PENJUAL GORENGAN DAN MASA DEPAN SEPAK BOLA TAMBAN



MAHFUDISME Minggu (5/8) kemarin, saya berkesempatan melihat secara langsung pertandingan sepak bola tingkat pelajar di Kabupaten Barito Kuala (Batola). Perhelatan paling bergengsi setanah selidah itu dilaksanakan atas izin Om Rahmadi (Wakil Bupati Batola), yup nama kegiatannya Rahmadi Cup (warga Tamban menyebutnya). Tapi bukan saya kalau hanya sekadar menikmati indahnya si kulit bundar itu.

Saya tak lupa menikmati anggunnya kulit-kulit lain, gaya berpakaian para pendukung, alat musik yang mereka bawa, jumlah mata sepatu hakim garis, daftar guru yang jomblo dan lain sebagainya tentang lapangan hijau.

Sedang asik melakukan investgasi kelas berat ini, saya malah diganggu oleh komentar pedas paman penjual gorengan disana. Ia berujar “Halah kekanakan, wani apa lo inya main panas” sambil menyapu keringan dengan handuk kecil dibahunya lalu disapukan kembali pada beberapa saus yang tercecer dari toples.

Kalimat paman ini sungguh lebih menarik dari pada Ahay-nya Valintino Jebret atau permainan apik Bagas-Bagus U-16 Timnas Indonesia. Sesaat saya termenung memandangi kedua kesebelasanan, memang mereka masih bertahan dengan skor kaca mata hingga menit 67.

Tapi saya tahu, kata-kata bagai qoute itu tak keluar begitu saja dari lidah seorang awam tentang sepak bola. Meski paman ini bukan pemain sekalipun, setidaknya jam terbangnya berjualan diberbagai event bola semesta Taman Bunga Sari (Tamban, Tabunganen dan Mekarsari) telah membawanya pada pengetahuan mutlak bahwa selain gol, keindahan permainan adalah salah satu alasan orang datang menyaksikan.

Saya paham, orang ini menyadari perbedaan besar kemampuan antara pemain tingkat pelajar dan masyarakat umum. Tapi semestinya, ia tak boleh mengumandangkan itu ditengah orang banyak. Bukan saya khawatir itu akan melemahkan mental bertanding, tetapi lebih khawatir jika kalimat itu di rekam dan di publikasikan seseorang.

Sehingga melahirkan gerakan #StopUjaranPengerdilan di berbagai penjuru bangsa ini, sepak bola di tanah Taman Bunga Sari jadi lahan gerakan politik adu domba banyak kalangan, munculnya garis pembatas antara penjual gorengan dan para pendukung panatik tim sepak bola masing-masing sekolah. Paman pentol dilarang jualan ketika ada event bola karena dianggap sebagai propokator dan memicu kerusuhan. Wah wah… bahaya ini…

Gorengan akhirnya tak ada lagi di halaman sekolah saat istirahat, dewan guru disibukkan dengan jadwal konferensi pers sebagai perwakilan kepala sekolah dalam menjawab kehendak banyak fans terkait kasus yang kian carut-marut. Anak penjual gorengan tak diterima disekolah manapun dan hasilnya sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, dendam keturunan gorengan ini memuncak lalu meletuskan tim PIGO Fc (Pisang Goreng) Fc.

Mereka mendirikan sekolah bola, semua anak pedagang kaki lima mendapat beasiswa penuh hingga lulus, sedangkan kalangan masyarakat umum akan membayar biaya pendidikan secara normal dan mahal. Lahirlah kalangan bangsawan baru dari gerobak-gerobak mereka.

Tahun 2028 Rahmadi Cup (mungkin tak lagi  Piala Wakil Bupati, tapi bisa saja Piala Bupati  atau Piala Wakil Gubernur), berkibarlah dua bendera-bendera besar yang saling bertarung. PIGO Fc vs Prassmanan (Persatuan Sepak Bola Sekolah Menengah Atas Negeri) United, yang diliput secara langsung oleh televisi nasional dengan teknologi garis bola. Semacam pertandingan panas Barcalona Vs Real Madrid.

Kala itu terjadi, maka jelas saya menjadi pengagasan sistem pelatihan Pisang Goreng Fc U-16 ala Belgia, lalu mempelopori gerakan mandiri kesehatan tiap keluarga agar melahirkan generasi pesepak bola yang handal juga ciamik mengolah sikulit bundar. Ahay, Kabupaten Tamban pun berhasil memekarkan diri. Selayaknya Catalan di Spanyol.

Belum usai saya hitung jumlah bendera tim PIGO Fc berkibar seantero Kabupaten Tamban, saya kaget oleh pertanyaan “berapa nyawa tadi makan tahunya nang” ujar Dayat, teman lamaku sejak MAN 3 Batola masih bernama MAN 3 Marabahan.

Lamunaku buyar seketika itu juga, aduh betapa indahnya permaian bola pelajar ini seandainya betul diwadahi dalam sebuah klub resmi tiap kecamatan. Setidaknya, tiap sore saya bisa makan gorengan paman Ahay Jebret ini, tanpa tak harus menunggu momentum Rahmadi Cup tahun depan.

Penulis: Rizali Norhadi, S.SosTenaga Kependidikan di SMA Al-Munawwir dan MA Sullamut Tarbiyah
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar