MAHFUDISME - Penyair
dan kopi mungkin adalah dua hal yang sama sekali berbeda tetapi mempunyai
keterikatan emosional. Kita sering beranggapan dan memang, bahwa ketika seorang
penyair sedang beraksi didepan buku tulisnya dan yang setia disampingnya adalah
segelas kopi yang diseduh dengan berbagai macam takaran dan tingkat kemanisan
yang berbeda-beda, sebab segelas kopi menggambarkan suasana hati yang
berbeda-beda.
Didalam
Kisah Kopi, Sebuah Kisah di Dalam Gelas,
bahwa daya tarik terbesar adalah bagaimana secangkir kopi telah membuatku lebih
mengenal kaumku, khususnya orang melayu sendiri. Semakin dalam aku berkubang di
dalam warung kopi, semakin ajaib temuan-temuanku. Kopi bagi orang Melayu tak
sekedar air gula berwarna hitam, tapi pelarian dan kegembiraan. Segelas kopi adalah
dua belas teguk kisah hidup. Bubuk hitam yang larut disiram air mendidih
pelan-pelan menguapkan rahasia nasib (Andrea
Hirata, Kopi, Sebuah Kisah di Dalam gelas, Hal 40).
Mereka
yang menghirup kopi pahit umumnya bernasib sepahit kopinya. Makin pahit kopinya,
makin berlika-liku petualangannya. Hidup mereka penuh intaian marabahaya.
Cinta? Berantakan. Istri? pada minggat. Bisnis? kena tipu.
Namun,
mereka tetap mencoba dan menciptakan. Mereka naik panggung dan dipermalukan.
Mereka menang dengan gelang-gemilang lalu kalah tersuruk-suruk. Mereka jatuh,
bangun, jatuh, dan bangun lagi. Dalam dunia pergaulan zaman modern ini mereka
disebut para player.
Mereka
yang takaran gula, kopi, dan susunya proporsional umumnya adalah pegawai
kantoran yang bekerja rutin dan berirama hidup itu-itu saja. Mereka tak lain
pria ‘do-re-mi’, dan mereka kawin dengan seseorang bernama bosan. Kelompok
antiperubahan ini melingkupi diri dengan selimut dan tidur nyenyak di dalam
zona yang nyaman. Proporsi gula, kopi, dan susu itu mencerminkan kepribadian
mereka yang sungkan mengambil resiko. Tanpa mereka sadari, kenyamanan itu
membuat waktu, detik demi detik, menelikung mereka. (Andrea Hirata, Cinta Dalam Gelas, Hal 41).
Adapun
orang yang tak pernah berbuat apa-apa dan masa mewah bergelimang waktu dan
kemudian telah menguap darinya, dan ia sadar tak permah berbuat apa-apa. Tak
pernah menjadi Imam di Mesjid. Tak pernah naik mimbar untuk menyampaikan palingtidak
satu ayat, sesuai perintah Ilahi. Tak pernah membebaskan satu jiwa pun anak
yatim dari kekusahan. Duduklah ia di pojok sana menghirup kopi dua sendok gula
yang menyedihkan itu. Kaum ini disebut para safety
player.
Ada
pula satu kaum yang disebut sebagai semi-player.
Cirinya: 4 sendok kopi, ini termasuk kental, tapi ditambah gula, setengah
sendok saja. Orang-orang ini merupakan ahli pada bidangnya. Mereka bertangan
dingin dan penuh perhitungan. Mereka bukan tipe pegang-cengkram-telan. Mereka
adalah tipe pegang-lepaskan-pegang-lepaskan.
Namun,
adakalanya mereka adalah pecinta yang romantis. Takaran kopi semacam itu
membuat mereka merasakan pahit dekat tenggorokan, namun terbersit sedikit manis diujung lidah.
Bagi mereka, hal itu sexy!.
Mereka
yang minum kopi dan hanya minta sedikit gula, lalu setelah diberi gula,
mengatakan terlalu manis atau kurang manis, merupakan orang-orang yang gampang
dihasut. Merekalah pengacau sistem politik republik karena suaranya gampang
dibeli. Mereka itu kaum yang plin-plan!. Petinggi-petinggi partai politik dan
menteri-menteri kabinet banyak bercokol di kopi macam ini.
Mereka
memerlukan susu lebih banyak umumnya bermasalah dengan kehidupan rumah tangga.
Dalam keadaan yang ekstrem-misalnya tengah berperkara talak-menalak di
pengadilan, mereka hanya meminum air panas dan susu saja, tanpa gula dan kopi.
