GROUP WHATSAPP DAN PIKIRAN-PIKIRAN YANG TIDAK MENGHASILKAN APA-APA



MAHFUDISME Belakangan ini saya merasa ada sesuatu yang sungguh sangat membosankan sekaligus memuakkan di tengah-tengah gembar-gembornya capres-cawapres dan huru-hara PBAK, terutama di kampus saya.

Usut punya usut, ternyata percakapan atau yang sering disebut dengan diskusi semata jalan yang menyempitkan pikiran dan alasan yang hanya sekadar alasan. Orang-orang jadi semacam anti pikiran dan ogah membahas soal politik, dan pada saat yang bersamaan orang-orang semakin mencintai diri sendiri atau yang sering juga disebut dengan narsis.

Dalam percakapan, misalnya—orang-orang hanya mampu menanggapi percakapan dengan sentimen bukan dengan argumen yang bermutu. Tunggu dulu, jangan sensi. Maksud saya bukan perckapan secara langsung bertatap muka, tetapi di dalam sebuah grup WhatsApp atau yang serupa.  

Setiap orang mustinya dan sudah saatnya membuka diri dan pikiran melalui adu mulut dan argumen berdasarkan akal pikiran yang sehat. Tentu semua orang sudah menyadari dan tahu bahwa kita hidup di era di mana informasi lebih mudah didapat.

Tetapi itu tidak lagi digunakan sebagai perbincangan yang hangat. Mengutip tulisan Uncle Rocky Gerung di sebuah artikel, bahwa ada tata bahasa baru internasional di era millenial ini. Orang tidak lagi bertanya, do you speak English? Mereka akan bertanya, do you speak Democracy, do you speak Environmental Ethics, do you speak Human Rights, do you speak Feminism?

Dunia seakan menuntut kita para pemuda tidak lagi bersikap acuh terhadap politik hari ini. Kita dituntut untuk paham tentang lingkungan, HAM, teknologi, sebab itu yang menjadi pertengkaran intelektualitas di masa yang akan datang.

Lalu bagaimana kita akan paham tentang semua itu jika kita masih menutup pikiran dan menghindari perdebatan dan kritik, seolah-olah seorang pengkritik adalah orang paling menakutkan—dan ngerinya lagi, kritik berujung pada kebencian, menganggap orang lain pro si anu dan lain-lain, seterusnya begitu.

Saya curiga, orang-orang semacam ini disebabkan kurang ngopi malam, mereka sibuk menyusun kerangka otaknya sekedar menjadi manusia, dalam kerangka otaknya yang paling dasar, mereka seolah-olah menemukan yang paling benar hingga sulit mengakui kebenaran orang lain.

Terompet politik kemarin sudah dibunyikan, sementara orang macam ini masih sibuk membedakan mana suara Young Lex dan mana suara Awkarin. Orang-orang sudah maju kemedan perang, sementara orang-orang ini hanya jadi penjaga perbatasan (ya perbatasan otak dalam kepalanya dan mengubur hal-hal yang lain).

Sangat ironis, kadang saya berpikir, kedepan kita akan semakin terkungkung dalam dada kita masing-masing, menjadikan akal pikiran sebagai agama baru yang menuntunnya kealam yang paling benar, dalam group diskusi, ini biasa terjadi. Adalah kita semakin pasrah dan semakin parah menjadi mahasiswa yang itu-itu saja, mahasiswa yang dalam kepalanya ada kubangan yang bisa diisi TPA. Ah, kalian ini…

Penulis: Abdul Karim, Penyuka Sastra, Asal Kalimantan Tengah
Editor: MAHFUDISME     

Posting Komentar

0 Komentar