KESALAHAN-KESALAHAN KITA YANG SUDAH TUA TAPI NGAMPUS BELUM JUGA LULUS-LULUS



MAHFUDISME Sebagai koloter 2013, dimana masa jajahan senior Ospek lebih kerasa ketimbang sekarang, saya sudah merasa tua, lebih-lebih sekarang yang setiap tahun terus bermunculan koloter-koloter baru dikampus. Barangkali ini kutukan karena dulu sering menganggap diri sendiri paling ideal jadi mahasiswa.

Dulu, awal-awal ngampus saya mah apa. Datang dari kampung terpencil lereng pegunungan bebatuan Sumenep ke Banjarmasin mirip orang gila yang suka bermain-main dengan imajinasi sendiri. Jaman MTs misal, terbersit ngampus dikota samasekali gak ada, apalagi ngampus harus menyeberangi lautan ke Kalimantan, sungguh amat tidak ada.

Namun siapa sangka, setelah tamat mondok dan selesai Aliyah, nasib berkata lain. Di pondok saya kenal dengan Ali Makki yang sekarang masih berkawan dan sama-sama melawan jajahan (SPP) kampus. Kenal dengan Ali inilah sebagai pembuka tentang kehijrahanku menuju Banua. Pulau asing.

Masuk kampus ter-alim di Kalimantan Selatan pada tahun 2013 dan kini sudah masuk tahun 2018, berarti saya sudah ngampus 6 tahun. Dan jika 6 tahun itu seukuran anak, maka ia sudah bisa masuk SD. Tapi, tetep saja di tahun yang sampah hastag #2019GantiPresiden ini, saya juga belum lulus-lulus. Padahal, saya KKN tahun 2016 dan di tahun itu juga semua mata kuliah sudah habis. Tapi saya belum habis-habis sampai sekarang soal hantu kampus.

Kawan-kawan seangkatan di jurusan maupun ke fakultas lain sudah pasang foto kawin di Instagram masing-masing, kawan seorganisasi cukup ramai menebar undangan ketika hari minggu. Sedangkan saya? Tetep saja dibayang-bayangi kampus. Tempat horor kedua setelah kuburan.

Dari asumsi-asumsi diatas, saya coba merenung, kesalahan-kesalahan apa saja yang saya perbuat, hingga 6 tahun lamanya ngampus terus berjalan. Dari perenungan-perenungan tersebut, saya pun menemukan kesalahan-kesalahan itu. Dan mungkin kesalahan mereka yang juga belum lulus-lulus sampai pilpres mendatang;

Ikut Organisasi adalah Kekeliruan Terbesar Sepanjang Sejarah
Yup, saya tak memungkiri itu. Organisasi adalah semacam tempat singgah untuk kita bermalah malasan. Saya baru nyadar apa yang dikatakan dosen tempo dulu “Jangan sampai organisasimu mengganggu kuliahmu” ucapnya. Saya pun jawab “iya, pak” tapi sebenarnya saya gak nurut sama omongan itu. Barangkali dosen itu benar, saya gak lulus hingga semester jumbo ini karena organisasi. Tapi sampai perjalanan jauhku hingga sekarang, saya dilahirkan di organisasi, hingga sekarang jadi redaktur majalah di tingkat Provinsi. Bukan, bukan saya sombong menyebutkan itu, cuma itulah realitas hidup. Saya bisa dikategorikan sukses bekerja, cuma saya tidak sukses ngampus.

Bayar SPP Sendiri
Ini yang sebetulnya penyakit. Karena bayar SPP sendiri, saya semakin malah buat lulus. Biasanya para kawanku yang cepet lulus alasannya hampir seragam “Saya gak mau membebani orang tua terlalu jauh. Saya harus cepat lulus” gitu. Rupanya saya keliru berpikir, dulu saya merasa nyaman karena bayar kost, bayar air, bayar listrik, bayar SPP semuanya pakai duit pribadi. Tahu gini, dulu saya minta duit ke orang tua saja biar cepet lulus ngampus. Cuman, kalau dipikir-pikir ulang, jangankan buat kehidupanku, adik-adikku banyak dan orang tua dirumah makan apa adanya, masak iya saya minta kemereka. Maka dari itu, saya gak bangga bayar apa-apa ketika ngampus pakai duit sendiri.

Ribetnya Urusan
Yang sudah serjana, pastinya tahu soal bagaimana ribetnya ngurus persyaratan skripsi. Saya sebagai orang yang sangat malas dan masabodo dengan keribetan-keribetan itu, merasa kalah sebelum bertanding. Yang ada dalam bayangku adalah, saya datang ke kampus mengajukan skripsi, tapi malah suruh ngajukan judul dulu, surat lulus mata kuliah, sertifikat macem-macem dan persyaratan-persyaratan sampah lainnya yang dalam keilmuan kita ketika lulus adalah sebenar-benarnya sampah. Saya bilang gini karena saya kesel, kampusku menerapkan bahasa asing dan soal paham gaknya mahasiswanya no problem, yang penting ikut dan lulus dapat sertifikat sebagai sisipan dari pengajuan skripsi. Inilah yang saya maksud, kita terlalu bergulat dengan agenda-agenda yang gak kalah absurdnya dengan janji-janji politikus jaman sekarang.

Tambah Emosi
Ini yang terakhir. Saya benar-benar emosi ketika ditanya “kapan lulus?” itu pertanyaan yang seolah-olah merendahkan harkat dan martabat kaum yang sampai sekarang belum rampung ngampus. Saya berani jamin 1.000% bila kita adu antara yang sudah serjana dan yang masih muter-muter dikampus, hasilnya adalah bakalan seimbang 50-50. Perbedaan paling mencolok antara kedua cuma satu, yaitu yang sudah lulus masang foto wisuda di Instagram, dan yang belum lulus sibuk membaca caption dan komentar. Selebihnya sama aja. Keilmuan dan kualitas dari keduanya ya juga hampir sama.

Okelah, itu saja ke-muaran-ku hari ini, hidup saraba babungulan, rumput tetangga lebih indah, tapi keindahan yang abadi hanya milik Sang Pencipta. Jadi, tunggu kami yang juga belum selesai ngampus ini mendapat hidayah dari Sang Maha Pecinpta. Mudahan di buka mata batinnya, dan selesai wisuda langsung sugih!

Penulis: Moh Mahfud 
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar