PERANG DINGIN SPANDUK CALEG DI KALSEL



MAHFUDISME - Alat Peraga Kampanye (APK) atau biasa kita nyebut spanduk promosi caleg, sudah resmi dimulai dari tanggal 23 september bulan lalu. Bahkan jauh sebelum bulan september, APK ini banyak temui dipinggiran jalan, cuma masih malu-malu baung. Dan tepat di bulan oktober ini, APK sudah banyak nempel dimana-mana, mulai dari depan tukang cukur, warung nasi kuning, pos ronda malam, hingga APK ini bertengger di bawah pohon-pohon yang kesepian, juga ada.

Uniknya, sepanduk-sepanduk APK ini kurang lebih seperti 5 tahun lalu sama saja. Mulai dari, misalnya, bahasa didalamnya, simbol jari, janji politik, dan kalimat mujarab terpasang di dalam sepanduk mereka. Tentu saja, bikin sepanduk macam ini harus punya modal besar, misalnya Daerah Pilihan (Dapil) Provinsi Kalimantan Selatan, para calon ini mau gak mau harus pasang sepanduk di 13 kabupaten/kota, 153 kecamatan, dan 2008 desa/kelurahan yang ada di Kalsel.

Jika para caleg ini pasang satu sepanduk di kabupaten/kota, satu sepanduk di kecamatan, dan satu sepanduk di desa/kelurahan. Maka, ia sekali cetak harus cetak sebanyak 2.174 sepanduk. Jika sepanduk yang di pasang, misalnya, ukuran (paling kecil) 1 x 4 (meter), dan harga permeternya Rp. 20.000. Maka, 1 x 4 x 20.000 = 80.000. Jika sepanduk yang dibutuhkan sebanyak 2.174 maka 2.174 x 80.000 = 173.920.000. Singkatnya, caleg dapil Provinsi sekali cetak sepanduk memerlukan duit Rp.173 juta. Tapi saya kok tidak yakin, masak caleg pasang sepanduk di kecamatan cuma satu aja. haha..

Yaudahlah, itu urusan mereka dapat modal dari mana….

Fenomena APK memang sudah biasa menghipnotis kepala kita disepanjang jalan, apalagi jalan A Yani dari Banjarbaru ke Banjarmasin. Senyum-senyum mereka terus nongkrong dalam kepala pengendara, apalagi bendera Partai Politik (Parpol), lebih ngeri lagi. Banyak gang-gang di Banjarmasin memasang bendera parpol di depan gangnya, ini sebagai pertanda bahwa satu gang merupakan pendukung parpol itu. Sedap dilihat.

Apa yang diharapkan dari sepanduk atau bendera parpol? Sebenarnya tak ada, kecuali hanya sebatas citra mereka semata. Perang sepanduk atar parpol, atau perang sepanduk separpol tapi beda nomor urut, sudah ditabuh. Pertaruhan dalam mengisi pos-pos caleg sangat sulit kita tentukan, apakah berkualitas atau hanya banyak modal, semuanya nampak “mencari posisi” untuk menjadi perwakilan kita di DPR nantinya.

Masyarakat, khususnya kaum-kaum muda sekarang masih terjebak dalam buai janji manis dikemudian hari, dan tidak jarang pula, kaum muda ini bertanding di ring pileg sebagai alat “perubahan kearah yang lebih baik” yang ujung-ujungnya tak ada ubahnya seperti senior mereka sebelumnya.

Yang paling bikin gerah ketek, adalah ketika kata santri juga mereka jual dalam sepanduk itu. Santri sebagai jurus jitu dari sekian banyak jurus paripurna mereka. Identitas santri dijual hanya semata-mata ingin meraup suara. Tapi setelah ia berkuasa, sifat santrinya hilang. Misalnya santri makan kroyokan diamperan diatas wajan sekaligus, emang ada DPR makan mie instan diatas wajan sekaligus? Kan gak ada.

Intinya, seperti apapun sepanduk yang terpampang di jalanan, semanis apapun bahasa yang mereka gunakan, selama kita selalu menaruh harapan besar kepada mereka, tentunya perubahan hidup kita akan terus seperti ini. Kita semakin pintar, bahwa iklan-iklan mereka di sepanduk tak ubahnya iklan rokok. Tiap hari akan selalu ada, dan sama-sama menimbulkan penyakit bagi rakyat.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments