MAHFUDISME - Sebenarnya, judul ini sedikit sensitif
pada saya sendiri. Di tengah teror ketua jurusan, saya selalu ingin nampak baik
ketika ketemu dengan siapa saja. Ketika ada yang bertanya “kamu sudah lulus?”,
rasanya ingin sekali kupeluk orang itu lalu merukyah ubun-ubunnya sampai orang
itu pingsan dipangkuan saya.
Saya selalu membayangkan bagaimana
nikmatnya kawan saya yang sudah lulus dan menjadi serjana. Saban hari, saya
selalu berusaha mengingat kesalahan apa yang telah saya perbuat tempo dulu
hingga menyelesaikan skripsi ini nampak berat dan nyeri. Tapi lagi-lagi saya
tak menemukan kesalahan itu.
Menjadi serjana adalah kebanggaan bagi
siapa aja. Lebih-lebih orang tua kita. Sekali pun itu kebanggaan, sampai detik
ini saya tak bisa membanggakan kedua orang tua saya dengan posisi saya yang
sudah semester 11 ini. Astaghfirullah!
Padahal setelah selesai KKN tahun 2016
silam, saya sudah berniat mengerjakan pekerjaan brengsek itu. Tapi saya malah
mengerjakan punya orang. “Apa mungkin aku terlalu baik?” Pikirku. Akibat dari
pertanyaan itu akhirnya saya putuskan untuk tidak membantu siapa-siapa
sepanjang 2017-2018, tapi lagi-lagi penafsiranku luput. Sepanjang tahun saya
cuma habiskan waktu memburu lomba di semak belukar internet, kadang nulis yang
ringan-ringan diblog, ikut jadi juri lomba, tidur sampai puas, begadang tiap
malam dan begitulah aktifitasku setahunan.
Di penghujung tahun 2017 saya baru sadar
bahwa tugas akhir yang bernama skripsi masih terbengkalai, “Setidaknya sepanjang
tahun saya bahagia meskipun sering lapar” Itulah bahasa penghujung tahun yang
membuat saya tak menyesal apa-apa.
Padahal angkatanku hampir semuanya sudah
angkat koper ke kampung halamannya. Saya yakin mereka bahagia. Saat tiba
dikampung, nama mereka bertambah, ilmu mereka juga bertambah dan bahkan
meluap-luap ketimbang kawan angkatannya yang tidak melanjutkan kuliah.
Disaat semuanya sudah mengabdikan diri
dikampung halamannya, justru saya terseok-seok sendirian. Merasa jenggot tiap
menit tambah panjang, kumis tambah tebal, umur semakin keriput dan ketika
menyambangi kampung semuanya sudah memanggil nama saya dengan sebutan “Abang”.
Ya Allah. Pedih.
Tidak hanya dikampus yang seringkali
mendiskriminasi saya, orang dikampung juga menganggap saya penghianat karena
lupa kampung halaman. Padahal sumpah saya tidak lupa, saya cuma belum lulus.
Itu aja. Simple kan?
Mungkin saya termasuk orang yang durhaka
pada akademik, membiarkan pintu kelulusan menganga sepanjang tahun dan ketua
jurusan berharap saya mengetok pintu kantor. Cuma biar bagaimana pun peliknya perjalanan
hidup, saya tetap akan berproses. Menjalani hari ini tanpa kepuasan biar esok
lebih giat lagi. Mungkin disaat kawan-kawan saya mengenakan toga, saya cuma
merapikan rambut. Saat kawan-kawan saya mengambil ijizah, saya baru ngambil
sertifikat KKN. Saat kawan-kawan saya memposting foto wisudanya di Instagram,
saya cuma memposting foto lama di Facebook. Di saat kawan-kawan saya menulis
skripsi, saya cuma menulis tulisan ini. Hidup ini benar-benar membahagiakan.
Mari kita rayakan sodara-sodara. Tetap semangat dan ingatlah skripsi kita
masing-masing.
0 Komentar