MAHFUDISME - Ditengah kawan-kawan berjihad diatas ranjang aliyas kawin,
malam tadi saya diskusi dengan temen. Pembahasannya tentu bukan masalah
bagaimana bahagianya membina sebuah keluarga, tapi kita saling bertukar bahasan
mengenai “Kondisi pers mahasiswa diantara produk dan tulisan yang seringkali
kesurupan dan rancu”.
Kita bertiga merupakan alumni pers mahasiswa, jadi wajar
kami tahu dari masa ke masa pers mahasiswa memang selalu memiliki cerita
tersendiri. Namun, belakangan ini pers mahasiswa sepertinya dehidrasi,
akibatnya pers mahasiswa seringkali kelepek-kelepek, padahal langkahnya baru
keluar dari pintu.
“Kami bukan humasnya kampus” Kata salah seorang pimpinan
umum pers mahasiswa saat ditirukan temen saya tadi malem. Sebagai orang yang
bekerja di Hubungan Masyarakat (Humas) tentu saya paham kenapa bahasa ‘kami
bukan humasnya kampus’ itu keluar. Indikasi awalnya adalah dia ‘mencari aman’.
Biar tulisan ini berfaedah, mari sedikit saya luruskan
kepada antum yang merasa bahwa tulisan ini menyerang kepada organisasi antum.
Seenggaknya, tulisan ini akan menggambarkan bagaimana geliat pers mahasiswa
sekarang, kondisi pers mahasiswa, problem pers mahasiswa, dan benarkah pers
mahasiswa kian tumpul?
Sebelum masuk pada bagian penting dari tulisan saya, mari
seruput kopi terlebih dahulu dan jangan lupa baca istighfar sebanyak-banyaknya. Mudahan pandangan saya tidak
menyinggung bulu ketek saudara. Amin.
Geliat Pers Mahasiswa
Sekarang
Alhamdulillah produk-produk pers mahasiswa yang ada di
Banua semakin tahun semakin subur. Jika dianalogikan, suburnya produk tersebut
mirip dengan suburnya tumbuhan-tumbuhan bangunan kotak yang menjulang dengan
lampu gemerlapan ketika malam hari.
Sekalipun tumbuhnya bangunan-bangunan tersebut seringkali
dipandang sebagai suatu kemajuan, tetap saja memiliki celah bila ditelisik
lebih dalam. Begitu pun produk-produk yang keluarkan oleh pers mahasiswa, baik
majalah, tabloid, buletin hingga website pada kenyataannya memiliki kerentanan
dengan staminanya. Dengan kata lain, suburnya produk tersebut tidak diimbangi
dengan kualitas isi didalamnya, akibatnya, banyak produk-produk yang rasanya
hambar dan kehilangan banyak vitamin C.
Di lain sisi, pegiat pers mahasiswa seolah-olah tidak mau
disetir dan bahkan hendak bebas seluas-luasnya. Tapi kemudian yang terjadi
justru dari kebebasan itu mereka uring-uringan, berpoya-poya menulis sebuah
tulisan yang dianggap perlawanan, kurang dana apa saja bisa jadi korban, daya
pikirnya rawan dengan pengunduran diri karena menganggap dirinya tidak berguna
di organisasi tersebut dan lain-lain.
Biarpun begitu, pers mahasiswa untuk sekarang bisa jadi ia
adalah “Humasnya Kampus”. Ya mau gimana lagi, toh saya bekerja di bagian Humas
nyaman-nyaman saja. Haha.
Kondisi Pers Mahasiswa
Sekarang
Jika saya berkunjung ke Tapin, yang saya perhatikan adalah
pepohonan yang tumbuh di samping badan jalan. Bila saya lewat saat musim hujan,
mata saya akan memandang hijaunya pohon. Tapi bila saya lewat saat musim
kemarau, pohon-pohon itu seolah malu karena daunnya semakin hari kian botak.
