MAHFUDISME - Tulisan ini, berangkat dari keresahan saya sebagai penumpang “gelap”
Kapal Mila. Dari Pelabuhan Trisaksi Banjarmasin menuju Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya. Sebetulnya bukan cuma saya yang statusnya sebagai penumpang gelap ada
dua teman saya, dan barangkali penumpang disini statusnya sebagai penumpang
gelap.
Saya manganalogikan sebagai penumpang gelap, karena Acil Barsiah, emak-emak yang jualan asongan sekaligus
calo pelabuhan. Meskipun beliau calo, beliau berbaik hati pada saya, Muhammad
Luthfi dan Akhmad Ramadhan. Dari Banjarmasin ke Surabaya cuma bayar 100rb
peroranga. Padahal harga tiket normalnya bisa sampai 250rb bahkan 350rb. Tapi
lagi-lagi kami berterimakasih sama Acil Barsiah.
Kami kurang paham bagaimana Acil
Barsiah meloby awak kapal hingga tiket bisa seharga gitu. Tentu ini sudah
menjadi rahasia umum pelabuhan. Yang jelas, ikut “paket” Acil Barsiah ini, kami
tak punya asuransi keselamatan jika terjadi sesuatu pada kapal yang kami
tumpangi.
“Nak, tenang aja. Acil urus sudah, jika ada petugas lain bertanya maka
sampaikan aja Acil Barsiah yang jual asongan gitu,” Kata Acil Barsiah, selain
berterimakasih saya pengen meluk itu emak
sambil nangis seseduh-seduhnya lalu mencium tangan dan keningnya. Ya, ini sebagai pertanda kami bakalan
berpisah selama beberapa hari di Solo. Jika Acil Barsiah masih muda, tentunya
saya pikir-pikir buat ngelamarnya lalu kepalaminan, dan menghabiskan bulan madu
dipinggiran laut seraya menikmati pemandangan senja. Acil Barsiah, kami akan selalu mengenangmu dan selalu memelukmu
dari tengah lau. Kami akhirnya benar-benar harus berpisah dengan Acil Barsiah,
kami berangkat hampir tengah malam (3/10) pukul 10.37 WITA. Dan Acil barsiah
menitikan air mata, kami melihat itu dipelabuhan. Wowowow..
Acil Barsiah Panutan Segala Ibu
Sosok Acil Barsiah
begitu peka
melayani kami, kulitnya yang sudah keriput bukan berarti dia melunak
dengan umur, justeru begitu lantang. Sekan suaranya mengantarkan tidurku
sebelum kapal benar-benar berlayar.
“Gini ya menjadi penumpang
gelap” Kata
Luthfi, ia Sekjend PPMI Kota Banjarmasin dan sekaligus penanggungjawab
atas keberangkatan kami.
Memasuki gerbong kapal, kami seperti (tinja) ninja yang menyusup tanpa
sepengatahuan kru kapal. Kami nyosor di sela-sela mobil tronton lalu naik
tangga menuju lantai atas, “Kita benar-benar
gelap” pikirku.
“Subuh, kemungkinan
berangkatnya nak ai,” Ucapan Acil Barsiah seolah-olah masih mendengun
ditelingaku. Akhirnya saya ditempat tidur malam sambil merenung, jam sudah pukul 2.56 (AM). Bongkaran,
masuknya barang dan truk memakan waktu 4 jam. Kami menunggu dengan setia.
Sesekali merapikan barang dan sambil ngopi, dan
itulah
teman perjalanan kami selama 21 jam di tengah laut.
Acil Barsiah, sambil
memegang barang asongannya dan sesekali mengajak obrolan singkat, bukan
basa-basi seorang calo. Ia berhati keibuan, menawarkan tikar kecil dan memberi air
minuman botol 1 liter. Kepedulian dan perhatian Acil Barsiah (membuat saya jatuh cinta)
tak sampai disitu. Ia mengusahakan kami untuk memiliki kamar untuk ditiduri,
namun usaha itu terbantahkan oleh petugasnya bahwa kamar itu untuk supir dan
penumpang hanya duduk dikursi yang telah disediakan tersebut.
