GEMA PENULIS FIKSI KALIMANTAN SELATAN DAN MARCON TAHUN BARU



MAHFUDISME - Mendiskripsikan penulis di Kalimantan Selatan, saya rasa melelahkan, apalagi penulis fiksi yang bertebaran dan membentuk komunitas tersendiri pada sudut kota yang ternodai oleh sampah pulusi kecemasan sosial di dalamnya, menjadikan mereka sadar betul bahwa, untuk saat ini tulisan masih menjadi senjata perlawanan.

Ya, membuat momentnya tersendiri bagi kesastraan,  15 tahun sudah Kalimantan Selatan mengadakan Aruh Sastra, menabuh gendang kemeriahan bahwa sastra membentuk kebudayaan, menyuarakan kecemasan yang sampai saat ini terus dikelola sebagai hiburan semata.

Sastra bagi Kalimantan Selatan merupakan jiwa kesatria yang selalu menerima kekalahan dibawah titah sang penguasa. Saya membayangkan para penulis sastra di Kalimantan dengan suaranya yang merdu didengar, indah dipandang seperti petarung yang kalah. Mas Budi Kurniawan, seorang  jurnalis memberikan pernyataan yang cukup dingin. “sejak kapan puisi merubah peradaban manusia” dalam arti berpengaruh atas kebijakan pemerintahan?

Petarung yang kalah selalu dikenang kehebatannya menebaskan pedang pada musuh, akan tatapi sorang petarung tak akan melukai sang raja. Dari kisah Sang Patih Gajah Mada misalnya, beliau tidak dapat berbuat apa-apa ketika di singkirkan Raja Hayam Wuruk karena merasa tersaingi. Jiwa kesatria yang ia miliki sebagai prajurit dijalani dengan melakukan moksa sampai akhir hayatnya. Apakah tokoh sastra Kalimantan Selimantan akan melakukan moksa? Atau sekedar bayang atas kilatan pedang yang tak mengenai sasaran tebas di mana pertarungan terus berkobar dengan segala kepentingan?

Pengibaratan itu saya sadari betul bagian dari cacat pengetahuan. Disamping ketidak tahuan saya atas perjalanan sastra di kalimantan selatan apakah memang memberikan sumbangsih dalam penataan tata ruang yang ekosotis sehingga sastra yang kita mainkan bukan saja jadi hiburan dan sejarah. Namun juga kreasi pembangunan.

Imajinasi Dan Brown pada bukunya yang kontroversial Da Vinci Code, kita selalu menemukan kejutan-kejutan dari tata letak ruang dimana kode menunjukan kota dibangun dengan simbol. Imajinasi yang rumit itu sebenarnya dapat kita pelajari dan dirancang sebagai pembangunan kota kita.

Saya sangat tertarik dengan pembangunan Hotel Banjarmasin Internasional (HBI) yang berhimpitan dengan kampus Islam UIN Antasari dengan jarak hanya beberapa meter. Apakah peletakan itu peran dari pelaku kebudayaan dalam hal ini tentu adalah pegiat sastra yang penuh funtasi dan simbol? Sebagaimana apa yang di gambarkan oleh pelaku sastra di luar sana. Misalnya, penulis novel “Sun City” yang entah siapa namanya, apa dalam pikirannya sehingga dia berbicara pembangunan ekonomi sosial melalui novel, sastra.

Bayangan saya saat ini di Kalimantan Selatan yang kian tahun penulis sastra semakin menggema pada event-event semata. Apakah kita memiliki imajinasi kesana? ke tata ruang pembangunan kota yang masih ranum bernama kota Banjarbaru? Kita boleh bangga berjalannya kegiatan sastra, pelaku sastra bertebaran. Bicara kebudayaan yang lekat di masyarakat seperti mistik, hutan dan kemanusiaan. Namun, kita belum menemukan di luar itu. Seperti kota Turki misalnya.

Gema sastra menetas dari Taman Budaya, Meja Bundar Minggu Raya, Komunitas Bagan, Kindai Seni Kreatif, bahkan Forum Lingkar Pena. Dengan banyaknya media pendukung seperti Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Suara Banua, Klikbanua.com, Asyikasyik.com, Tandapetik.com, tentu memiliki peluang berimajinasi kesana, keluar dari kota, hutan, laut, sungai, dan kemanusiaan itu sendiri.

Pegiat sastra bertebaran di Kalimantan Selatan, di berbagai kabupaten dan kota berlomba membangun komunitas yang melahirkan tokoh kenamaan. Pegiat sastra dengan lakon kesenian bergema saat kegiatan sastra di rancang sebagai hiburan. Aruh Sastra, Runni Day, Tadarus Puisi merupakan marcon marcon yang diletuskan ke langit kelam serta jadi pemain cadangan dari hingar bingar kebudayaan.

Sastra bicara dengan bahasa santunya, sebab kesantunannya itu pemerintah mengapresiasi pegiat sastra dengan piagam penghargaan atas kiprahnya selama ini merawat dan membangun khazanah kesastraan.

Penulis: Ali senior, penulis musiman , terobsesi dari film Da Vinci Code, untuk Banjarbaru.
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar