DARI MENJUAL PENTOL, JAGA WARNET, DAN KESALAHAN-KESALAHAN KITA JADI MAHASISWA YANG DIKIT-DIKIT NGELUH


MAHFUDISME - Kota Banjarmasin adalah tempat dimana saya menginjakkan kaki pertamakalinya di Kalimantan Selatan, sulit membayangkan bagaimana rupa Banjarmasin kala itu, jangankan menginjakkan kaki, berhalusinasi saja tak pernah. Tapi nyata-nyatanya saya menghabiskan banyak waktu di Banjarmasin.

Dari jauh saya cuma baca kalau Banjarmasin punya julukan “Kota Seribu Sungai”. Saya turun dari kapal Kumala, kala itu, membayangkan bakalan hidup dengan dikelilingi sungai, air yang jernih layaknya sungai di kampungku. Setelah turun dari Kapal dengan perjalanan yang menghabiskan waktu 18 jam di lautan itu, saya pun cari musholla, istirahat sejenak dan membaringkan badan “saya mau kemana?” itulah kata awal sebelum saya benar-benar mencintai Banjarmasin sampai sekarang.

Tahun 2012 adalah tahun dimana saya seharusnya melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi saya tak bisa, saya harus berbohong ke orang rumah bahwa “Saya sudah masuk kuliah”. Tapi nyata-nyatanya tidak demikian. Saya harus melewatkan tahun itu dengan berjualan pentol keliling di kota ini, mengambil upah naik gerobak keliling jalan gang maupun jalan kota, saat malam, biasanya saya duduk dipinggir jalan dengan berharap ada yang membelinya. Ya begitulah, saya jalani kehidupan itu selama kurang lebih setahun dan menyisakan duit buat nantinya kuliah.

Dulunya saya merasa menjadi penjual pentol adalah semalu-malunya orang, tapi nyatanya tidak, dengan menjual pentol saya bisa kuliah dan dengan uang tabungan jualan pentol itu pula saya bisa sampai sekarang. Hidup memang pilihan, kita kadang terlalu asyik dengan pilihan kita dan akhirnya lupa kenapa kita harus memilih demikian.

Tahun 2013 adalah awal saya menginjakkan kaki di salah satu kampus yang ada di Banjarmasin. Saya mendaftarkan diri lalu mengikuti serangkaian ritual hingga saya benar-benar di baiat menjadi mahasiswa. Memang, menjalani kehidupan awal mahasiswa cukup banyak mengeluarkan uang, dan lama kelamaan tabungan hasil jualan pentol saya menipis. Akhirnya saya harus memutar otak, mencari kerjaan sampingan yang tak mengganggu kuliah.

Sekitar seminggu setelah saya ajukan lamaran pekerjaan, akhirnya saya di terima jadi penjaga warnet dengan gaji Rp. 600rb perbulan. Jelas ini gaji yang tidak cukup, tapi mau gimana lagi, ketimbang saya tidak ngapa-ngapain dan tabungan semakin nipis. Saya bekerja di warnet Nabila di Teluk Dalam, lumayan jauh dari tempat tinggal, kurang lebih mulai dari semester 1 sampai semester 3. Setelah itu saya kerja serabutan.

Semester 4 sampai semester 9 benar-benar harus menjadi mahasiswa penggangguran. Saya habiskan banyak waktu diinternet dengan mencari beberapa lomba, dan mengirim karya di berbagai media. Waktu itu saya sampai lupa kapan terakhir makan dan apa yang dimakan, hidup numpang sana-sini ke kawan, tempat tinggal juga gak karuan, malam menjadi hari hanya buat diskusi. Begitu seterusnya. Ketika menjelang bayar spp saya tak tahu harus kemana, kadang susah cari pinjaman, kadang juga saya nekat nanya ke jurusan buat pinjem duit dan gak tahu gimana cara ngelunasinnya. Beberapa kali ikut beasiswa, mulai dari mahasiswa miskin hingga mahasiswa berprestasi, tapi nyata-nyatanya beberapakali pula saya tak mendapatkan beasiswa itu, banyak yang lolos beasiswa justru orang-orang "terdekat".

Saking nganggurnya, saya hanya disibukkan dengan organisasi. Nah dari organisasi ini saya ingat cita-cita awal saya kenapa berangkat ke Kalimantan. Orang-orang rumah mencibir pilihan saya, lebih-lebih tetangga yang dengan bahasa hangatnya bilang “Kuliah, ujung-ujungnya jadi tukang batu, jadi petani”. 

Kala itu saya sadar betul bapak dan ibu saya hanyalah seorang petani. Tapi apakah salah jika saya punya harapan lain? Membentangkan nasib dengan berlomba-lomba layaknya orang sukses? Yang jelas, harapan saya luntur di omongan tetangga. Mereka sibuk seolah-olah pilihan saya salah dan gak musti dituruti anak-anak mereka nanti.

Kampus seringkali menuntut mahasiswanya cepat lulus, tapi jika ia berprestasi kampus dengan gagahnya memuja-muji dengan membuatkan baliho, jika alumni kerja di posisi nyaman di kepemerintahan atau dimana saja, jurusannya bergerak cepat mengakui kalau dia “alumni jurusanku”. Itulah yang saya rasakan, ketika waktu awal tahun 2016 silam, ketika saya menang lomba tingkat nasional di Universitas Brawijaya Malang, jurusan malah melempar-lemparkan nasib keberangkatan saya, saya pun menjadi pengemis kesana-kemari cari dana. Akhirnya saya berangkat dengan dana yang diberikan langsung dari kantong Pak Rektor (semoga beliau selalu sehat), dan ketika pulang dengan membawa piala itu, saya serahkan ke jurusan buat dipajang didalam kantor. Saya tak berharap banyak lebih, saya hanya mau bilang dengan meletakkan piala itu “jika ingin mahasiswanya berkualitas, tolonglah hargai usaha mereka”.

Tepat awal tahun 2018 lalu, saya benar-benar menjadi pengangguran, saya cuma aktif nulis di blog dan cari kuis di medsos, kadang menang, tapi banyak yang kalah. Saya sudah lamar kerjaan sana-sini tapi tak satupun ada panggilan. 

Saya pun pasrah nasib saya kedepan, barangkali omongan tetangga saya ada benarnya juga, pikirku. Tiba-tiba saat saya nulis di blog ini, hp saya berdiring, bertanda ada pesan masuk, betul, pesan masuk dari sahabat yang juga mantan Pimpinan Redaksi sewaktu saya masih di LPM Sukma, M. Ali Furqan. “Kamu mau kerjaan?.... bla bla…” Saya pun mengiyakan. 

Dia merahasiakan kerjaan apa itu “Kalau mau nanti ikut saya, saya antar langsung kesana” katanya.. saya pun menyanggupi itu. Dan akhirnya, berkat banyak kawan, sekarang saya dapat kerjaan. Sekali pun saya belum lulus dengan beban semester 12 ini, saya tetap bersyukur punya banyak kawan yang luar biasa, “toh yang sudah lulus ujung-ujung pasti lari ke kerjaan” celetuk kawanku, Budi.

Alhamdulillah, sekarang sama halnya seperti dulu, saya bergulat dengan dunia tulis menulis sewaktu masih aktif di LPM Sukma, saya akhirnya diterima bekerja (15 Januari 2018) dan posisi jabatan saya kini jadi Redaktur Majalah Wasaka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Staf Pengelola Data Kasubag Humas dan Protokol Setda Kalsel dan dipercaya sebagai salah satu konseptor pidato gubernur. 

Saya bilang disini bukan pamer, buat apa pamer, saya toh orang kampung yang nyasar dan barangkali saya hanya beruntung saja, tapi bagaimana pun tanggapan kalian atas pekerjaanku, itu semata-mata untuk pemicu semangat kawan-kawan yang lain, biar tak sedikit-sedikit mengeluh, biar tahu bagaimana rasanya menjadi orang yang dari kampung tapi punya harapan besar untuk berubah, biar mereka tak gampang patah semangat untuk terus berproses. Saya selalu ingat guru tulis opini saya sewaktu masih mondok pernah bilang “Jangan silau pada keberhasilan, tapi banggalah pada proses”.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar