MARI KITA BERNYANYI SEJENAK WAHAI MAHASISWA PECUNDANG!



MAHFUDISME Berpisahlah denganku, meski kumenangis ingin tinggal di relung hatimu.

Hari-hari esok adalah milik kita... terciptanya masyarakat sejahtera...”

Tiba-tiba irama lagu ini berputar-putar dilangit fikiranku, dan pelan-pelan bergerak masuk ke seluruh aliran darah, bergelora. Ia tak ingin menghentikan peredaran darahku, tapi membuat jantung berdetak seakan hari ini akan berakhir.

Aku masih menjabat sebagai mahasiswa. Jabatan tertinggi di kampus adalah mahasiswa. Karena tanpanya, perguruan tinggi bukanlah apa-apa. Kampus tak lebih indah dari kebun beton dipinggir kota. Berjendela kayu atau kaca. Bagiku, udara tetap masuk lewat rongga.

Barangkali, jabatan tertinggi ini telah kalah. Perguruan tinggi tak lagi merasa sepi, melainkan mahasiswa telah dibungkam kepalanya sendiri. Puluhan tugas datang satu dua kali, seperti bedil yang menghujam puluhan ribu kali, tapi kita tak mati-mati. Barangkali kita beruntung punya kepala yang angkuh dan sok-sokan paham bagaimana mengendalikan peluru layaknya game. Di bunuh perlahan dan terulang hingga seolah berkali-kali kita hidup lagi. Jika sudah demikian, kematian batin dan kebebasan tak lebih buruk dari lumpuhnya segala indera.

Aku tahu setidaknya satu dua soal perihal mahasiswa. Mereka ingin membahagiakan orangtua, dan ini benar-benar harapan yang luhur. Lalu mereka ingin hidup layak di Indonesia: bergelar sarjana dan punya jabatan lebih dari sekadar “jabatan tertinggi” di kampus.

Sayang sekali, intelektual, kecerdasan, dan kepintaran mereka tak bisa dinikmati kaum proletar. Kepala sarjana sekarang dikuasai oleh buku-buku kapitalis. Mahasiswa terikat sistem dan lalu merengek seperti anak kecil yang ingin cepat-cepat kelar sekolah SD. Mereka benar-benar paham menjadi orang payah lalu nyampah dimasyarakatnya.

Inilah Indonesia, jalan bersama-sama, bikin aturan lalu digugat ke MK jika kurang cocok. Bagaimana bisa, bangsa kita tetap kaya ratusan tahun tanpa usaha yang jelas, sementara orang-orang yang ada di desa hidupnya semakin berantakan hanya sekadar beli kopi. Indonesia tetap milik bersama, bukan? Kau bangun lapangan penerbangan dengan penyisihan lahan yang amat ketat. Setelah jadi, bisakah kami yang pernah melepaskan lahan dengan lerai air mata menikmatinya juga? Ah, kau bakalan bilang, kami tak punya uang.

Hidup sebagai mahasiswa amat sederhana. Belajar sampai lulus dan akhirnya kerja. Terus, untuk siapa lagi lagu ini cocok dinyanyikan? Bagaimana bisa kita katakan, hari esok adalah milik kita? Sementara, istilah “sejahtera” saja, kita tak pernah paham betul, apalagi cara menciptakannya. Barangkali, mahasiswa tak punya apa-apa, selain tekad menjadi sarjana dan lulus bekerja. Semoga tidak.

Marilah kawan mari kita kabarkan di tangan kita tergenggam arah bangsa, marilah kawan mari kita nyanyikan sebuah lagu... tentang pembebasan

Kau ingin Indonesia seperti apa? Bersih tanpa korupsi. Adil tanpa menghakimi. Atau damai yang benar-benar terjadi. Kalau bersih tanpa korupsi, mahasiswa mungkin tahu. Karena contoh kasus korupsi telah banyak terjadi. Adil tanpa menghakimi, mungkin juga akan tahu. Karena contoh kasus penghakiman yang tak bisa dilawan juga kerap kali terjadi. Jadi, bersih dan adil, mungkin sedikit terbayang seperti apa.

Tapi, tenteram yang benar-benar damai, mahasiswa harus tahu, bahwa tak ada yang boleh menangis karena kelaparan di tengah sumber daya alam yang melimpah-ruah. Tak ada yang boleh berkelahi hanya karena rebutan sembako dan dibagi pada musim pemilihan yang tak lama lagi.

Tak ada yang boleh bersedih karena tempat tinggal kumuh digusur lalu diganti gedung beton berbayar. Tak ada yang boleh merasa ingin pergi dari Indonesia benar-benar kaya, sejahtera. Kita Indonesia, seluruh rakyat rajanya, sistem sebuah susunan untuk kebaikan dan aturan tak lebih dari tulisan yang ingin meluruskan. Jika sistem dan aturan malah mengubah kita, bukan lagi menjadi Indonesia yang Pancasila, bukan berarti kita harus mengabaikannya, tapi kita tidak lagi menjadi tuan di tanah kita sendiri.

Mahasiswa harus bebas namun beraturan, bukan diatur dan tak dapat kebebasan. Karena mereka adalah ribuan kaum intelektual, yang ditunggu-tunggu seluruh anak kecil di Indonesia. Karena di tangan mahasiswa, arah bangsa ditentukan. Apakah saling mencintai? Atau berkhianat paling disukai? Bagiku, mencinta atau mengkhianat, adalah bagian dari belada hidup. Apapun itu, lakukan pada orang lain dengan cara dan tujuan yang baik sebagai kau mahasiswa, juga manusia.

Penulis: AnnaDesliani, penulis kelahiran Pegatan, Kalimantan Tengah
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar