MAHFUDISME - Bila ada mahasiswa kampus UIN Antasari dan
kenal dengan makhluk Leni Wulandari, ia akan tahu kebiasaan apa yang Leni
lakukan ketika ngobrol, senyum. Dengan wajah seperti penangkaran ikan hias,
Leni, bagi saya, memang tidak asing. Beberapakali mengirimkan tulisan, dan
beberapakali pula saya ngirim catatan soal tulisannya. Beberapakali ngobrol
dengannya, dan selama itu pula saya masih tak paham dengan segala apa yang dia
ucapkan.
Kemarin, kawan saya di group mengirimkan
pengumuman nominasi beberapa lomba yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kotabaru lewat pergelaran Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS)
ke-XV tahun 2018. Acara tersebut akan berlangsung 6-10 November 2018, sebuah
acara setahun sekali yang akan dihadiri banyak sastrawan Kalsel.
Sebagai orang yang kenal dengan Leni,
tentunya saya sangat bangga ketika membaca isi pengumuman tersebut, mengingat penulis
UIN Antasari, khususnya penulis perempuan, sangat kering dan jarang terlihat
muncul ke permukaan. Nah, Leni menjawab keraguan saya, bahwa masih ada harapan
untuk membawa nama kampus itu sebagai lading penulis masa depan banua (jangan tabakabur Len!) yang bisa bersaing
dengan penulis kampus lainnya.
Dengan latar belakang diatas inilah, saya
ingin mengajak semua pembaca untuk berkenalan lebih intim dengan Leni Wulandari.
Istilah “manusia absurd” terlontar dari komentar Syarif Hidayatullah, seseorang
yang mungkin lebih absurd dari Leni.
Jika anda mengetik nama “Leni Wulandari”
di facebook, maka anda tidak akan
sampai diberanda Leni Wulandari, sebab nama facebooknya
berganti menjadi “Leniwulanjuni”. Jika bergeser ke Instagram lalu anda mengetik
namanya disana, maka anda tidak akan menemuinya juga. Entah karena memang tidak
punya Instagram, atau memang dia
sangat malu menggunakan nama “Leni Wulandari”. Terus jika anda mencarinya di
twitter, saya bisa menjamin bahwa dia tak bisa mengoprasikan twitter dan tak tahu apa itu twitter.
Merujuk di facebooknya, disana sama sekali tak ada keterangan lain kecuali
asal tempat dia, nomor telfon dia, dan jenis kelamin dia. Sisanya tak ada. Dari
sini dapat kita simpulkan bahwa Leni “Tak suka pamer, dan tak punya tanggal
lahir”.
Munculnya Leni dalam dunia tulis menulis
memang bisa dibilang “baru”, dengan krakternya yang pendiam, senyum-senyum
tanpa karuan, ngobrol memotong dan gak nyambung, adalah sifat dan sikap Leni
selama ini. Makanya, jangan heran bila kalian membaca tulisannya
melompat-lompat. Imajinasinya tumbuh dimusim tandus, ia hidup berkembang, dan
kadang menjengkelkan.
Pernah suatu kali, dan bukan hanya sekali
saja. Ia mengapload status dengan memegang martil, status yang jarang sekali
diungguh manusia perempuan. Terakhir upload status di facebook tanggal 20 Oktober lalu hanya dengan kalimat “tak apa”.
Sebuah status yang misterius, dan terdengar pasrah.
Kalimat yang
terdengar pasrah tersebut sebanarnya mempunyai filosofi pemaknaan yang dalam. Ia
melampaui pasrah yang amat superfisal. Saya jadi teringat buku Sindhunata yang
berjudul “Cikar Bobrok”. Sebuah buku yang menceritakan, bahwa kepasrahan memang
suatu nilai yang agung, ia berdiri sendiri tanda pendalaman makna. Seperti
sebuah ritual ibadah yang kehilangan esensinya, kepasrahan adalah peleburan ia
hanya kepada Tuhan semata. Waahh Leni…
Bergeser ke bulan September tepatnya tanggal
9, ia memposting status dengan mengunggah buku tulis, balpen, dan minyak telon
caplang. Ia membumbuhi caption dengan
kalimat “Perkenalkan, dia Milky. Aku tak rela dia habis,” Dalam cover buku tulis
tersebut memang tertulis Milky. Tapi kenapa dan apa maksud dari kalimat “Aku
tak rela dia habis”? Apakah Leni menyayangi cover buku tersebut? Atau ia sudah
lama pacaran dengan gambar kucing tersebut, mengingat dia suka kucing? Entahlah
Leni..
Yang tak
kalah menarik adalah status sama tapi diulang-ulang lintas tahun. Status “Zaintun”
pertakali diunggah tanggal 7 Oktober 2017. Lalu pada tanggal 3 Januari 2018 ia
mengunggah status “Zaitun” lagi. Ada apa dengan zaitun?
Zaitun
sendiri merupakan pohon yang disebut-sebut sebagai salah satu spesies tanaman
tertua di dunia. Masyarakat kuno Mesir telah memanfaatkan zaitun sebagai
obat-obatan. Banyak yang mengatakan zaitun telah ada di Mediterania Timur (Turki)
6.000 sampai 8.000 tahun yang lalu. Asal muasal zaitun ini pertamakali
dibudidayakan dari zaitun liar di perbatasan Turki dan Suriah.
Sejak
zaman Alkitab, pohon ini telah menjadi lambang kesucian, kedamaian hingga
persatuan. Sedangkan dalam literatur Islam, zaitun termasuk pohon yang
diberkati oleh Allah SWT. Lalu kenapa Leni menyebutkan “Zaitun” hingga
beberapakali ditahun yang berbeda? Apakah berarti Zaitun adalah lambang bahwa
Leni cinta kedamaian dan persatuan? Apakah Zaitun merupakan representatif dari
kehidupan Leni yang selalu berharap diberkati oleh Allah? Atau, penafsiran
paling dangkal, “Zaitun” adalah mantan pacar Leni yang nama panjangnya
Zainuddin? Wah wah semakin kemana-mana.
Ya seperti
itulah misteri Leni, perempuan asal Batulicin, Tanah Bumbu. Perempuan yang
kepalang absurd hidupnya, tapi masih saja berkarya, dan sekarang masuk nominasi
lomba cerpen Aruh Sastra. Selamat Leni Wulandari dan Leniwulanjuni!!!
Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME
0 Comments