MAHFUDISME - Hiruk pikuk amis politik yang hajatnya bakalan
dilaksanakan pada tahun 2019 nanti, sudah ditabuh. Kadang saya ingin merasa
bagaimanakan pusingnya menjadi orang Jakarta. Kadang juga saya ingin dukung
poros cebong, tapi dakang pula saya ingin dukung poros kampret. Lalu merasakan
bagaimana hidup berakrobat yang sebenar-benarnya. Agama menjadi karung yang
bakalan membukus segala buah, dan jika buah dianggap buruk dan tidak layak, ia
akan dikesampingkan dan di cap “Seburuk-buruknya buah”. Mari kita kesana,
membayangkan kita menjadi warga Jakarta yang sebanar-benarnya menjadi manusia.
Kebanyakan televisi, semuanya membericakan itu, macam
sampah yang harus kita tonton saban hari. Dan sebodoh-bodohnya kita mau saja
menonton berita itu. Gerak politikus menjadi berita, sungai bau menjadi berita,
sepatu baru jadi berita, semuanya rasa nasional. Seolah-olah itulah keterwakilan
segala masyarakat nusantra. Benar-benar asyik membayangkan jadi orang Jakarta,
bukan?
Belum lagi ketika membaca berita dimedia online dan di
media sosial, hampir bisa dipastikan kita bakalan pusing melebihi politikus
yang diberitakan itu sendiri. Bahkan mari kita jauh lebih dalam, jangan lagi
membayangkan jadi orang Jakarta, tapi kita coba jadi pendukung salah satu kedua
poros. Anggaplah kita poros yang paling agamis itu.
Saya akan amat bahagia karena saya merasa diporos ini
menjadi kaum yang paling beruntung, bisa menjual kisah Nabi Ayub biar
orang-orang cepat nempel, atau ketika saya orasi di media social, saya akan
mengajak orang-orang kafir yang ada diluar barisan saya untuk segera bertobat
sebelum azab datang. Niscaya orang yang membaca status saya akan sedikit getir
karena kekafiran akan menjadi lambang di jidat mereka. Sungguh saya benar-benar
beruntung berada di poros ini.
Jika masih banyak orang-orang diluar golongan saya,
pastilah mereka adalah sesesat sesatnya orang dimuka bumi, dan jika ketemu
dengan orang yang demikian, begitu mudahnya mengajak mereka untuk bergabung dibarisan
yang paling benar ini. Bahkan, jika mereka masih tetap membangkan dan berada
dibarisan laknatullah itu, mereka benar-benar harus segera dilenyapkan dan
dibinasakan. Dan saya akan melupakan semboyan-semboyan suci Pancasila, buat apa
Pancasila intinya agama saya paling mantap dan prima. Masa bodoh dengan
semboyan ciptaan manusia itu.
Oke, kita minum dulu… lanjut..
Setelah kita ngebayangin jadi poros paling agamis,
kita belok jadi poros sesat dan bakalan diazab omongan yang agamis. Kita akan
merasakan bagaimana menjadi orang yang paling dikutuk diabad ini, kita akan
melebihi posisi kebangsatan Donald Trum ketika duta besarnya pindah ke
Yarussalem. Tapi, meski cap sesat dengan disertai kafir pula, kita akan menjadi
orang paling beruntung karena posisi kita sekarang menjadi penguasa dan bisa
bikin sulap-sulap kilat.
Kita akan lebih gampang jitak orang karena
pandangannya beda dengan kita, dan tentu gampang saja, cap mereka sebagai orang
makar, penunggang kepentingan, tukang suntik dana dan semacamnya, pastilah
mereka akan jadi pesakitan dalam kerangkeng lalu kita asingkan. Mudah bukan?
Kita akan selalu menjual nama demokrasi dan atas nama
pembangunan yang berkelanjutan, kita akan gampang mengatur keuangan negara,
namanya juga penguasa, ya sah sah saja selama itu tidak ketahuan. Toh kita sudah mereka anggap orang
kafir. Dengan anggaran yang belok belok bin jelimet, kita akan lebih mudah
menyusun strategi untuk menang tahun mendatang. Kita akan menjadi penguasa
lagi, dan jika kita benar-benar menang, kita lucuti sorban mereka satu-satu,
masukan dalam kurungan, biar mereka benar-benar hidup hanya untuk ibadah.
Baiklah, kiranya itulah dua bayangan kita dalam situasi
perpolitikan sekarang. Kita sudah menjadi bagian dari kedua poros, lalu kita
kembali pada judul tulisan ini, yaitu menjadi penggemar Cak Imin. Nama beliau
kita bisa lihat di pinggir jalan, baliho, dan tentu saja berita. Beliau
deklarasi jadi calon wakil presiden sejak jaman 2016 dimana masyarakat tak sebore sekarang.
Di Kalimantan Selatan sendiri nama Cak Imin cuma
tedapat dibaliho, disini basis PKB memang tidak sekuat di Jawa Timur. Maka
wajar saja banyak yang tidak tahu Cak Imin apalagi Gus Romy yang gemar
bernyanyi dengan suara emasnya itu. Dengan ketidak populernya Cak Imin di mata
masyarakat Kalsel yang jauh dari level kepopuleran beliau di Jawa.
Di Kalsel suasana dukung mendukung pasangan calon
presiden dan wakil presiden memang tidak semeriang di Kota Sepuh Jakarta.
Disini begitu nyaman, kita hanya mendengar sampah-sampah dan remahan-remahan
politik. Sementara yang labil berusaha menjadi pembela yang dengan gampangnya
nuduh ini-itu pada lawan. Hidup memang benar-benar keparat, dan jika kita lengah
sedikit kita bakalan berada di zona tak nyaman. Demikian..
Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME
0 Komentar