MAHFUDISME - Kita terlalu
sering berbicara dengan menggunakan data sekaligus fakta, atau mungkin kita
terlalu sering mendengar orang mengatakan, bicara itu harus sesuai fakta. Atau
ada yang bertanya, “faktanya apa?”
Oke, sekarang
mari kita ubah arah mata kita ke arah lain (saya mengatakan demikian, bukan
untuk membuat kita tampak berbeda dengan kebanyakan orang, sebab semakin kita
berusaha untuk berbeda, maka kita sebenarnya akan tampak semakin sama).
Kita jarang
keluar dari realitas hidup, sebab pada dasarnya kita sudah begitu akrab
dengan segala sesuatu yang ada disekeliling kita, namun karena saking akrabnya,
kita tidak lagi tersentuh.
Misalnya
begini, melalui hp kita bisa membaca jutaan kata setiap harinya. Diantara
kata-kata yang kita baca, kita sering membaca tulisan seruan untuk membaca
buku—atau rekomendasi bahan bacaan yang bagus.
Negara yang
kita huni sekarang ini, sudah dapat dipastikan separuh dari penduduknya membaca
buku dengan benar dan tidak (mungkin) membaca
dengan buku terbalik. Pernyataan semacam itu dapat kita lihat dari
permintaan terhadap hp dan pakaian model baru yang semakin melangit, foto-foto
bahagia di mall-mall dibagikan di Instagram
beserta caption yang seolah-olah mengandung faedah dalam hidupnya, kita
membacanya setiap hamper hari bukan? Pertanyaannya, apakah akan terus seperti
itu sampai hari kelahiran tikar purun
dirayakan?
Jangan
berhenti sampai disitu, masih ada perihal lain yang harus kamu baca terkait
judul di atas. Ya, meskipun terasa membosankan dengan struktur tulisan yang
disusun dengan rusuh dan susunan kalian yang ugal-ugalan ini. Setidaknya kamu
sudah membaca lebih 240 kata. Untuk itu, mari lanjut kepragraf berikutnya.
Sebagai
manusia yang masih berusia muda, sebelum bicara soal kawin-mawin yang menjadi
konsumsi sehari-hari dede-dede
semester 3-5 yang unyu-unyu itu, sebelum kita bicara soal curhatan pak SBY,
atau nama yang cocok buat cucu kedua Pak Jokowi dan omelan Amang Rocky Gerung di ILC—rasanya ada yang tidak kalah kompleks dan
relevan dari itu.
Saya suka jalan-jalan, mungkin juga kamu (dan
juga barangkali editor tulisan ini). Saya sering jalan-jalan ke pusat keramaian
kota—taman kota, misalnya. Biasanya ditaman kota ada semacam identitas
kelompok, atau jika saya katakan; taman kota adalah identitas sebuah rezim yang
sengaja dibangun dan kita menyebutnya sebagai ruang publik.
Nah,
dari ruang publik itu kita bisa melihat atau mempelajari psikologi setiap
orang. Di taman maskot Bekantan, misalnya. Kita bisa melihat ada kecemasan,
kegelisahan numpuk disitu, kekacauan pikiran ada disitu, fanatisme ada disitu—setiap
orang seakan ingin menampakkan kehendak untuk bahagia. Lalu pertanyaan
sederhananya adalah, sebetulnya fungsi sebuah ruang public untuk apa?
Kita telah lama
menenggelamkan pikiran. Saya merasa kita telah sengaja menutup percakapan di
ruang publik, secara sadar atau tidak, kita berusaha menghindari kritik sehingga
kritik yang tajam dan dalam, turut serta terbenam di dasar keinginan dan
keengganan.
Semenjak
warung-warung pojok tidak lagi menarik minat, semenjak mall-mall mulai
memperbarui dirinya sendiri, semenjak Kota tumbuh lebih banyak toko-toko
pakaian dari pada toko buku atau perpustakaan. Mestinya kita bisa memilih pusat
keramaian ditaman kota sebagai ruang publik untuk membicarakan semua hal agar
akal yang sehat tumbuh menjadi pikiran yang hebat.
Di ruang publik,
budaya literasi bisa tumbuh dan berkembang lebih luas ke semua lapisan sosial.
Sekarang ada satu hal yang dapat saya buktikan, yaitu kamu sudah membaca lebih
dari 630 kata. Itu membuktikan, bahwa kamu sebetulnya memang tidak malas
membaca.
Baiklah, saya
ingin mengakhiri satu kekacauan dalam tulisan ini. Sebagai manusia yang masih
memiliki dua kebanggaan, yaitu pikiran dan usia yang masih ranum, kita musti
menjalankan satu misi negara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
alternatif ruang publik. Sudah saatnya kawan-kawan seniman kampus turun untuk
membuat sebuah kekacauan lain berupa percakapan hangat dan kuat juga akal yang
sehat tanpa menanggalkan kesenian yang selama ini kita hidupkan di kampus.
Membaca
banyak buku tidak membuat kita tampak keren dan wah, tapi dengan banyak membaca
buku, kita mampu membuat sebuah jalan pikiran baru dan segar dengan cara
menghidupkan kembali percakapan di ruang publik.
Pada akhirnya
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada kamu, ya siapa lagi selain kamu?
Karena kamu telah berhasil menyelesaikan setidaknya 760 lebih kekacauan kata. Selamat!
Penulis: Abdul Karim, Penyuka puisi, asal Puruk Cahu Kalimantan Tengah.
Editor: MAHFUDISME
0 Komentar