Orang-orang ini sering melamun di warung kopi. Tak tahu apa yang sedang
berkecamuk di dalam kepala mereka. Mereka adalah para ex-player.
Namun,
ada pula yang suka minum air dengan gula saja. Tanpa susu dan kopi. Mereka
adalah burung serindit. Sedangkan
mereka yang minta kopi saja, tanpa air, dan memakan kopi itu seperti sagon, adalah penderita sakit
gila nomer 29. (Andrea Hirata, Cinta
Dalam Gelas, Hal 43).
Mereka
yang sering meminum kopi instan tanpa ampas adalah orang-orang yang serba
cepat, orang yang tak ingin
ada masalah dalam hidupnya,
padahal itu sudah menjadi masalahnya. Dan tak pernah bisa menikmati kesedihan.
Adapun
mereka yang sama sekali tidak minum kopi adalah penyia-nyia hidup ini.
Adapun
adukan dalam menyajika
kopi, juga mempunyai beragam variasi yang
tercipta, tetapi sebanyak apapun kalian mengaduknya, tidak akan menimbulkan apa-apa kecuali
sebuah lamunan yang datang turun-temurun jadi satu.
Cara
memegang gelas kopi tak sesederhana tampaknya, tetapi sesungguhnya mengandung
makna filosofi yang dalam. Mungkin, dari meneliti cara memegang gelas kopi
saja, seseorang yang menunjukkan dirinya di bidang ilmu jiwa dapat membuat sebuah
skripsi. Ada orang yang meminum kopi dengn cara mencengkramnya, ujung-ujung
kelima jarinya menempel di gelas itu berarti mereka gelisah, tapi tak berbuat.
Tetapi berbeda dengan orang yang
menggenggam gelas kopi dan melepaskannya berulang kali. Ia melakukan itu
sebenarnya untuk mengalirkan panas kopi dari telapak tangannya ke dalam hatinya
yang dingin karena merasa bersalah.
Pegangan
tangan di bawah gelas kopi menceritakan hal lain, yaitu tentang kematangan
pendirian dan kebijakan bersikap. Semakin keatas, semakin besar maknanya.
Jerami
yang dilingkarkan di bagian bawah gelas pertanda peminum kopi itu seorang yang
memiliki semua sifat mulia zodiak virgo. Mereka mengidolakan Mahatma Gandhi dan
terinspirasi Nelson Mandela. Mereka adalah pria-pria tenang yang bisa
diandalkan. Mereka tampil kemuka sebagai pembela kawan. Namun, adakalanya mereka diperlakukan tak adil dan
menjadi korban konspirasi kantor, korban salah tangkap, atau korban
kesemena-menaan istri pencemburu buta.
Mereka
yang memegang gelas kopi dengan ujung jempol dan ujung jari tengah saja, di bagian tengah
gelas, pertanda menderita karena cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Ke atas
sedikit, mereka yang menjepit gelas kopi dengan jari telunjuk dan jari tengah,
kedua jari itu sejajar, lalu pada sisi gelas sebaliknya, dengan jari manis dan
kelingking, adalah satu tindakan bodoh sebab akan membuat gelas tertungging dan
kopi tumpah.
Namun,
ketidakseimbangan itu mereka tegakkan dengan ujung jempol. Orang-orang ini
ingin aspirasinya didengar dan kemampuannya diakui. Mereka menuntut persamaan
dan adakalanya ingin dibelai-belai. Perempuan peminum kopi selalu memegang
gelas dengan cara seperti itu.(Andrea
Hirata, Cinta Dalam Gelas Hal 68).
Semakin
ke bagian atas gelas, pegangan semacam itu merefleksikan gengsi dan mengandung
makna politis. Itulah para
anggota DPRD memegang gelas kopi, karena hanya dengan cara begitu mereka bisa
memamerkan cincin batu akik besar mereka. Adapun mereka yang memegang gelas
kopi di bibir paling atas karena kopinya panas!
Jadi,
silahkan di telahaan kamu, temanmu, atasanmu, pacarmu, gebetannya masuk dalam
kategori kisah peminum kopi yang mana. Kamsia. Tabik. Dan semoga saja
warung-warung kopi pinggir jalan ada dan akan menjadi pemandangan malam yang
berkesan.
Dan
sesekali minumlah kopi sambil menonton kartun Spongebob, biar hidup ini konyol
maka tertawalah, atau sesekali sambil main game Mobile Legend dengan Hero Lesley,
biar tembakanmu
tetap di sasaran!!
Penulis: Syarif Hidayatullah, Penikmat sastra asal Marabahan, dan kini bermukim di kampung
halamannya, masih menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Editor: MAHFUDISME
0 Komentar