DARI KEMATIAN SEORANG GURU DAN STIGMA BURUK TERHADAP ORANG MADURA

MAHFUDISME Seolah beban dosa si kampret yang menghajar gurunya itu harus ditanggung jutaan makhluk keturunan Madura. Akibat berita yang bertebaran dari kemarin, seolah orang Madura keras, kasar dan gampang melenyapkan nyawa orang lain semakin mantap melekat.

Padahal tidak sepenuhnya demikian, saya sebagai orang Madura tentu perihatin atas kejadian itu, dalam hati saya bertanya "apakah tidak ada diwilayah lain seorang murid membunuh gurunya?" Pikiran itu yang mengangguku. "Apakah tak ada kasus di Indonesia seorang guru mencabuli dan membunuh siswanya?" Lagi-lagi seolah pikiran saya tak terima. Lantas, kenapa kejadian ini begitu menyita perhatian banyak orang? "Itu karena kejadian ini terjadi di Madura" kata sepupuku. "Semakin kesohor kesangaran kita" Lanjutnya.

Sebagai orang yang masa kecilnya dihabiskan di Madura, tentu saya sedikit risih dan perlu kiranya mengabarkan tentang Pulau Madura, Pembagian Madura, Kodisi Sosial Madura, Kekerasan Di Madura dan NU di Madura.

Pulau Madura
Sebagai orang yang sudah hampir 5 tahun hidup jauh dari Madura, sepanjang 5 tahunan saya punya banyak kawan di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan. Diantara kawan saya masih banyak yang mengira bahwa Madura hanya satu pulau yang masyarakatnya semuanya berbahasa Madura. Padahal, Pulau Madura bukan cuma sekotak pulau, ada puluhan pulau yang juga dihuni orang Madura, misalnya Pulau Gili Genting dll.

Dengan pemahaman inilah teman saya dengan gampangnya menyeragamkan aktifitas budaya masyarakat didalamnya. Saya cuma heran, "kamu asli Madura, disana terkenal dengan caroknya kan?" Lah saya cuma melongo, setahu saya dikampung halaman yang belasan tahun saya tinggali gak pernah lihat langsung tetangga main bacok-bacokan pake celurit, palingan kalau orang pegang celurit ya mentok-mentok cari rumput buat pakan sapi.

Pembagian Madura
Setidaknya di pulau Madura dibagi atas 4 wilayah, dari barat ada Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan paling timur Sumenep. Keempatnya adalah Madura tapi memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Baik dari logat bahasanya, tradisinya, dan lain-lain. Semuanya hampir memiliki ciri khas yang berbeda. Misal, ketika saya ngomong dengan temen yang dari Madura, temen saya ini langsung tahu saya asalnya daerah mana, begitu saya tahu dia bukan dari Sumenep ketika mendengar cara dia ngomong.

Jadi sekalipun terbagi-bagi, kami selalu bangga menjadi Madura.

Kondisi Sosial Madura
Saya bukan pengamat ulung yang biasa menganalisa kondisi sosial masyarakat. Meski keturunan asli orang Madura, tahunya saya soal sosial Madura dikit.

Tapi saya akan coba menggambarkan kepada antum bagaimana kondisi sosial disana. Saya akan menceritakan kondisi sosial di kampung saya sendiri, menurut sebagian orang kampung saya ini "kampung pesantren" tanpa satu pun pondok pesantren. Benar-benar tak ada pesantren disana. Cuma hampir secara keseluruhan disana alumni pondok. Jadi anda bisa bayangkan kondisi sosial disana, cari rumput pakai kopiah, kepasar pakai sarung, ke masjid jarang pakai warna putih, pokoknya ya ala santri. Hampir tak terdengar dikampungku yang namanya kekerasan semacam carok. Semuanya lebih sibuk menghitung tasbih, cari rumput, nimba air, bertani dan hal-hal yang sulit dikerjakan orang-orang kota.

Kekerasan Di Madura
Ketika orang mendengar kata Madura yang tergambar selain sebuah suku adalah logat bahasanya yang mirip Kadir, kulitnya hampir coklat padam, wataknya keras, diperantauan jualan, celurit, kerapan sapi dan sulit sekali membaca orang Madura dari hal yang baik. Padahal tidak semuanya demikian.

Akibat pola pikir yang setengah-setengah, Madura semacam suku yang benar-benar bringas, apalagi semenjak meninggalnya Guru Budi di Sampang, Madura seakan menjadi pulaunya para monster. Ngeri saya membayangkan. Berita pembunuhan yang kemarin terjadi di Torjun, publik seakan diperkokoh dengan stigma Madura Kasar. Sungguh bikin bulu ketek kriting.

Kekerasan Madura muncul ketika di kaitkan dengan carok. Nah perlu antum-antum tahu bahwa terjadinya carok biasanya dilatar belakangi soal perselingkuhan dalam rumah tangga. Misalnya, seorang lelaki bermain hati dengan perempuan tetangganya, maka suami dari perempuan itu biasanya ya harus diselesaikan dengan carok (tapi ini waktu jaman dulu, sekarang ada, cuma dibeberapa tempat yang sekarangpun sudah mulai diselesaikan di meja  hijau).

Sayangnya kekerasan yang melekat pada Madura harus diperpanjang dengan kasus murid bunuh guru. Benar-benar asem itu bocah!

NU di Madura
"Selain NU adalah kafir" adalah goyonan lain dari pada "Agamanya orang Madura ya NU" saat saya magang di pengadilan. Pak hakim sendiri yang nyinyir soal itu. Saya cuma menyimpul senyum dan geli.

Tapi jika diingat, kepercayaan orang Madura selain masih percaya sama sihir, maka masyarakat sana percaya bahwa NU adalah segalanya, jika NU terluka maka hati rakyat Madura yang nyeresep perih. Coba anda bayangkan, apakah masyarakat NU melitan yang mengamalkan segala ilmu islam tradisionalis dan islam humanis tega melakukan tindakan yang memang itu dilarang, carok, begal, membunuh guru dan lain-lain. Yang jelas si kampret bocah itu bukan termasuk bagian dari NU dan bisa jadi dia adalah warga yang menyusup dan mengaku-ngaku orang Madura.

Seperti apapun masyarakat Madura jika kita hanya melihat dari sudut pandang berita kematian seorang guru yang dihajar muridnya jelas sudah bahwa pandangan macam itu sedikit kurang sehat, terlalu sempit dan terburu-buru menyimpulkan. 



Post a Comment

0 Comments