VIDEO VIRAL EMPAT PEREMPUAN DAN KEJUMUDAN KITA DALAM BEPIKIR RASIONAL



MAHFUDISME Saya memang bukan asli Banjarmasin, tapi saya hidup luntang lantung di Banjarmasin. Tahun 2012 adalah awal dimana saya harus ke Banjarmasin hingga sekarang pulang pergi dari Banjarmasin-Banjarbaru karena urusan kerja. Dari segi finansial, mungkin saya baru mengalami derajat hidup nyaman, meski gak nyaman-nyaman amat.

Ditengah bolak-baliknya perjalanan menuju tempat kerja, selain minyak yang mudah habis, adalah kekesalan saya ketika melihat video 4 perempuan yang belakangan viral di media social Instagram. Bukan hanya saya, justru akibat ngawurnya mulut 4 perempuan merana ini, banyak cowok bikin video tandingan sebagai bentuk respon dan kekesalannya.

“Hai, buhan Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, lakiannya kere semua, tampang muha aja bungas, duitnya kadada” Kata Perempuan yang beralis tebal dengan bibir dibalut lipstik.

“Muha standar, buang aja ke laut” timpal disampingnya yang berambut poni.

“Palir aja yang diarak” tambah perempuan berakaos abu-abu. Sementara perempuan yang pegang hp hanya bilang “Akkaaayyy”…

Lalu pertanyaan mendasarnya adalah, benarkah cowok-cowok Banjarmasin, Banjarbaru dan Martapura kere aliyas gak punya duit, aliyas miskin? Untuk itu, saya ingin mengajak bertamasya kepada anda dengan membaca watak atau tipe 4 perempuan tadi. Soal cowok kere sedikit kita kepinggirkan terlebih dahulu, sebab kere aliyas miskin adalah hal yang kompleks bila kita telaah satu-satu.

Dangkalnya Humor
Barangkali, tak terbersit dalam kepala perempuan-perempuan itu untuk ngomong begituan aliyas spontan. Dalam perjalannya, bahasa spontan ngalir begitu saja tanpa sekenario. Maka wajar, perempuan-perempuan ini nyorocos saja tanpa pertimbangan etika atau yang lainnya. Akibat dari kenyorocosan ini, yang terdengar di video tersebut adalah kedangkalan selera mereka dalam urusan humor.

Penulis sekaligus konsultan pendidikan di Inggris, Mr. Tony Buzan mengatakan, ukuran intelegensi atau kepintaran seseorang dapat dilihat dari selera humornya masing-masing. Jika selera humor perempuan-perempuan ini berujung viralnya video dengan tanggapan nyinyir dari pendengarnya, adalah kita dapat menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan yang spontan ngomong begituan adalah selera hunornya yang kering. Maksud hanya bercanda, ujung-ujungnya minta maaf karena respon negatif.

Pada dasarnya, humor adalah imajinasi dan kemampuan otak menemukan asosiasi yang baru yang menakjubkan. Dengan ngomong begitu, empat perempuan ini seolah menemukan hal baru untuk –secara tidak langsung – mengejek kaum lelaki. Dan dengan “penemuan-penemuan” baru tersebut, imajinasi perempuan-perempuan ini adalah kebuntuan cara berpikir mereka.

Bila kalimat dari mulut mereka yang keluar adalah “harta”, maka dapat dipastikan hidup mereka hanya urusan duit dan duit. Dengan kata lain, harta adalah padang luas yang mereka harapkan, harusnya dimiliki setiap lelaki yang ingin melirik di ranjang tidur.

Kembali kehumor, dalam kerancuan candaan mereka inilah spekulasi muncul beriringan, mulai dari omongan yang spontal sambil duduk santai dan miskinnya pengetahuan mereka dengan hanya mengukur semuanya pakai uang dan uang. Benarkah perempuan-perempuan itu demikian? Jika benar, masa depan mereka akan terus bergantung pada nasib suami. Tapi jika salah, humor dalam video itu benar-benar sampah yang tak perlu saya tonton lagi.

Etika Dalam Bermedia Sosial
Saya menyetel beberapa kali video empat perempuan tersebut. Bukan karena videonya seru, melainkan saya mengetik bahasa yang keluar dari mulut mereka satu-satu. Seperti transkip percakapan diatas, adakah bahasa yang mereka gunukan beretika? Jika kalian sudah menonton video tersebut, benarkah etika berpakaian demikian? Okelah, saya tak akan bahas itu, sebab itu urusan peribadi dengan agama dan Tuhannya.

Konteks yang ingin kita pahami adalah, bermedia sosial dengan bahasa yang beretika. Bagaimana pun, media sosial adalah ruang kedua setelah dunia nyata berkeluh kesah apa saja. Misalnya, rasa simpati untuk membantu Gempa Lombok tidak mungkin dari telfon ke telfon. Memanfaatkan media social jaman sekarang, rasa simpati kita terbangun atas musibah tersebut. Ingat, media social disini sangat berperang penting. Contoh lain yang masih bisa kita ingat adalah unggahan video Ahok oleh Buni Yani yang berujung dipenjarakannya Ahok sampai menggerakkan massa berjilid-jilid turun ke Jakarta. Seolah unggahan tersebut adalah rasa simpati kita untuk menghakimi seseorang. Empat perempuan tersebut secara tidak langsung menghakimi “semua lelaki” adalah miskin lalu di konsumsi oleh publik dengan tanggapan yang beragam.

Apakah Buni Yani tidak beretika dalam mengunggah video Ahok? Jawaban saya, ketika seseorang tidak mencampuri urusan pribadi orang maka hidupnya akan nyaman. Unggahan Buni Yani karena terdorong keinginan agar kelak mendapat perhatian bagi yang menonton. Ini sama halnya dengan empat perempuan ini, karena terdorong dan melihat realitas lelaki jaman sekarang tidak mampu membelikan bakso, maka iya tumpahkan kedalam video dan berharap bagi siapa saja yang menontonnya akan menyerap uneg-uneg itu.

Kita yang Terlalu Latah?
Saya jadi teringat tulisan Mas Wahyudi Akmaliah yang berjudul “Indonesia Lawyer Club (ILC) itu Tonggak Peradaban dan Pengetahuan,Lah Kok?” dengan runut beliau memaparkan persoalan yang kita hadapi sekarang.

“Jika melihat kelakukan para elit politik,  negara ini seolah hanya dibangun oleh intrik, mitos, dan gosip yang kemudian menjadi bahan konsumsi publik. Saya merasa muak dengan hal tersebut, tapi diam-diam turut menikmatinya karena setiap hari mengikuti dan kemudian mengkonsumsinya. Di sisi lain, dengan sangat naif, saya selalu meneguhkan bahwa rasionalitas merupakan basis keputusan yang penting untuk bertindak dan bekerja, tapi kita begitu marah atas nama nasionalisme ketika membawa yang berbau asing dalam arena pertarungan untuk melakukan kompetisi di Indonesia” tuturnya mengalir.

Kedepan kehidupan kita akan sama dengan apa yang dibayangkan Ali dalam tulisannya yang berjudul “Kunci Segala Kunci yang Terkunci dalam Pikiran Kita” kita sebenarnya terkunci untuk maju, terkunci pada ruang-ruang pikiran kita dan menyulitkan kita sendiri, hingga saya, dan mungkin anda juga, harus menonton video tanpa nutrisi empat perempuan tersebut lalu ngerunyam seperti tulisan ini. Sebenarnya, tulisan ini masuk dalam kategori yang latah sama video tersebut. Maafkan saya semuanya.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME


Posting Komentar

0 Komentar