MENJADI POLITIKUS, ANTARA PANGGILAN NURANI DAN KEINGINAN RAKYAT, UJERNYA…



MAHFUDISME - Padahal pemilu masih tahun depan. Tapi, wangi-wangi kampanye sudah kecium dari lubuk hidung yang paling dalam. Aromanya persis gorengan di pasar mingguan. Maka wajar saja, politik yang merupakan bagian dari kelas sosial elit dalam masyarakat, banyak diperebutkan oleh berbagai kaum yang seolah-oleh “harapan rakyat”.

Bahkan banyak dari publik figure berbondong-bondong mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan berusaha untuk tampil dipanggung politik. Entah itu bagian dari kebutuhan partai politik yang mengiginkan namanya biar tambah kesohor atau memang dildilanagar nasib tujuh keturunan mereka nyaman bergelimangan (air mata) harta.

Menjadi seorang politisi bukan hanya berbekal sekedar memiliki nama tenar di mata masyarakat, bukan hanya sekedar branded dilapak dan spanduk agar kelak jadi cawapres (hanjaku). Tetapi, perlu adanya kecakapan, pengalaman baik berupa pendidikan maupun praktik terjun ke masyarakat langsung dan yang pasti harus berdasarkan panggilan nurani. Karena apapun yang dikerjakan berdasarkan panggilan nurani pasti akan berjalan seperti roda kereta api, tulus sesuai rel dan melaju tanpa salip menyalip.

Namun, jika mencermati pidato AYH kemarin yang setelah lobi sana-sini gak membawakan hasil menggembirakan bagi Partai Demokrat, seolah tokoh-tokoh yang sekarang nyalonin adalah semata-mata untuk rakyat dan rakyat pula yang menghendakinya. “Meskipun partai menghendaki, meskipun rakyat menghendaki saya untuk berkompetisi di pilpres mendatang, nyatanya saya tak bisa, saya mohon maaf kepada partai dan seluruh rakyat Indonesia dimanapun berada” gitu, aw.. aw.. aw… 

Politik memang selalu diperlukan dalam bernegara, sebab politik memiliki fungsi penting untuk mengatur bermasyarakat yang baik serta hubungan internasional, dengan memiliki kesadaran politik masyarakat bisa menilai bagaimana karakter pemimpin negaranya. Di sisi lain, politik dapat menjadi candu bagi siapa saja yang haus akan kekuasaan, seperti pengaruh ganja dan NAPZA, barang haram terebut akan memiliki dampak baik jika digunakan dengan dosis yang tepat serta digunakan secara tepat dalam dunia medis dan kedokteran. Namun sebaliknya, akan berdampak buruk jika disalahgunakan. Tidak jauh berbeda, politik pun akan bernilai salah jika dijalankan dengan cara-cara dildilan dan lobi pasokan dana yang ummalahaiii.

Tidak heran, posisi jabatan yang lezatnya bagai
ngelem di lampu merah itu, membuat para caleg tak segan mengeluarkan bejibun receh dari kantong dan dompet untuk membeli suara-suara rakyat. Padahal secara logika, negara kita menganut sistem demokrasi, artinya kekuasaan seutuhnya berada pada tangan rakyat (tapi kalau rakyat sudah di sawer gini piye?)

Lalu mengapa kekuasaan hak pilih yang di miliki rakyat justru bisa dibeli oleh orang-orang yang lapar pada kekuasaan? Jika kekuasaan itu sudah di tangan orang-orang lapar, tentu saja apa yang menjadi milik rakyat pun akan ikut dikunyah. Jika ditelusuri lebih dalam, mengenai alasan rakyat mau menerima receh, posisi ekonomi yang terjepitkah? Atau memang sekadar dari pada mubadzir.

Jika memang alasan ekonomi, maka peran bersama untuk mewujudkan masyarakat sejahtera adalah mutlak. Namun jika alasannya dari pada mubadzir maka pendidikan karakter dan moral Pancasila perlu ditanamkan dalam diri tiap-tiap rakyat dan dedek-dedek muda Indonesia.

Singkatnya, perlu adanya pembenahan pada sistem pengrekrutan anggota parlemen, perlu adanya transparansi dan proses yang selektif tanpa adanya praktik nepotisme dan rasisme. Sehingga, diperoleh hasil akhir yang berkualitas untuk meminimalisir terjadinya korupsi dan kolusi. Sebab menjadi elite politik bukan hanya sekedar nama dan merek namun juga wawasan, pengetahuan, ketangkasan dan kejujuran hati nurani (inilah politik yang diimpikan oleh rakyat Indonesia). Eiits.. tunggu dulu, saya bukan memberikan tausiyah, hanya saja jika lihat melempemnya PKS dan PAN yang kemarin ngotot nyalonin hasil Ijtima’ Ulama itu, apakah benar mereka “logowo?” atau piye Son?


Penulis: Neni Novia Rianti, mahasiswa UIN Antasari asal Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu
Editor: MAHFUDISME



Posting Komentar

0 Komentar