Hampir 2 jam lebih nonton The Whistle Blower, film dengan latar tempat Bosnia ini menggugah selera saya, omosinya dapat, politiknya ada, kongkalikong kepolisian juga ada, pahanya apalagi, pokoknya nonton sendirilah. Rekomendasi saya buat kalian yang belum juga hijra-hijrah sampai sekarang.
Film dengan tokoh utama polisi perempuan yang merupakan anggota kepolisian Amerika dan di delegasikan ikut mendamaikan konflik di Bosnia ini berjalan sendiri mengungkap kasus-kasus perdagangan manusia. Setelah melakukan penyelidikan sendiri, akhirnya polwan tadi tahu bahwa pejabat delegasi PBB semuanya terlibat kasus tersebut.
Polwan itu beberapa kali melaporkan pada atasan, tapi kasusnya malah dihentikan, lalu pada akhirnya ia harus dibebas tugaskan dan dipulangkan karena dianggap membahayakan bisnis yang terjadi dilingkaran pejabat PBB.
Sesampai dirumah ia sudah mengantongi dokumen dari kasus yang terjadi di Bosnia, ia lalu di media dan membicarakan semuanya pada publik atas kebohongan-kebohongan yang terjadi selama ini. Lebih jelasnya nonton sendiri, tapi yang baru hijrah jangan, disana banyak aurat. Hehe
Setelah film selesai ditonton, tiba-tiba saya kembali sadar bahwa saya hidup di Kalimantan Selatan yang terdiri dari 12 kabupaten/kota. Saya pun menyadari film The Wishtle Blower ini amatlah penting kita tonton. Seandainya saya punya uang, saya juga pengen bikin film The Pembatuan Blue, atau The Remang Handil Bakti. Siapa tahu menginspirasi kayak film Pangeran Antasari.
The Pembatuan Blue
Jika film The Wishtle Blower bisa menginspirasi saya. Saya tentu akan membuat film The Pembatuan Blue, itu pun jika saya punya duit. The Pembatuan Blue akan menceritakan bagaimana kehidupan disana tanpa terkena hukum, tante-tante menjemur paha diatas jam 11 keatas, baliho yang iklannya soal pijet urat syaraf dan tentu seorang tokoh religius semacam Budiansyah memakai bolang menjalankan dakwah dan mengajak pada kebaikan.
Cuma cerita-cerita itu terlalu sederhana. Saya rasa bakalan mudah ditebak publik. Misalnya, Budi bisa mengajak masyarakat sana kembali pada jalan yang benar, itu sangat mudah ditebak, atau Budi kepincut rayuan paha tante-tante, itu juga selalu menjadi ending.
Jika tiba-tiba ada orang yang nawarin saya duit buat bikin film The Pembatuan Blue, saya tak akan membikin film dengan alur yang ribet dan menghabiskan dana hingga 2,9 Miliar. Itu terlalu berlebihan. Saya akan mencontek jalan cerita film The Wishtle Blower. InsyaAllah dengan modal doa dan uang 5 juta, jadi.
Para pemainnya pun suka rela. Jadi tak akan saya bayar. Namanya juga suka rela. Ketimbang saya nyewa pemain lokal terus gak bayar-bayar 'kan kasihan.
Jika film ini rampung, saya tak akan menayangkan film ini di bioskop apalagi memasukkan ke youtube. Siapa yang mau nonton ya bawa flashdisk, selesai. Ini bukan proyek deal-dealan, ini cuma mau bikin film dan gak perlu susah payah nyewa orang yang katanya profesional tadi malah menuai kritik sana-sini. Sudahkan antum siap menonton film The Pembatuan Blue?
The Remang Handil Bakti
Seperti kabar kemarin, di Handil Bakti menjamur warung-warung remang. Saya menduga ini kiriman dari Pembatuan yang di tutup Pemko tahun kemarin.
Nah, saya terinspirasi lagi gara-gara nonton film The Wishtle Blower, jika saya anaknya orang bertabur duit saya akan bikin film The Remang Handil Bakti. Film ini tak akan mencontek The Wishtle Blower dan tak serumit film The Pembatuan Blue. Film ini saya akan bikin cerita sederhana. Tapi menarik.
Seorang perempuan umur 17 tahun yang menjual dirinya pada om-om, tapi setiap pagi ia juga harus masuk kampus lalu mati. Sederhana bukan. Namanya juga film remang-remang, jadi endingnya pun remang, absurd dan sudah itu aja.
Saya taksir film ini akan menghabiskan anggaran sekitar 10 juta saja. Loh kok tambah banyak dari film yang tadi? Nah ternyata si perempuan yang mati tanpa sebab ini bawa dana anggaran film ini sebesar 7 juta, akhirnya duit itu disita polisi. Benar-benar film remang dan pikiran remang.
0 Komentar