MAHFUDISME - Tepat pukul 01.57 WITA pagi saya sepulang
dari tempat ngopi di bawah jembatan Banua Anyar, isu diskusi-diskusi
yang beragam diomelen dalam kepala masing-masing. Di sepanjang jalan
menuju rumah, tepat di depan Poltabes, seorang kakek tidur pulas di halte.
Disamping sang kakek, terdapat sepeda dengan mainan anak-anak yang mengantung.
Barangkali
si kakek seharian berkelana, menjajaki mainan yang untungnya tidak seberapa
itu. Entah si kakek tersebut sudah makan atau belum, dan barangkali ia juga
lupa rumahnya sebelah mana, atau ia dituntut harus menjual mainan itu semua
baru bisa pulang. Pemandangan yang begitu nyinyir di Kota
Banjarmasin yang katanya mendapat predikat tingkat nasional “Kota Layak Huni”.
Sebut
saja kakek itu namanya kakek Amin, kakek yang istiqomah tidur ditempat yang sama, dengan
dingin yang sama pula. Usinya
64 tahun. Kulitnya
sudah nampak keriput, wajahnya seperti menanggung banyak kecemasan hidup.
“Apakah mainan yang di jual itu masih laku ditangan anak-anak sekarang?” batinku. Tiap kali melewati jalan raya itu. Saya melihat kakek
Amin, di atas tempat ia tidur, saya melihat ia sedang nyenyak bermimpi. Saat
malam itu, saya melihat kakek Amin sedang mimpi Ibu Megawati menggandeng Pak
SBY. Keduanya berpegangan tangan dan buru-buru ke taman Mathilda.
Sesekali
keduanya tersenyum sambil menyapa warga di komplek Bina
Brata. “Wahai masyarakat Bina Brata, warung makanan yang ada dipinggiran
ini. Kami gratiskan selama dua minggu non-stop”. Entah perayaan apa yang mereka
rayakan, tiba-tiba keduanya tampak bahagia dan seolah-olah tak terjadi
apa-apa.
Kedua mantan Presiden, dan keduanya
pula saling gandeng tangan. Pemimpin yang patut di contoh masyarakat sekarang
yang suka bilang “kafir”. Bu Mega dan Pak SBY adalah suritauladan yang
harus kita puja. Selain gandeng tangan dan nawarin nasi gratis, keduanya sibuk
menebar senyum bahagia. Pertanda ada cinta dalam tangannya, ada kasih sayang
dalam matanya. Aduh Bu Pak…
Saya
melihat kakek Amin senyam senyum sendirian lalu terbangun dari
kantuk panjangnya. “Eh, cuma mimpi toh,” celetuknya grogi. Sementara angin pagi telah menyentuhnya di badan trotoar
jalan.
Mimpi itu tak lain hanya sekadar
keinginan masyarakat, semenjak keduanya saling nyeruduk soal pandangan dan
saling sikut karena polemik Pilpres 10
tahun lalu, kemesraan SBY dan Megawati tak kunjung didapati, pergulatan panas terus melanda ditubuh partainya.
"Monggo silakan lihat dalam jejak
digital maupun media cetak, bahwa menjelang pemilu, pasti
Pak SBY selalu menyampaikan keluhannya tentang Ibu Megawati.
Padahal Ibu Megawati baik-baik saja." Komentar itu disampaikan Sekjen PDI
Perjuangan Hasto Kristiyanto menanggapi keluhan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) soal hubungannya dengan Megawati yang hingga kini
masih meriang.
Rabu (25/7) malam, usai bertemu dengan Ketua
Umum Partai Amanat Nasional, SBY kembali mengungkapkan mengapa partainya hingga
kini sulit berkoalisi mendukung Jokowi di Pilpres 2019. "Hubungan saya
dengan Ibu Mega, harus saya katakan jujur, belum pulih, masih ada jarak,"
ujar SBY menjawab pertanyaan wartawan.
Seakan, luka dalam yang membekas dilubuk hati
Megawati masih belum terobati, sehingga pengorbanan SBY tak ditanggapi
bulat-bulat. Megawati masih belum move on, senyuman SBY tak
kunjung jadi obat. Keresahan
Megawati tak kunjung
tamat.
Bagai sungai Martapura, keruh tapi menjadi
pusat perhatian warga lokal dan nasional. Menjadi tempat wisatawan. Megawati
menggambarkan rasa itu di lautan mata SBY, terus membanjiri halaman dadanya.
Namun, kenyataan itu di Indonesia berlaku saja. Keruh, tetap digandrungi. Tak
sekeruh mimpi kake Amin dalam dekapan malam yang gigil. Nyamuk dan
semut sebagai teman akrabnya di bawah naungan Halte. Sesaat, kakek Amin tersenyum lagi,
mengingat mimpi itu lama ia belum rasakan kembali, terakhir saat Pubertas.
47 tahun yang lalu.
Penulis:
Muhammad Rahim Arza, Pimpinan Umum LPM Sukma, tinggal di Banjarmasin
Editor:
MAHFUDISME
0 Komentar