Sesaat, Luthfi ngobrol dengan beliau “Aulia, sempat sendiri berangkat ke jawa cil
lah!” ucap Sekjend. “Iyaa, acil jua meurus akan tuh,” sebut acil Barsiah, bahwa
itu teman akrab anaknya tersebut. “Anakku, sedang KKN nih di Kandangan. Ia
mengambil jurusan pemerintahan di Fisip – ULM,” ceritanya. Acil Barsiah
memaparkan panjang lebar soal akademik anaknya itu, membanggakan sesekali ia mengeluhkan
bayaran kuliah semakin tinggi kebutuhannya. Ada 1 Juta, minta anaknya itu dan
hingga berbaik sangka, “Anakku belajar, nanti jadi orang besar juga” isarat
matanya.
“Asal ada
pengalamannya cil ai. Anak pian
sukses aja, kuliah bukan soal pintarnya seberapa tapi kemampuan yang diberinya”
timpalku. “Anakku, mengikuti kegiatan-kegiatan seperti seminar dan kadang
bayar, 50 ribu” sebut acil Barsiah, anaknya banyak memiliki
sertifikat-sertifikat kampus. Kebanggakan itu selalu ditorehkan acil Barsiah,
tidak tahu apa soal perkampusan asalkan belajar kayak orang lainnya. “Mudahan anak
pian berpengalamam aja cil ai sesuai
jurusannya. Agar mendapat tempat sesuai bidangnya, bila ada keterampilan
sedikit Insyallah ada pekerjaan
untuknya” singgungku soal pekerjaan. “Ah, nak. Soal perkerjaan itu diatur
Allah. Nanti ada aja kita dikasih, bila usaha dan benar-benar bersungguh”
nasehatnya kepadaku. Kemudian aku tersenyum simpul. Ah, luar biasa sosok ibu
satu ini.
Agen
Stress Ala Penumpang Kapal
Malam ini, mewakili
segala kegelapan dihati dan rasanya keruh, memahaminya pun tidak akrab dengan
situasi. Bapak-bapak duduk berlingkar, sebagian berdiri sambil menyuarakan,
“Ayooo.. hadirin gabung bersama dewa stress, agen-agen stress merapat. Tambah..
tambah, makin tinggi yang didapat” serunya kepada seluruh penumpang. Beberapa
orang, memalingkan kepalanya.
Hari telah terang,
pagi menjajah suasana didalam ruangan dan lampu-lampu tetap bernyala, sela-sela
disudut kursi ada yang terbaring dan menggunakan handphonenya.
“Pasang.. pasang, agen
stress” bapak yang berbaju kaos tanpa lengan, memiliki lukisan ditangannya itu
menambah teriakan di ruangan tersebut. Semakin riuh. Semakin banyak yang
berhadiri, juga menambah pasangan lainnya semakin kuat terhadap permainan. Namun,
fenomena itu lebih greget diikuti oleh Sekjend, mengumpulkan duit pecahannya
hingga 5 ribu. Mengais-ngais didalam tas dan sudut dompetnya, “Jangan ditiru
lah, ini buat ongkos pulang kalau menang,” ia sembari tersenyum, kami berdua ter
tawa. “Asal jangan dibawa makan aja duitnya, Jend” hasebutku.
Perjalanan kapal,
masih memakan waktu 12 jam lagi. Adapun kantuk dan pergulatan bathin sudah
menemani 9 jam di kapal Mila tersebut.
Pukul 23.46 WITA, saya akhiri tulisan ini tanpa ada sambungan, episode. Sedikit
lelah penuh gairah dan pamit saya, Assalam..
Penulis: Muhammad Rahim Arza, Pimpinan Umum LPM Sukma, asal Kota Banjarmasin
Editor : MAHFUDISME
0 Komentar