MAHFUDISME - (Tanggapan Untuk Tulisan Gita
Pebrina Ramadhana. S.Pd. Mahasiswi Magister Manajemen Pendidikan ULM)
Membaca tulisan Gita Pebrina
Ramadhana, S.Pd yang dimuat di Radar Banjarmasin tanggal 12 Maret 2018 dengan
judul “Survei Pilpres, Untuk Siapa?” sekilas bagi siapa saja yang membaca judul
tersebut, berkeinginan membaca hingga tuntas. Tapi sayang, setelah membaca
semua tulisan itu justeru tak semenarik judul itu.
Dengan alasan sederhana itu,
mendorong saya untuk menanggapi tulisan Mahasiswi Magister Managemen Pendidikan
ULM Banjarmasin tersebut. Gita Pebrina Ramadhana - selanjutnya saya panggil
Gita -, menjadikan tema tulisan tersebut pada survei yang dilakukan Populi
Center terhadap Pilpres tahun 2019 mendatang dengan melangsir dari media
okezone.com.
Memang, dalam beberapa bulan
terakhir ini kita disibukan dengan berita-berita soal survei pilpres, mulai
dari Jokowi, Prabowo, wakil presiden hingga kandidat poros tengah yang
digadang-gadang agar pilpres mendatang semakin ramai dengan tiga calon.
Sudah banyak partai politik
mendeglarasikan siapa yang bakalan ia dukung di pilpres mendatang. Tidak hanya
Jokowi dan Prabowo, presiden PKS juga terlihat di baliho sebagai calon
presiden.
Sebenarnya sudah mafhum bagi publik
dihadapkan dengan kabar demikian. Tapi bagi Gita, hasil survei Populi center
“Survei yang begitu mencengangkan ini begitu aneh di masyarakat dan
bertanya-tanya” kata Gita. Terkait hasil survei tersebut pola yang diserap
masyarakat yang berpikir “ada tiga tipe, biasa saja, tidak mungkin dan tidak
tahu menahu tentang adanya survei” tambah Gita.
Tentu saja, Gita tidak begitu
percaya dengan survei itu karena ia tidak puas dan bahkan bilang
“Kepemerintahan Jokowi semakin mendzalimi rakyat”. Ia melihat akan hal itu
dalam beberapa sudut pandang, diantaranya Infrastruktur, BPJS, Pendidikan,
Ekonomi dan Politik. Selanjutnya Gita menguraikan dengan beberapa sub judul
yang bagi saya justru terburu tanpa mengedepankan data. Hampir semuanya yang ia
utarakan menurut sudut pandangnya saja karena barangkali, tahun 2014 silam ia
bukan simpatisan Jokowi.
Sekelas Gita dalam memandang empat
term tersebut hampir semuanya mengoreksi ketidakberhasilan Jokowi selama 3
tahun dan mengaitkan dengan kinerja Jokowi pada kasus Ahok. Sebagai orang yang
3 tahun pernah ikut melakukan survei, saya bingung dengan pola pikir mahasiswa
S2 dan Pemerhati Masalah Pendidikan dan Remaja ini.
Melihat
Infrastruktur Indonesia
Hanya dengan ‘modal berita’ tentang
245 proyek infrastruktur, Gita sepertinya kurang banyak melihat data tersebut.
245 proyek Pemerintah, 5 selesai selama 3 tahun kepemerintahan Jokowi-JK,
diklaim Gita “Kinerja ini ternyata diberhentikan karena banyaknya korban pada
peristiwa pada pegawai-pegawainya” ujar Gita.
Data yang di ambil Gita merupakan
potongan berita yang kurang lengkap. Gita tidak jelas merincikan proyek-proyek
tersebut. Jika dirincikan 245 proyek tersebut terdiri dari 74 proyek jalan, 23
proyek kereta api, 10 proyek pelabuhan, 8 proyek bandara, 30 proyek kawasan
ekonomi khusus, 3 proyek perumahan, 3 proyek Pos Lintas Batas Negara, 10 proyek
air bersih dan sanitasi, 54 proyek bendungan, 7 proyek irigasi, 4 proyek teknologi,
6 proyek smelter, 12 proyek energi, 1 proyek pertanian atau kelautan, 1 proyek
kelistrikan 35 ribu megawatt (MW), dan 1 proyek pengembangan industri pesawat
terbang.
Selanjutnya, pergerakan dari 245
proyek tersebut adalah 130 proyek tahap konstruksi, 12 proyek tahap transaksi,
dan 100 proyek tahap penyiapan. Sedangkan untuk tahun 2018-2019 terdapat 112
proyek. Tidak hanya itu, banyak proyek yang mendapat perhatian Jokowi setelah
puluhan tahun mangkrak malah luput dari perhitungan Gita. Seperti di langsir
laman Tirto.id, insiden kecelakaan infrastruktur kepemirintahan Jokowi 8
insiden.
