MAHFUDISME - Seperti sebuah rasa sayang, nanas tak Tamban tak ada habisnya.
Jika kita bepergian tiap hari ke daerah Tamban yang juga merupakan anak tiri dari
Kabupaten Barito Kuala (Batola), kalian akan selalu menemukan nanas
bergelantungan disisi jalan. Memang, disana mayoritas masyarakat menanam nanas
dipekarangan rumahnya atau dipinggir area sawahnya.
Jika kita melirik sedikit sejarah awal mula Tamban,
wilayah ini awalnya berstatus Kewedanan dan area hutan gambut yang kurang
dimanfaatkan. Kewedanan sendiri artinya wilayah administrasi kepemerintahan yang
berada di bawah Kabupaten dan di atas kecematan yang berlaku pada masa Hindia
Belanda. Di Kalimantan, pemimpin kawedanan disebut Kiai.
Karena wilayah ini dinilai kurang dimanfaatkan saat
penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1937 dilakukan transmigrasi besar-besaran
dari pulai Jawa ke pulau Kalimantan. 115 Kepala Keluarga (KK) dari Jawa Timur
ditempatkan di Purwosari 1 KM 6 yang sekarang terkenal dengan yang namanya
Tamban. Itulah cikal bakal adanya Tamban yang sekarang dikenal masyarakat
Kalimantan Selatan dengan nanasnya.
Pada tahun 2000-an, wilayah Kecamatan Tamban ingin
memisahkan diri dari Kabupaten Barito Kuala dengan membentuk kabupaten sendiri
yang dikenal dengan Batam Raya. Eh, tunggu dulu, mahasiswa yang berasal dari
Tamban tahu gak nih sejarah itu? Tapi yaudahlah, namanya juga pengantar
sejarah, sisanya ya cari sendiri.
Biar saya dikira sok tahu, mari kita bahas saripati
dari tulisan ini, yaitu nanas Tamban. Sekali pun Tamban terkenal dengan
nanasnya, nyatanya nanas Tamban hingga sekarang masih dipandang sebelah mata, perekonomian
masyarakat Tamban tidak terdongkrak dengan adanya nanas yang sangat terkenal
itu.
Sewaktu saya bepergian Kota Batu Malang beberapa tahun
lalu, saya menyusuri jalanan menuju tempat destinasi wisata kota Batu. Saya
tahu Malang terkenal dengan apelnya, jadi saya lihat di saping kanan-kiri jalan,
apel yang dikemas dengan menggunakan wadah mirip jaring itu bergelantungan.
Lalu, saya pun mendatangi toko tersebut, ternyata apel didalam tokonya bukan
hanya dikemas dalam bentuk jaring, tapi bejibun macem apel dengan varian yang
berbeda ada disana. Mulai dari kripik apel, roti apel, apel itu sendiri dan
lain-lain.
Kebetulan, waktu itu saya bersama teman, ia orang
Tamban yang dalam kepala dan dadanya bergelora membuat Tamban maju dan
sejahtera lewat produktitas nanas. Konon kata dia, nanas Tamban tidak hanya
mentok akan dijual seperti biasanya, dia akan membuat tempat yang akan
memproduksi nanas Tamban dengan kualitas yang tak kalah saing dengan apel
Malang.
Saya tahu, dalam kepala kawan saya ini semangat untuk
merubah masyarakat desanya luar biasa. Rangkaian-rangkaian harapan,
imajinasi-imajinasi berseleweran, dan konsepnya yang tumpang tindih, kelak akan
benar-benar membuat ekonomi masyarakat Tamban berubah total. Ya itu tadi, hanya
dengan modal harapan-harapan yang sampai sekarang masih diawang-awang.
Jujur, saya tak akan menyalahkan dia, toh imajinasi
dan realitas itu beda. Saya dulu boleh berandai akan membangun perusahaan batu besar
di kampong (imajinasi), tapi saya malah muter-muter di bumi orang (realitas). Dan
ini sah-sah saja, bukan?
Perekonomian masyarakat Tamban memang tidak
terdongkrak dengan adanya nanas, tapi kebanyakan ekonomi masyarakat sana disumbang
dengan menanam padi. Nanas Tamban hanyalah simbol garis yang tidak memiliki dampak
yang berarti bagi masyarakat Tamban. Jadi wajar saja bila saya, anda-anda semua
bepergian kesana harga nanas jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga
yang ada di Banjarmasin yang hanya nyeberang 20 menit sampai.
Yang lebih ironisnya lagi, banyak semangat kaum-kaum
pemuda disana justeru mempunyai harapan menjadi pekerja di perusahaan batu bara
dengan gaji yang begitu besar, dengan gaji besar, semangat bersosial tinggi.
Saya melihat itu ketika beberapakali saya lebaran di Tamban. Para pemuda yang
merantau entah kemana pulang dengan membawa mobil-mobil mewah, motor-motor
mewah dan kemewahan-kemewahan lainnya. Inilah problem paling dasar untuk
menciptakan masyarakat yang sadar akan potensi daerahnya sendiri.
Bukan hanya itu, itu menyemangati julukan “nanas
Tamban”, pemerintah daerah juga terkesan memandang sebelah mata. Problem yang
selalu terjadi dimasyarakat Tambah adalah ketidakpahaman dalam mengelola nanas.
Harusnya pemerintah memberikan sosialisasi atau bahkan bantuan alat dan modal
usaha. Dengan begitu masyarakat akan terdorong untuk lebih maju dalam mengelola
nanas. Miris, ketika kemarin ada Festival Nanas Kemerdekaan terkesan hanya
seremonial belaka, selain sebagai hiburan dan rasa syukur masyarakat,
selebihnya apakah mengangkat nama nanas Tamban?
Seperti rasa sayang, nanas Tamban tak ada habisnya. Hanya
karena tak diapain-apain ya gitu-gitu saja. Masyarakat kurang tertolong karena
keberadaannya. Dan suatu saat rasa sayang itu kian hari kian luntur dan
perlahan nanas Tamban hilang dari peradaban. Hingga ada masanya, jika
masyarakat Tamban mau makan nanas harus nunggu kapal dari Jawa, sementara alam semesta sebagian sudah kiamat. Nasib aja lagi!
Penulis:
Moh Mahfud
Editor:
MAHFUDISME
0 Komentar