KUNCI SEGALA KUNCI YANG MASIH TERKUNCI DALAM PIKIRAN KITA



MAHFUDISME Kunci merupakan alat membuka segala kemungkinan yang tersimpan disuatu tempat tertutup. Tempat tertutup membatasi ruang gerak seorang yang ada dalam ruang tersebut, begitu pun diluar. Ruang-ruang yang memungkinkan menyimpan berbagai barang penting untuk dinikmati bersama. Kemudian pembatasan ruang ini dikelola sebagai media yang nantinya bisa berubah menjadi terbuka bagi siapa saja.

Ruang yang tidak terkunci dapat dipahami sebagai ruang terbuka. Ketika ruang dinyatakan sebagai ruang terbuka, maka ruang itu dibebaskan tanpa batasan yang membelenggunya. Diantara belenggu batasan ini adalah kunci dari ruang itu sendiri. Okelah, saya akan membahas kunci dan kepercayaan kita sebagai manusia terbuka.

Saya sangat terganggu dengan istilah kunci karena menyimpan tabir pembatas. Fisolofi kunci adalah alat membuka ruang yang lebih besar. Misalnya rumah terkunci. Seorang tidak akan bisa masuk pada rumah tersebut hingga kunci itu dapat membukanya. Membuka kunci saya anggap sama dengan membuka kepercayaan pada rumah itu serta perangkatnya. Saya terkunci berarti saya di batasi ruang geraknya. Mengunci seseorang merupakan pembatasan kepercayaan pada orang itu.

Bagaimana kalau pembatasannya di ruang buplik? Kunci merupakan bentuk kewaspadaan kita pada suatu barang yang dikuasai oleh kita. Kemudian kita boleh saja memaknai kunci sebagai moralitas yang melekat dalam diri manusia.

Pengibaratan kunci sangat beragam: kunci sukses adalah ilmu. Kunci berilmu adalah giat untuk mencari yang kita perlukan, disitulah ilmu akan tampak bagai rumah yang penuh dengan permainan menarik. Memasukinya perlu jalan yang tepat dan terbuka.

Sehubungan dengan kunci, saya memiliki sederet pengalaman terkait padanya, namun terasa menjengkelkan. “terganggu” Istilah yang melatarbelakangi saya menulis tentang kunci. Ya, cuma kunci yang bikin saya selalu dilanda kesialan.

Kunci dari tilang yang saya alami karena tidak fokus bahwa saya tidak memiliki SIM dan surat menyurat kendaraan yang pada mati. Kunci saya tidak lulus kuliah sampai semester berlusin, karena saya tidak mengerjakan tugas akhir. Menyebut skripsi saja saya harus bermeditasi. Berkonsultasi pada jiwa-jiwa yang tenang karena terkunci oleh mimpi yang terus berfantasi bersama puisi. Bangsyattt banget puisi.

Ada poin lain tentang kunci itu sendiri. Yaitu terbangunnya kepercayaan kepada orang lain bahwa disana ada hak dan kewajiban dalam diri manusia. Kok ngelantur ya? Ini adalah kunci sebagai benda pengaman. Apa yang perlu diamankan dari kita mesti beri kunci supaya seorang tidak boleh menggunakannya. Kunci sebagai policy etika. Akayy, sok tau etika saja.

Selanjutnya, ternyata kunci itu tidak selalu jadi keamanan, karena pada saat yang bersamaan, kunci bisa membesarkan bias kecurigaan pada seorang. Saya kunci kendaraan ini misalnya, karena saya curiga disini ada maling baik berbentuk maupun tak berwujud halnya pikiran kita tentang maling itu sendiri. Saya menganggap maling merupakan bagian dari saya menciptakan maling karena bagaimana mungkin anda maling kalau bukan saya memvonis anda sebagai maling?

Kunci keamanan saya rasa disebabkan terlalu besarnya kita mencurigai sesuatu karena kita penguasa atas suatu itu. Seandainya kita membiarkan kunci terbuka dan membebaskan batasan ruang dengan sedikit melonggarkan kecurigaan yang kadang orang merasa terusir atas sikap kita mengedepankan kewaspadaan berupa jaga-jaga “kalau saja” ada kejadian yang tidak di inginkan menimpa kita.

Saya menghargai para tukang membuatkan kunci pada pintu. Dan saya juga menjunjung privasi seorang sehingga untuk menyapa anda saja saya tidak ada keberanian.

Sungguh, saya mau menyapa anda saja tidak berani. Apalagi saya memanggil anda dengan istilah pergaulan yang melekat sebagai tradisi tertentu. Misalnya saya bercakap pada penjual pentol. Untuk menyebutkan paman yang sudah menjadi baju kesehariannya saja saya menarik diri. Dalam hazanah kita orang Banjar, setiap penjual perempuan adalah acil untuk mengganti nama tanpa batas usia, mau dia bocah atau oma-oma tetap acil. Bayangkan betapa terkuncinya saya diruang publik pun masih tertekan. Apalagi anda kunci saya dengan penuh kecurigaan melalui penilaian luhur anda atas tubuh ini.

Anda kunci saya dengan berbagai penafsiran atas tubuh saya yang kurus, kusam, bibir pecah-pecah, mata merah menakutkan. Atas kunci itu, saya ucapkan terimakasih banyak. Sekian dulu paman mau tutup gerbang. Besok jangan lambat, kalau lambat saya kunci kamu jadi pembaca selamanya.

Penulis: Ali senior, tulisan ini terobsesi dari kerangkeng yang menjengkelkan malam di…….. 😣😣
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar