BUKU ADALAH ANTI SOSIAL YANG MENARIK DAN HAL LAIN YANG TIDAK KALAH PENTING DARI BUKU





MAHFUDISME Sebelum kamu menyesal, saya sarankan lebih baik abaikan tulisan ini, karena tulisan ini sangat membosankan, sungguh!

Sebagai seorang yang sok-sokan rajin membaca buku, ada beberapa hal yang saya pahami dari buku. Bukan isinya. Buku tidak bisa membaca dan menjelaskan dirinya sendiri. Saya sering diserang pertanyaan dan pernyataan ‘agak’ klise dan sudah basi (seperti tulisan ini). Mengapa kamu membaca buku, buat apa banyak-banyak dan rajin baca buku kalau tidak paham isinya? Orang yang rajin baca buku biasanya orang yang tertutup dan asik dengan dunianya sendiri. Orang yang rajin baca buku, lazimnya rentan diserang sepi.

Pertanyaan dan pernyataan semacam itu yang belakangan membuat saya mengulum senyum. Setuju dan tidak setuju. Namun cenderung tidak setuju. Berikut alasan ketidaksetujuan dan hal-hal yang saya ‘temui’ dari membaca buku;

Kembali Menjadi Anak Kecil

Menjadi anak-anak memang menyenangkan, sebab waktu cuma ada satu: bermain dalam belajar atau sebaliknya. Kamu pasti pernah melihat atau menemui anak-anak yang mulutnya tidak luput dari pertanyaan. Umpamanya begini, ketika kamu jalan-jalan ke tempat jauh atau tempat yang paling dekat saja bersama adik kecil atau kemenakanmu, atau pada keadaan lain di mana kamu menjadi penumpang angkutan umum, bus atau apapun jenis kendaraan umum yang kamu tumpangi—ada seorang anak yang selalu bertanya, itu apa, mengapa begitu, atau masih jauhkan perjalanan kita, bahkan pertanyaan yang tidak terduga sekalipun tetap ia tanyakan kepada orang tuanya tentang segala sesuatu yang ia lihat di sepanjang perjalanan.

Dan tidak berhenti sampai di situ, sampai ia benar-benar puas dengan jawaban yang ia terima hingga orang tuanya mulai bosan (dan kesal) dan sudah tidak tahu harus menjawab apa. Begitu pula dengan membaca buku—hanya melalui buku kita bisa menjadi penanya yang baik dan terus diserang rasa penasaran (seperti anak kecil) setidaknya kepada diri sendiri. Buku memang tidak bisa menerjemahkan dirinya sendiri, tapi buku mampu mengaktifkan imajinasi kita.

Dari deretan kata yang kita eja hingga halaman demi halaman yang kita bolak-balik, selalu bisa membuat kita semakin penasaran sekaligus membosankan (tulisan ini mewakilinya). Heuheuheuheu. Ketika kita mulai bosan, resah dan gelisah dengan pertanyaan kepada diri sendiri tentang ketidakmengertian kita terhadap buku (dan segala sesuatu) yang kita baca.

maka secara sadar atau tidak, setuju atau tidak kita membutuhkan orang lain tempat kita bertanya dan saling berbagi. Sampai di sini, saya ingin bertanya, apakah kamu masih ingat kalimat di awal-awal tulisan ini? Bukankah sudah saya sarankan? Baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan sampai ke bawah dan sabar.

Senjata Pembunuh Waktu

Ya betul. Kamu tidak salah baca dan saya tidak salah ketik. Buku adalah senjata untuk kita membunuh waktu ketika kita bosan sendirian. Jika kamu seorang traveller, ketika sedang berada di pelabuhan udara, terminal, halte, pelabuhan air atau di mana pun dan apa pun yang kamu tunggu, saya yakin betul kamu sudah pasti diserang kebosanan saat menunggu jam keberangkatan—apalagi jika hendak bepergian dengan menggunakan kapal terbang yang sering delay berjam-jam.

Di saat seperti itu, kita kadang-kadang bingung, apa yang mesti dilakukan jika tidak ada orang lain yang bisa diajak berbincang dan berkenalan selain selfie, update status di sosmed, mengunjungi toko baju model baru dan mahal di internet. Maka, membaca buku adalah satu kemungkinan yang mungkin paling ampuh membunuh kebosanan dan waktu.

Buku Merekomendasikan Kita Berkenalan dengan Orang-orang Baru, Teman-teman Baru, Bahkan Mungkin Pacar Baru

Pernah beberapa kali, ketika saya berkeliling ‘membersihkan’ jalanan di kota Banjarmasin, secara tidak sengaja saya bertemu dengan seorang yang sama sekali tidak saya kenal, begitu pula sebaliknya. Dia sedang duduk dan saya dari arah jauh melihat dia menunduk membaca buku.

Ketika jarak saya sudah dekat dengannya—saya tidak penasaran dan peduli dengan siapa yang sedang membaca buku di bangku itu. Saya lebih penasaran, siapa penulis buku yang sedang ia baca. Saya tidak kenal penulis buku dan orang itu, tapi judul buku itu sungguh akrab di benak saya.

 Dengan sekejap jiwa anak-anak yang telah lama mati dalam jiwa saya hidup kembali. Saya menjadi anak kecil yang kaya dengan rasa penasaran. Sebelumnya, saya tidak hendak singgah dan menghampiri orang itu, tapi lagi-lagi buku itu menyeret saya mendekat kepada orang itu.  Dan begitulah akhirnya saya berkenalan dan bertanya tentang buku dan hal-hal di luar buku.

Dia menyudahi bacaannya itu. Dia banyak bercerita tentang semua yang lucu dan yang ringan-ringan saja—mulai dari isu Sosial, Budaya, Politik, Ekonomi dan Agama, padahal buku yang ia baca adalah Novel. Dia juga merekomendasikan saya banyak buku. Dia lelaki. Tetapi saya juga pernah mengalami kejadian yang serupa dengan seorang perempuan, waktu itu di sebuah warung kopi—dia sedang membaca buku puisi cinta.

Tentu saya terseret lagi oleh rasa penasaran, kali ini bukan pada apa yang dibaca, tapi siapa yang membaca. Sebab yang membaca buku puisi cinta itu perempuan cantik. Haha!. Ada hal yang kadang-kadang tidak disadari oleh kita tentang orang yang membaca buku dan orang itu sendiri. Ada beberapa orang yang menganggap orang yang membaca buku hanya tahu tentang teori saja.

Di lain sisi, kita menganggap orang lain hanya tahu begerak tanpa isi, dan begitu seterusnya. Padahal ada yang lebih penting dari sekadar tahu teori atau tahu gerakan dan aksi—yakni perbincangan sebagai manusia tentang manusia itu sendiri, padahal itu yang paling penting di luar buku.

Sungguh tulisan yang mebosankan, bukan? Padahal sudah saya sarankan sejak awal. Tetapi baiklah, saya akan mengutip sebuah tulisan untuk mengakhiri tulisan yang kacau ini. Saya lupa di mana saya pernah baca tulisan itu.  Jika kamu pernah baca, mohon beritahu saya.  Bunyinya kurang lebih seperti ini, “jika kamu merasa bodoh, bacalah buku. Jika kamu merasa pintar, bacalah buku”.

Penulis: Abdul Karim, Penyuka puisi, asal Puruk Cahyu Kalimantan Tengah.
Editor: MAHFUDISME

Posting Komentar

0 Komentar