MAHFUDISME - Malam datang sebagai fragmen-fragmen yang nyaris
gagal ditulis. Orang-orang tidur lelap dalam ketenangan setelah seharian
disibukkan kemauan yang kian memanjang melebihi jangkauan lengan.
Di sekitar tempat tinggalku yang dikelilingi
semak-semak,
sudah
berbunyi berbagai macam jenis binatang, sebagai isyarat malam telah turut dan
larut dalam sunyi.
Hari ini aku tertarik membaca kembali buku Pram,
Perburuan. Setelah berkali-kali aku baca dan belum pernah kelar. Selalu memaksa,
selalu menantang dan kian penasaran. Kadang-kadang aku yakin kebebasan dan
keberanian akan tumbuh hanya dengan menempuh kesunyian yang amat dalam.
Di sisi lain, aku merasa hidup di tengah
keramaian membuat kesunyian semakin dalam di kedalaman diriku. Kesibukan jalan
raya pulalah yang membuat aku tak tahan berlama-lama berada di luar rumah.
Membuat kepala dan dadaku sering saling serang, ulang berkali-kali. Membuat
kepalaku pusing dan berkeringat dingin. Aku memang tak bisa lama-lama berada di
luar. Sekiranya hanya dua puluh menit saja.
Aku belum tidur, meski hanya sepejam. Beberapa
jam sebelum tulisan parah yang membuat matamu perih ini aku tulis, telah aku
coba keluar jalan-jalan bersama seorang kawan. Jalanan memang lengang dan
dingin, tapi kepala dan dadaku tetap ramai. Masih terngiang cerita Den Hardo
dalam buku Perburuan yang aku baca beberapa jam sebelum keluar rumah.
Kami menyusuri jalanan malam di Banjarmasin, kota
yang biasa-biasa saja. Telah sengaja pula kami singgah di sebuah alfamart 24
jam (tidak perlu kutulis dengan huruf kapital di awal nama tempat itu) untuk
beli minuman dan duduk membaca di halaman depan. Tetapi ada situasi yang
membatalkan keinginanku duduk membaca di situ: seseorang berteriak, memaki dan
bicara sendiri di hadapan layar persegi mini, di hadapan halusinasi. Game
online. Persetan dengan permainan itu.
Lalu aku ajak kawanku mengubah rencana. Kami
melanjutkan perjalanan dan mencari alfamart yang lain, yang sama-sama membuka
diri selama 24 jam. Maka ketemulah tempat yang dituju. Tiba di sana, kawanku
masuk dan beli cemilan. Sementara aku duduk menunggu di luar sambil
mengeluarkan dua buah buku dari tas punggungku, Sebuah Kitab yang Tak Suci,
Phutut EA dan Perburuan, Pramoedya. Aku baca salah satunya. Kawanku membuka
laptop dan menonton film.
Di tengah-tengah keheningan, sesekali aku buka
internet di ponsel jadulku. Selalu memuakkan. Aku selalu bertanya, mengapa aku
tidak melihat ada semacam publick a dress
dari seorang presiden sebagai naungan yang meneduhkan situasi yang kini kian
panas. Mengapa tak kudengar kalimat bernilai akademis dari presiden dan
jajaran. Mengapa tak ada lagi ‘singa podium’, tak ada lagi pedagog seperti Bung
kecil, Sutan Syahrir?
Hari-hari hanya bisa kudengar amukan dari elit di
televisi. Saling adu sentimen. Kemarahan bukan kecerdasan. Aku ini sudah
pandir, telah pula dihadapkan pada situasi semacam itu. Lalu terselip pula
pertanyaan kesedihan, mengapa kau bisa putus mencintaiku. Mengapa. Oh, kenangan. Oh, kesendirian. Aku cuma butuh
kopi, buku-buku, kawan bicara dan kekasih. Ah, pikiranku membuat tulisan ini
semakin kacau.
Malam yang membentang lapang telah lekas hilang
dan berganti dengan subuh. Jalan-jalan perlahan ramai. Kesibukan kembali
dibangunkan dari toa-toa masjid, langgar dan musalla. Aku dan kawanku masih
duduk di halaman depan alfamart. Kopi dingin dalam kemasan yang kami beli di
situ telah habis. Buku yang aku pegang belum separuh aku baca, apalagi kelar.
Kawanku masih membaca sesuatu di film yang ia tonton di laptop itu. Dua lelaki
pegawai alfamart sudah mulai menyapu beranda dan halaman depan tokonya. Aku
ambil sebatang Crystal Spesial
dari bungkusnya, lalu kunyalakan. Aku hisap dengan konsentrasi sempurna. Tetapi
kepalaku mulai pusing. Aku bawalah kawanku pulang. Maka pulanglah kami.
Di jalan menuju rumah yang sebetulnya kos-kosan,
ada seorang lelaki setengah baya membawa seekor anjing berwarna hitam. Dia
mengendarai motor. Anjingnya berlari di sisi kirinya dengan tali kekang di
leher. Mengapa demikian, tanyaku pada diri sendiri. Tiba di rumah, mulailah aku
menulis kicauan kacau ini. setengah jam kemudian salah satu penghuni rumah
terbangun, barangkali dari mimpinya
yang dingin. Selang berapa menit, dia bangun lalu menuju dapur mengambil
seember air dan mencuci motor. Maka aku ucapkan terima kasih kepadamu yang
bersedia membaca perih tulisan yang perih ini, kekasih.
Penulis: Abdul Karim, penyuka sastra
Editor: MAHFUDISME
0 Comments