E-VOTING, ELEKTABILITAS, HOAX DAN UNYUNYA KURSI DEMA UIN ANTASARI

MAHFUDISME Tahun 2013 lalu, saya tak begitu ngerti apa itu pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA). Sebagai orang kampung yang masih seneng pakai peci dan sarung saya cuma membayangkan dikampus saya semuanya orang NU, mirip seperti dikampung saya yang jauh disana, Madura.

Jika perhelatan pemilihan DPRD, Bupati, dan apalagi Kepala Desa, orang dikampung saya tak banyak mikir, cukup nunggu intruksi dari tokoh masyarakat kampung, apapun kutusannya pastilah berlabuh ke pangkuan NU. Tapi jika ada masyarakat tak sepakat dengan putusan tokoh masyarakat tersebut, maka siap-siaplah dibaiat sebagai pembangkan, dikucilkan, diomongin dan di doain supaya sesatnya bisa berjalan lurus ke NU lagi.

Begitulah latar belakang cara memilih pemimpin yang menjadi bekal saya menuju kota Banjarmasin, lebih khususnya kampus. Saya tak ambil pusing, cukup nelfon bapak di kampung 

"Pak ini dikampus sedang pemilihan presiden mahasiswa, saya harus pilih yang mana" Tanya saya sambil menjelaskan biografi calon kandidat.

"Gitu aja repot dan itu gak perlu istikharah, Cong" Jawab bapak enteng.

"Lah terus saya kudu piye?" Saya maksa.

"Cari calon yang NU insyaallah beres" Kata bapak simpel.

Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua akhirnya saya laksanakan penuh kasih sayang, berharap omongan bapak bisa menyulap segala keberesan disemua aspek.

Lalu, sekarang di kampus yang paling banyak menyimpan kenangan ini akan melaksanakan pemilihan ketua DEMA lagi, ada banyak perubahan, persaingan dan kenapa adek-adek saya ini begitu kepincut jadi ketua DEMA. Kalau saya sih lebih baik ngurus skripsi. Nah berikut ini sektor apa saja yang bakalan panas diperbincangkan untuk kita semua, untuk dedek-dedek alumni PBAK yang kemarin masih belum juga memutuskan apakah bercadar atau tampil hot.

Sistem E-Voting
Dulu saya pernah ngobrol panjang lebar sama Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama yang sekarang jadi Rektor, Prof. Mujib, perihal pemilihan presiden mahasiswa. "Jangankan pemilihan presiden mahasiswa, seandainya bisa Ospek via online saja" begitulah kira-kira ucapan beliau.

Dan sekarang cita-cita Prof. Mujib terlaksana ditangan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Bu Nida. Pelihan DEMA pakai sistem voting elektronik. Yang jelas ini memangkas anggaran penyelenggaran yang kalau dulu panitia sibuk bikin bilik, tenda dan kekhawatiran kecurangan suara. Nampaknya tahun ini bakalan lebih keren dan ajib. Sistem ini memang bukan pertama kali, tapi untuk di Kalimantan ya hanya UIN Antasari sebagai pengguna yang paling pertama memakainya. Tepuk tangan buat kampus saya.

Elektabilitas Kandidat
Setelah kemarin kantor libur 3 hari, saya menyempatkan berkunjung ke Banjarmasin. Bercengkrama dengan kawan-kawan. Sebab saya masih yakin diskusi adalah jalan paling tepat di era mahasiswa alergi baca buku.

Saat sela-sela diskusi ternyata ada kawan yang bilang bahwa untuk merebutkan "kursi" DEMA sekarang kandidatnya 3. "Wah ini seru" Pikir saya kala itu. Saya tak tahu siapa ketiga kandidat tersebut. Cuma dalam penerawangan saya soal elektabilitas lumayan mentereng, ada, sebutlah Imam Teguh Perdana, Mantan DEMA FTK si Bima, Mantan DEMA FS si Riskan dan Fahri Husaini yang kemarin sukses jadi ketua Pertemuan BEM se Kalimantan. Tapi semua sangkaan itu luput. Nyatanya ketiga kandidat itu bukan mereka.

Dulu saya ingat, waktu pemilihan ketua DEMA tingkat Universitas, saya jadi moderator waktu sise debat kandidat Budi vs Halim. Akhirnya saya mendapatkan sertifikat moderator. Alhamdulillah.

Terlepas dari saya yang jadi moderator itu, kenapa saya nyinggung soal elektabilitas kandidat? Karena elektabilitas itu penting. Ibarat film Dilan tanpa iklan, film itu tak akan selaku dan sebuming para kaum-kaum nestapa pemuja rindu dan rakyat jomblo datang kebioskop. 

Anak-anak mahasiswa tentu sedikit kesulitan menentukan pilihan, sebab yang dipilih emang nilai pengaruhnya sedikit kurang. Apalagi jika kita telisik lebih jeli, anak-anak mahasiswa sekarang masabodo soal siapa yang berkuasa di kursi DEMA. Nah saat beginilah elektabilitas kandidat dibutuhkan untuk mendorong anak-anak yang suka gincuan ini untuk memilih. Dan ramailah perolehan suara nantinya. Amin.

Hoax di Pilihan DEMA
Hampir disetiap lini kontestasi pemilihan, hoax seperti bumbu untuk menyedapkan jalannya acara. Cuma kalau ditingkat kampus hoax tidak menyebar sebagaimana hoax saat pilkada, paling mentok-mentok hoax via lisan ke lisan.

Saya rasa ketiga kandidat ini sudah dewasa dan tidak akan meniru pola politik ala politik praktis kayak pilkada. Jadi, jika ketiga kandidat ini mau menang dibarengi dengan menebar hoax lawan, maka kandidat macam ini perlu saya rukyah dulu. Sebab ini kampus, masak iya sudah bermain di ruang begituan. Kan lucu bro?

Jadi, hoax nantinya tidak akan ada di pemilihan ketua DEMA asal tidak ada yang menebar hoax hanya demi menyuplay suara. Camkan itu baekbaek! Haha..

Benarkah Kursi DEMA Itu Empuk?
Dulu sedikit pun saya tak terbersit mau jadi ketua DEMA apalah daya saya saat itu. Yang terpenting bagi saya adalah hari minggu bisa mancing bersama kawan Syarif, Ali, Rizal dan Furqan. Selebihnya saya tak memiliki cita-cita tinggi. Tapi apakah anak-anak kampus pernaj bertanya, "Apakah jadi Ketua DEMA itu nyaman, hingga banyak yang berbondong-bondong?" Jawababannya bisa jadi, bisa juga tidak.

Saya pikir yang mencalonkan sekarang bukan karena pengen eksistensinya agar lebih terlihat, saya yakin mereka hanya mau mengabdikan diri mereka pada kampus tercinta. Namun jika ada kandidat yang cuma mengejar eksistensi dirinya maka seujung upilpun kampus yang saya cintai itu tak akan maju-maju.

Jadi ketua DEMA itu berat, lebih berat dari pada soal rindu Dilan. Amanah yang bakalan dipikul soal ribuan mahasiswa, kesibukan yang tersita, kebebasan yang terkungkung, dan lain sebagainya.

Penutup
Marilah kita tutup tulisan yang penuh faidah dengan harapan bahwa pilihan DEMA itu tak seberat saat kalian lulus tapi bingung mau ngapain selain ngusap-ngusap bantal. Saat belum lulus dan puncak semester sudah tiba, apakah anda bakalan mencalon DEMA? Berat Cong!

Post a Comment

0 Comments