03:15 adalah angka yang ditunjukkan
jam tangan berwarna orange milikku, beberapa menit sebelum kususun tulisan ini.
Decit kipas angin mungil disampingku seakan tidak hendak kalah dengan jerit
tiang listrik yang dipukul petugas keamanan komplek dengan besi batangan entah
apa namanya.
Beberapa saat sebelum ada niat
menulis catatan ini, aku masih berada disebuah warung kopi di kawasan jembatan
Banua Anyar. Sebetulnya kondisi pikiran dan perasaan tidak begitu memungkinkan
buat menulis, tapi obrolan di warung kopi itu meninggalkan kegelisahan dalam
kepala.
Diantara beberapa orang yang
kuajak berbincang itu, memang hanya satu atau dua orang saja yang kukenali,
entah kenapa aku merasa dalam perbincangan yang hangat itu semua orang seakan
sengaja mengajukan pertanyaan yang sebetulnya menolak diberi jawaban.
Orang-orang serasa ingin lebih banyak bicara dari pada mendengar.
Tiang listrik tak lagi
menjerit dipukul petugas keamanan komplek. Para jamaah satu demi satu keluar
meninggalkan masjid dan langgar usai subuh. Aku masih duduk menghadap layar
laptop yang cahayanya tak bisa diredupkan. Membuat kepalaku semakin pusing,
membuat dadaku berdebar lebih cepat dari biasa, membuat ingatanku tentang
percakapan di warung kopi itu semakin menggila. Mengapa tak ada orang yang
lebih mudah menerima pikiran orang lain semudah mereka memberi pertanyaan?
Sungguh semua orang semakin
rumit. Apakah kebahagiaan telah mengubah mereka menjadi pecundang, atau
kesendirian yang telah mengubahku menjadi bajingan?
Di malam minggu yang
sesungguhnya hari besar buat mereka yang punya kekasih, sementara buat seorang
jomblo mambari maras sepertiku, malam minggu adalah kutukan. Setelah
berhari-hari berusaha membahagiakan diri sendiri di kamar kosan, tak ada
pilihan lain selain nongkrong bersama para jomblo mambari maras lainnya
sambil mengata-ngatai diri sendiri dengan diskusi tentang buku yang sebetulnya
cuma buat pengalihan isu.
Perempuan dan Malam Mingguan
Dari perbincangan di warung
kopi itu aku mengalami semacam kecelakaan pikiran tentang lelaki dan perempuan.
Sebetulnya pernah dikatakan seorang penyair entah siapa: “perempuan seperti
anak kecil, senang mengatakan tidak. Lelaki seperti anak kecil yang bodoh, suka
menanggapi perempuan dengan serius”. Aku pikir ada benarnya juga. Sebab lelaki
lebih mudah pergi, semudah mereka datang. Sementara perempuan, terlalu mudah
menyimpan sesuatu di balik malunya yang pura-pura.
Malam minggu dan warung kopi
tak lagi menjadi ruang dan waktu yang menyenangkan, ditambah lagi hidup di kota
yang lebih setia merawat bangunan dari pada tanaman. Semuanya menjadi
menyebalkan. Belum lagi mendengar kabar teman-teman yang seangkatan denganku
akan diwisuda dan dibaiat sebagai pengangguran terdidik.
Tapi aku tak ingin membahas
soal itu lebih jauh lagi. Aku ingin tidur saja, mengingat waktu dan mataku
sudah tak lagi bisa diajak berkompromi, tapi cicak yang sedang termangu di plafon
seolah-olah berkata “Jangan tidur dulu, jangan lanjutkan tulisanmu yang
unfaedah itu, lebih baik kau lihat taiku meluncur dengan indah ke bawah dan
memikirkan kenapa warna putihnya lebih sedikit ketimbang yang hitam”.
Pura-pura Bahagia
Bagi mahasiswa yang
berpura-pura menjunjung tinggi idealisme, saya selalu ikut-ikutan bicara soal
kampus dan mahasiswa dengan segala macam bentuk persoalannya. Baik diluar
maupun di dalam kampus selalu dibawa ke mana-mana menambah kecurigaanku kepada
segala sesuatu jadi semakin hungang.
Di jalan pulang menuju kos,
banyak hal yang aku curigai, salah satunya adalah rambu-rambu lalu lintas. Aku
curiga, jangan-jangan lampu lalu lintas ini sengaja dibuat agar orang-orang
semakin hari semakin tergesa-tergesa dan gelisah sama gelisahnya dengan
mahasiswa kedaluarsa yang tiap hari bolak-balik ke kampus dan tak tahu apa yang
mesti diurus, seperti diriku ini. Udah, itu aja dulu.
Penulis: Abdul Karim, Penyuka puisi, asal Puruk Cahu Kalimantan Tengah.
Editor: MAHFUDISME
0 Komentar