PERCATURAN PUISI DI KALIMANTAN SELATAN



MAHFUDISME Setelah lama tidak menulis puisi, otak saya malah semakin buruk untuk merangkai kata indah nan puitis ala Dilan 1990. Jangan rindu, berat. Biar aku saja. Begitu kata yang di ulang di sela Asian Games beberapa hari ini. Tagline pertama tayang di televisi itu bikin saya penasaran terhadap film yang diangkat dari novel Pidi Baiq itu. Apakah memang mengubah selera supaya lebih cool dengan kata manis di era eletronik ini?

Kemudian, saya makin yakin menyatakan sesuatu dengan menggunakan puisi dapat di jadikan alternatif terhadap segala persoalan sosial. Puisi merupakan ruang terbuka yang dapat dibawa ke mana saja sesuai selera penilaiannya. Karena puisi sebagai gaya komunikasi yang mendalam dan menyentuh, saya kadang membayangkan bahwa puisi begitu berpengaruh atas kepribadian seseorang. Mereka yang suka nulis puisi kadang terlihat lebih kalem, lebih lembut dalam bersikap, dan tentunya lebih menawan dan gagah.

Bukan sebuah fenomena serius jika  perpuisian di Kalimantan Selatan nampak seperti permainan catur. Saya sedikit ceroboh atas penyebutan ini sebab catur adu strategi. Apa hubungannya permainan catur dengan puisi kita yang kiat bejibun peminatnya? Puisi merupakan soal rasa pada penulis dari panca indera yang dimilikinya. Selama ia dapat merasa, maka puisi tercipta meski hanya dalam pikiran.

Kemudian, permainan catur yang selalu hitam putih itu terus mengambil peran disetiap lini kehidupan. Jika sejarah menulis permainan catur merupakan cara meraih posisi yang titik akhirnya adalah kekuasaan, maka permaianan catur di letakan pada sisi hiburan, dan kita terhibur oleh puisi tersebut. Di situlah catur dan puisi memiliki peran dalam menghibur penikmatnya.

Entah dari mana, gambaran akan kepenyairan  kita seperti itu, saya mencoba membuat kotak hitam putih yang ditemui hanya pada papan catur. Saya  minta pada pembaca tulisan ini untuk berimajinasi seandainya para media di Kalimantan Selatan seperti papan catur, maka bidaknya adalah para penulis pemula yang diorbitkan untuk mengisi ruang aktivitas kreatif dibagian muka, pada riil pertahanan untuk melindungi sang ratu. Kita mengorbitkan pemula untuk berkreativitas, selanjutnya dibiarkan menentukan posisi di mana mereka akan bertahan atau di korbankan di tengah kepentingan hiburan itu sendiri.  

Coba kita bermain catur dalam tulisan ini. Apa yang kita lihat saat bidak putih memulai permainan, tentu prajurit yang akan dilangkahkan pertama untuk menjaga ruang istana dan ratu terlindungi dari gempuran. pemain catur sangat sedikit melangkahkan kuda, simulasi kuda melangkahi kadang dibuat untuk beberapa antisipasi bahwa akan terjadi pertanyaan siapa saja kesatria yang ditampilkan? Dalam hal ini adalah para jebolan perpuisian yang mampuni dan lincah jangkauannya.

Hendaknya membuka antologi bersama kita dimana banyak pemula yang masih duduk disekolah tingkat pertama unjuk kepiawaiannya dalam mengolah kata sedemikian supaya dianggap puisi. Sah saja dalam menyuntikan imunisasi bahasa melalui antologi bersama. Apakah pembaca akan menilai saya hakim gadungan? Hehehe. Terserah. Penulis puisi hanya perlu memulai dan pengakuan dari beberapa kalangan bahwa itu tulisannya.

Saya tak dapat meyakinkan pembaca yang budiman bila media sebagai papan catur yang siap dimainkan oleh para pecatur di masing masing tempat strategis sebagai pengakuan adanya hiburan yang dikemas keberbagai kegiatan. Media publik bisa saja di artikan komunitas yang berada di Kalimantan Selatan dengan segala agenda. Diskusi, koreksi dan semacamnya melangkah perlahan namun pasti supaya puisi tetap berkompetisi.

Sejak berkenalan dengan perpuisian yang selalu gagal dalam menafsirkannya secara baik, saya kadang menulis puisi yang dipaksakan supaya pembaca mengakui bahwa itu puisi. Bermaksud memperindah susunan kata, namun maknanya berantakan bahkan tidak nampak estetikanya.  


Penulis: Ali senior, kalah bercatur 😉
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar