IKAN ENDEMIK PENGHUNI SUNGAI BARITO BERNAMA “TONGKANG”


MAHFUDISME Bulan lalu, saya dan Ali Makki mengunjungi teman yang sudah lulus duluan, rumahnya lumayan dekat dengan jembatan Rumpiang. Jembatan yang akan mengantarkan siapa saja menuju Kota Marabahan, pusat kota di Bumi Ije Jela.

Dari Banjarmasin ke Marabahan lumayan memakan waktu cukup lama. Belum lagi jalanan yang konon katanya dikebut oleh pemerintah kabupaten masih dalam proses pengerjaan, jadi lumayan lambat. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan itu, akhirnya kami berdua sampai di rumah SyarifHidayatullah, teman yang beruntung dapat gelar serjana terlebih dahulu sebelum kami.

Agenda kami bertiga, memang sudah jauh-jauh hari kami lingkari di kalender, maklum, semuanya sibuk serta tua pula. Jadi harus dipersiapakan segala sesuatunya dengan sangat matang dan terukur. Awalnya, bukan hanya bertiga, setidaknya agenda ini dari awal berlima, karena alasan-alasan tertentu, yang berdua kalah pada keadaan.

Ya, agenda kami adalah mancing dengan menggunakan perahu kecil (jukung). Saya dan Ali baru kali pertama naik perahu yang harus penuh keseimbangan ini. Wajar saja, kami berdua agak gugup. Sementara Syarif tampak lihai mengubah arah perahu atau mendayung. “Saya sering beginian waktu masih sekolah” ucapnya. Saya mengerti, bahwa hampir semua anak disini bisa naik perahu macam ini, sekali pun sendirian.

Setelah menyeberangi sungai Barito yang lumayan luas ini dan kami sudah sampai ditempat yang konon banyak ikan-ikan, ternyata dari kami bertiga lupa bawa umpan. Padahal penyeberangan awal sudah cukup memakan keringat, sementara ini mau nyeberang lagi ngambil umpan. Kami pun berlayar lagi…

Selesai ngambil umpan dan kami sudah ada diseberang, kami pun ancang-ancang memasang umpan di mata pancing. Kami tak kepikiran bakalan dapat ikan apa, setidaknya kami memancing kesumpekan-kesumpekan hidup semuanya keluar diatas perahu kecil. Dan tibalah kami diskusi diatas perahu yang diayun-ayun itu.

“Adakah ikan yang betah ditempat keruh?” kata saya memulai

“Beberapa, tidak banyak” jawab Syarif di posisi paling ujung perahu.

“Makan sisa lumpur?” Ali menimpali yang juga posisinya diujung perahu sebelahnya.

“Dulu banyak, orang meringgi akan mendapat ikan warna-warni. Tapi kemudian permukaan daratan semakin tinggi, itu pertanda bahwa sungai ini kian dangkal, lumpur mengendap seperti penyakit” Mata Syarif terlihat pasrah, lalu sesekali ia lempar umpan ke sungai, entah sudah yang keberapa.

“terus” kataku lagi

“Iya, dulunya kita cukup mancing di pinggir sungai begini, lalu ikan-ikan bergerombolan memperebutkan umpan kita, seolah-olah ikan ini bilang ‘tangkap aku, makan aku’ gitu. Tapi setelah bertahun-tahun, entah kemana ikan-ikan ini pergi” cerita Syarif sambil mengangkat pancing dan mendapat ikan untuk pertamakalinya bagi kami.

“Berarti masyarakat sini sudah jarang makan ikan, kalau pun mau harus kepasar, begitu?” Rupanya Ali dari tadi belum puas.

“Sebagian masih mancing untuk makan ikan, tapi tahu sendirilah, kita sudah mincing 2 jam lebih hanya dapat 1 ikan, ini pun kecil sekali dengan ukuran sungai yang sebesar ini” tukas Syarif

“Apa ada perhatian dari pemerintah misalnya, soal nasib habitat di dalam sungai ini?”

“Suruh saja pemerintah menghitung sisa-sisa ikan didalam sungai ini.” Saran Ali.

“Kau pikir orang yang bekerja di dinas terkait itu bisa nyelam dan bakunyung?” Jawab saya ke Ali.

“Saya pernah kebawah sungai” Kata Syarif mengejutkan saya dan Ali.

“Serius???” jawab kami berdua serempak.

“Iya, pernah suatu malam saya menyelam di sungai ini sendirian. Jujur saya tak bermaksud mengganggu tidur ikan. Saya hanya iseng karena tidak bisa tidur di kamar” Ia berhentik sejenak mengambil napas, lalu melanjutkan “Sesampai didalam sungai, saya mendapati ikan-ikan sebagian sudah tertidur, dan sebagiannya lagi menjaga keamanan, dan dengan ikan penjaga keamanan ini saya banyak ngobrol. Katanya, memang, dalam beberapa tahun belakangan banyak dari kaumnya pindah tempat karena sudah tidak betah lagi di sungai ini, dan sebagiannya lagi terperangkap dimata kail. Saya pun nanya ‘berapa sisa kaummu sekarang?’, dia menjawab, semenjak ada hewan baru bernama “Tongkang”, semakin hari kaumnya tambah menipis, ada yang pergi entah kemana, ada juga yang mati tanpa sebab, dan ada pula betah diam hingga sekarang. ‘sekarang cuma sisa kami bertiga’ katanya. Akhirnya, setelah selesai obrolan itu, saya pun kembali naik lalu kerumah dan bisa tidur” Cerita Syarif panjang lebar.

“Tanggal berapa kamu menyelam itu?” Tanya Ali.

“10 hari yang lalu” Kata Syarif.

Mendengar cerita Syarif yang panjang dan heroik itu, sore semakin larut tak terasa, kami bertiga merapikan bawaan kami, setengah hari kami memancing, hanya dapat 3 ekor ikan. Saya dan Ali tak tahu apakah 3 ekor ikan ini adalah ikan dalam cerita Syarif atau ikan yang kebetulan lewat. Jika 3 ikan ini dalam cerita Syarif, maka tamatlah ikan-ikan di dalam sungai sana. Dan jika ada kesempatan dilain waktu, kami akan memancing lagi, siapa tahu dapat ikan tongkang warna hitam.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar