MAHFUDISME - Jika yang membaca ini adalah mahasiswa, saya sarankan
untuk tidak melanjutkan membaca. Jika tetap bersikukuh membacanya, maka saran
kedua saya adalah antum tak perlu menghiraukan tulisan ini, apalagi merenungkan
isi dan maksud dari tulisan ini. Pokoknya jangan.
Saya sering merenung kembali, menafsirkan perjalanan
yang selama ini saya tekuni menjadi mahasiswa dengan semester lusinan. Di jaman
absurd seperti sekarang, selain ijazah, apa yang membedakan orang yang kuliah
dengan mereka yang hanya lulus SMA tapi kerja? Bukankah sedemikian banyak para
kaum serjana ketika lulus sama-sama mengantarkan surat lamaran kerja dengan
yang lulusan SMK, bahkan SMP? Lalu bedanya saya dengan mereka apa?
Mahasiswa yang biasanya hidup dengan imajinasi penuh
penindasan bakalan bilang “Kita dididik oleh sistem yang salah, maka jangan
heran bila para mahasiswa sekarang kepalanya semakin terpuruk kejurang-jurang
tanpa keilmuan” Oke, itu menurutmu ‘kan?
“Bagi saya, ketidakbermutuan mahasiswa jaman edan ini
adalah pola pikir dan pola belajar kita yang tambah hari tambah borok. Tapi
tidak semua mahasiswa demikian” katamu yang senang berpikir dan mentok hanya nulis
di status.
“Ini perkara kompleks, baik dosen maupun mahasiswa
semuanya mengalami penurunan mutu, tak ada yang salah dengan sistem pendidikan
kita. Kecuali pikiran kita sendiri-sendiri” celetuk kamu yang suka baca buku
tapi pas ngomong mirip orang bingung.
Memang, seperti apapun argument kita soal mahasiswa
sekarang, pastilah beragam. Saya sendiri dengan semester yang setiap enam bulan
tambah menumpuk ini, selalu merasa ada yang kurang dalam diri saya. Menjadi mahasiswa
tidak hanya urusan jumlah SKS maupun IPK. Banyak di angkatan saya yang lulus
cepat keilmuannya bagus, banyak juga yang belum lulus-lulus, temen saya ini
malah tambah hebat berpikirnya. Jadi kesimpulan awal dalam perenunganku adalah “Baik
lulus cepat maupun lambat, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing”.
Terlepas dari mau lulus cepat dan lambat, persoalan
yang menjangkit mahasiswa adalah sudah menjadi rahasia umum dengan mengcopy
paste karya-karya orang lain. Seolah-olah, makalah dengan format baru dan logo
kampus disertai nama dan NIM kita, semua bahan dalam makalah tersebut milik
kita sendiri sebagai mahakarya terhebat sepanjang sejarah.
Tidak sampai disitu, urusan copy paste memang
mahasiswa jagonya, tapi yang lebih parah, mungkin karena ketidakpahaman kita
dengan isinya adalah ketika persentasi dengan cara membaca keseluruhan isi
makalah. Saya tidak terkejut dengan demikian, dan barangkali kalian juga.
Dengan pola membaca setiap isi yang ada dalam makalah
tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa mahasiswa macam ini sebenarnya adalah
sepayah-payahnya mahasiswa, udah nyolong karya orang, membaca pun ogah. Inilah
yang sekarang menjadi budaya, dosen juga tahu akan hal itu, tapi dibiarkan biar
tumpul otak kita sekalian.
Dan yang lebih parah, bila kita pikir-pikir adalah
mahasiswa yang senang nulis status dengan bahasa yang bercahaya dengan membuat
orang yang membacanya bisa terpukau, kagum, lalu menganggap status mahasiswa
tersebut adalah benar adanya dan perlu untuk dibagikan kepada yang lain. Bukankah
yang demikian kita benar-benar latah?
Dari dua renungan diatas betapa saya menemukan hal
lain yang mestinya dimiliki kaum mahasiswa. Bahwa mulai sekarang dan kedepan
mahasiswa harus tahu menulis, belajar menulis, membaca, memberikan opininya
dalam bentuk tulisan untuk setiap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Dengan
mahasiswa bisa menulis, mereka akan menghargai tulisan-tulisan orang, tidak
asal main comot apalagi tidak ijin pada penulisnya.
Budaya copy paste dan bikin status yang inspiratif
adalah jalan awal para mahasiswa malas berpikir, malas belajar, malas membaca,
malas diskusi, dan kemalasan-kemalasan lainnya. Jika ada mahasiswa yang demikian, bukankah anak SD, SMP, SMA dan bahkan orang yang tak mengenal pendidikan bisa bikin status dan bikin proposal pengaspalan jalan? Lah kalau sudah begini bedanya apa coba? Maka saya tak akan marah jika
saya pulang kampung dengan predikat mahasiswa adalah sebanar-benarnya sampah
yang punya otak. Pun kalian (barangkali, tapi semoga tidak).
Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME
0 Komentar