Begitu pun dengan kondisi pers mahasiswa sekarang, selalu
punya cerita yang nanti bakalan disampaikan kepada penerus selanjutnya,
“Sewaktu aku disana, dibawah pohon itu (organisasinya), banyak sekali yang
berteduh. Seolah pohon itu memberikan kenyamanan, safaat, dan melindungi
siapapun yang kenak sinar ultraviolet” ia bakalan berceloteh kepada juniorannya
seperti demikian.
Pada kenyataannya, kondisi ini akan terus mengalami
perputaran cerita, namun banyak sekali yang membangga-banggakan kisahnya
sendiri sekalipun cerita-cerita fiksi. Kendati demikian, kondisi pers mahasiswa
sekarang memang lagi rawan. Di saat pegiat (pengurus) didalamnya menggebu-gebu
malah penerusnya dari hari ke hari bermental jamban. Hal ini tentu akan
diteruskan dengan orang-orang yang suka keluar masuk WC semata.
Poblem Pers Mahasiswa
Sekarang
Saya sering mendorong motor karena kehabisan bensin atau
mogok tanpa sebab di jalan, hal ini tentu karena motor tersebut mengalami
problem, baik busi, kualitas tulisan, kabel copot, tidak suka berpikir, dan
tetek bengek lainnya.
Tapi bukan berarti ketika ada problem lantas saya membuang
itu motor, tentu saya akan tetep mendorongnya sampai saya ketemu dengan bengkel
guna memperbaiki permasalahan didalamnya. Sama halnya dengan problem pers
mahasiswa sekarang, disamping karena inkonsiten terhadap tulisan, seringkali
yang menjadi momok menakutkan adalah problem itu dibiarkan berlaut-larut, tidak
berani mengatasi sekalipun diperdebatkan sampai berbusa dibibir gelas.
Ujung-ujungnya, problem itu menjadi penghambat dan bahkan
menjadi bom waktu untuk organisasi itu sendiri. Menurut saya, cara yang tepat
adalah ubah mental pembiaran macam itu dengan membudayakan diskusi, carikan
solusi, giat, konsisten menulis dan terakhir tentu disertai doa biar generasi
selanjutnya otaknya tidak gampang klimaks.
Bagaimana Melihat
Taring Pers Mahasiswa
Ketika saya membaca tulisan pers mahasiswa di Banua,
seketika itu saya seolah-olah membaca Seword, membaca Mahfudisme, membaca
hal-hal yang tidak berguna dan biasa-biasa saja.
Misal ketika saya membaca tulisan sampah Mahfudisme, saya
tak menemukan apa-apa kecuali membuang waktu, hal ini tentu lebih baik baca
Al-Quran. Membaca Mahfudisme sama halnya ketika saya dapat undangan kawan soal
perkawinannya saya cuma mengingat tanggal resepsinya sedangkan tanggal kapan saya
kawin luput dari radar.
Kembali ke taring pers mahasiswa, sampai sekarang saya tak
menemukan tulisan-tulisan yang terbilang mengigit. Jangankan tulisan yang
mengigit kadang yang mengisi opini di banyak media di Banua justru
mereka-mereka yang berada diluar pers mahasiswa. “Lucu ‘kan?” ujar Mahfudisme.
Ia juga menambahkan, tulisan-tulisan yang memuat tulisan anak pers mahasiswa
sekarang malah semacam sampah yang di daur ulang dan gak laku-laku di dalam
lemari, “Semacam tulisan di rublik koran itu?” Entah ia bertanya pada siapa.
Ihwal taring memang tidak ada takaran baku untuk menilai,
tapi seenggakya, sampai sekarang, masyarakat kampus tidak bisa berharap banyak
pada tulisan-tulisan pers mahasiswa.
“Sudahkah anda lulus?”
“Kapan anda kawin?”
“Sudahkah anda bekerja?”
Tanya Mahfudisme ngerunyam-ngerunyam gak jelas.
0 Komentar