3 PERSOALAN MENJADI PEMIKIR YANG JOMBLO, DAN MAHASISWA YANG NYAMPAH



MAHFUDISME Jalan-jalan, Jajan dan Nongkrong
03:15 adalah angka yang ditunjukkan jam tangan berwarna orange milikku, beberapa menit sebelum kususun tulisan ini. Decit kipas angin mungil disampingku seakan tidak hendak kalah dengan jerit tiang listrik yang dipukul petugas keamanan komplek dengan besi batangan entah apa namanya.

Beberapa saat sebelum ada niat menulis catatan ini, aku masih berada disebuah warung kopi di kawasan jembatan Banua Anyar. Sebetulnya kondisi pikiran dan perasaan tidak begitu memungkinkan buat menulis, tapi obrolan di warung kopi itu meninggalkan kegelisahan dalam kepala.

Diantara beberapa orang yang kuajak berbincang itu, memang hanya satu atau dua orang saja yang kukenali, entah kenapa aku merasa dalam perbincangan yang hangat itu semua orang seakan sengaja mengajukan pertanyaan yang sebetulnya menolak diberi jawaban. Orang-orang serasa ingin lebih banyak bicara dari pada mendengar.

Tiang listrik tak lagi menjerit dipukul petugas keamanan komplek. Para jamaah satu demi satu keluar meninggalkan masjid dan langgar usai subuh. Aku masih duduk menghadap layar laptop yang cahayanya tak bisa diredupkan. Membuat kepalaku semakin pusing, membuat dadaku berdebar lebih cepat dari biasa, membuat ingatanku tentang percakapan di warung kopi itu semakin menggila. Mengapa tak ada orang yang lebih mudah menerima pikiran orang lain semudah mereka memberi pertanyaan?

Sungguh semua orang semakin rumit. Apakah kebahagiaan telah mengubah mereka menjadi pecundang, atau kesendirian yang telah mengubahku menjadi bajingan?

Di malam minggu yang sesungguhnya hari besar buat mereka yang punya kekasih, sementara buat seorang jomblo mambari maras sepertiku, malam minggu adalah kutukan. Setelah berhari-hari berusaha membahagiakan diri sendiri di kamar kosan, tak ada pilihan lain selain nongkrong bersama para jomblo mambari maras lainnya sambil mengata-ngatai diri sendiri dengan diskusi tentang buku yang sebetulnya cuma buat pengalihan isu.

Perempuan dan Malam Mingguan
Dari perbincangan di warung kopi itu aku mengalami semacam kecelakaan pikiran tentang lelaki dan perempuan. Sebetulnya pernah dikatakan seorang penyair entah siapa: “perempuan seperti anak kecil, senang mengatakan tidak. Lelaki seperti anak kecil yang bodoh, suka menanggapi perempuan dengan serius”. Aku pikir ada benarnya juga. Sebab lelaki lebih mudah pergi, semudah mereka datang. Sementara perempuan, terlalu mudah menyimpan sesuatu di balik malunya yang pura-pura.

Malam minggu dan warung kopi tak lagi menjadi ruang dan waktu yang menyenangkan, ditambah lagi hidup di kota yang lebih setia merawat bangunan dari pada tanaman. Semuanya menjadi menyebalkan. Belum lagi mendengar kabar teman-teman yang seangkatan denganku akan diwisuda dan dibaiat sebagai pengangguran terdidik.

Tapi aku tak ingin membahas soal itu lebih jauh lagi. Aku ingin tidur saja, mengingat waktu dan mataku sudah tak lagi bisa diajak berkompromi, tapi cicak yang sedang termangu di plafon seolah-olah berkata “Jangan tidur dulu, jangan lanjutkan tulisanmu yang unfaedah itu, lebih baik kau lihat taiku meluncur dengan indah ke bawah dan memikirkan kenapa warna putihnya lebih sedikit ketimbang yang hitam”.

Pura-pura Bahagia
Bagi mahasiswa yang berpura-pura menjunjung tinggi idealisme, saya selalu ikut-ikutan bicara soal kampus dan mahasiswa dengan segala macam bentuk persoalannya. Baik diluar maupun di dalam kampus selalu dibawa ke mana-mana menambah kecurigaanku kepada segala sesuatu jadi semakin hungang.

Di jalan pulang menuju kos, banyak hal yang aku curigai, salah satunya adalah rambu-rambu lalu lintas. Aku curiga, jangan-jangan lampu lalu lintas ini sengaja dibuat agar orang-orang semakin hari semakin tergesa-tergesa dan gelisah sama gelisahnya dengan mahasiswa kedaluarsa yang tiap hari bolak-balik ke kampus dan tak tahu apa yang mesti diurus, seperti diriku ini. Udah, itu aja dulu.

Penulis: Abdul Karim, Penyuka puisi, asal Puruk Cahu Kalimantan Tengah.
Editor: MAHFUDISME



Posting Komentar

0 Komentar