Soal
BPJS
Sebagaimana kita ketahui,
peluncuran Kartu Indonesia Sehat (KIS) era Jokowi banyak opini yang mengatakan
program itu akan tumpang tindih dengan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
(BPJS) era SBY. Padahal, KIS hanya diperuntukan bagi masyarakat yang kondisi
ekonominya sangat lemah, sedangkan BPJS merupakan jaminan kesehatan yang
diwajibkan bagi setiap warnga Indonesia baik yang mampu maupun yang tidak. Bagi
rakyat yang tidak mampu iuran ditanggung oleh pemerintah.
Tentang wacana 8 penyakit yang
tidak ditanggung oleh BPJS nyatanya tidak terlaksana. Lalu, korelasi
‘menyalahkan program KIS’ terhadap isu 8 penyakit itu untuk sekarang apa?
Pendidikan
Indonesia
Pendidikan Indonesia selalu menjadi
perbincangan hangat ketika diangkat. Permasalahan mendasar bukan karena
sistemnya, artinya jika Gita menyalahkan Kartu Indonesia Pintar tidak merata
ditangan generasi muda hingga tidak bisa sekolah 12 tahun, bukan berarti yang
salah adalah kartu tersebut.
Nyatanya, sekalipun pendidikan di
perkotaan yang notabennya memiliki kartu tersebut, kesenjangan soal bisa
tidaknya sekolah 12 tahun juga ada. Pungli berkedok macam-macam juga jamak
terjadi di dunia pendidikan, dan lain-lain. Artinya, bukan jaminan generasi
muda bisa pintar karena Kartu Indonesia Pintar.
Kengawuran
Gita Bicara Politik
Sebagai orang yang latar
belakangnya bukan dari jurusan hokum, tentu opini Gita dalam membicarakan
politik sedikit ngawur dan bisa dibilang asal bunyi (Asbun). Peta politik
Pilkada Jakarta menjadi rujukan Gita lalu menautkannya dengan agama. Tentu dia
gagal paham politik.
Gita memandang pemerintahan Jokowi
memainkan politik yang sempurna hingga bisa mendiskreditsikan sebuah organisasi
HTI yang menurutnya “tidak bersalah apa-apa”. Masih menurut Gita, permainan
politik Jokowi seakan tidak puas yang melarang HTI lalu membubarkan pengajian
dan ulama dianiaya. “Ini menjadi tanda tanya bagi rakyat yang semakin cerdas”
tandas Gita.
Sebenarnya, Gita bukan penulis baru
di Kalsel, tahun 2013 ia menulis yang juga mendapat banyak kritikan karena
terlalu dini menyimpulkan opininya sendiri. Seakan Gita tidak kapok, kembali ia
menulis yang menurut penulis seharusnya redaktur berpikir ulang mengenai
pemuatan tulisannya.
kita tentu sudah semakin pintar,
mengenai pembubaran HTI yang dilarang pemerintah bukan semerta-merta melukai
agama Islam. Sebab HTI hanyalah sebuah perkumpulan yang memiliki ideology
tersendiri. Sudah sering kita dengar dengan Bahasa “tegakkan khilafah” oleh
HTI, sementara dalam acara AIMAN Kompas TV saat mendatangi kantor pusat HTI,
disana terlihat jelas dalam kantor tersebut tidak ada satu bendera merah putih
pun dalam ruangan apalagi foto presiden Republik Indonesia. Dalam ruangan
tersebut cuma ada bendera yang mereka bawa kemana saja ketika melakukan aksi.
Sebagai orang akademisi, tentu
patut kita pertanyakan bagaimana sepak terjang Gita. Hal ini menjadi perlu bagi
semua penulis agar tidak membangun opini yang simpang siur ditelinga publik.
Apalagi selalu menyalahkan presiden dalam semua permasalahan yang terjadi di
negeri ini.
Hukum
Versi Gita Pebrina Ramadhana
Gita dalam pandangannya
menyampaikan kasus yang terjadi pada Ahok juga permainan dari penguasa. Padahal
sudah jelas, Ahok sudah di vonis dan sekarang sudah menjalani masa penahanan di
Markas Brimob Jakarta. “Media tidak memberitakan lagi kasus ini. Apa Kabarnya
kasus ini?” Kata Gita.
Penulis semakin yakin, Gita tidak
begitu mengikuti perkembangan berita tentang Ahok. Padahal bulan kemarin kasus
Ahok ramai diberitakan media soal Peninjauan Kembali (PK) yang di ajukan oleh
Ahok. Apa Gita membaca berita tersebut?
Dalam menulis itu sebenarnya tidak
semudah tulisan itu dibuat. Akan tetapi tanggungjawab di dalamnya. Opini yang
kita buat akan menimbulkan persepsi di masyarakat. Seharusnya, sebagai penulis,
Gita juga belajar sopan santun dalam menuangkan opininya, apalagi di muat di
media besar.
Note: Tulisan ini terbit edisi cetak di Koran Radar Banjarmasin edisi 23/3/2018.
0 Comments