiman, Kabupaten Banjar.
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar