Penulis puisi itu peka, meski kepekaan bukan nilai yang objektif, setidaknya itulah yang tergambar bila kita membaca puisi orang. Puisi merupakan jalan lain bagi orang yang memikirkan bahasa, keindahan, makna dan sugesti. Dengan puisi pula kita bisa akan tahu seberapa bebasnya ekspresi orang dalam menangkap hal yang abstrak sekali pun.
Kadang, banyak yang menilai bahwa penulis puisi itu bisa romantis, bahasanya liar, jarang mandi, gila dan sulit nyambung ketika ngomong. Pada wilayah lain, pembaca juga ada yang terbuai dengan keindahan puisi-puisi Sapardi Joko Damono, dadanya membara dengan puisi-puisi Widji Tukul, hidupnya jenuh dengan puisi-puisi Afrizal Malna, kenangannya jernih dengan puisi-puisi WS Rendra dan penulis-penulis lainnya.
Jika kita bicara penulis-penulis Kalimantan Selatan yang dari kalangan perempuan hanya bisa dihitung beberapa saja, seperti Hudan Nur, Nailiyah Hikmah dll yang notabennya sudah punya anak aliyas ibu-ibu. Lalu adakah penerus-penerus mereka? Adakah penulis perempuan sebagai regenerasi mereka? Jawabannya, ada. Cuma gak sebegitu banyak laki-laki. Salah satunya Murni, nama panjangnya Murni Marfuah. Mahasiswi UIN Antasari asal Barabai.
Perempuan misterius dengan gayanya yang tanpa gaya ini pertama kali saya kenal tahun 2015 lalu. Kehidupan Murni memang murni hidup, datar, sendu, dan kadang meletup-letup. Pada suatu hari ketika berangkat ke acara sastra, Murni, saya pikir adalah orang yang paling semangat, sering minta masukan, dan kadang saya gagal duluan dari apa yang di pikirkan Murni. Saya menduga jangan-jangan saya yang belum murni.
Hanya beberapa saja tulisan-tulisan puisi Murni yang pernah saya baca, itu pun dalam buku antologi bersama. Sedangkan membaca di media massa rasanya belum pernah. Sebab bagaimana pun, di Kalimantan Selatan penulis pemula pun dengan begitu gampangnya masuk di buku-buku antologi yang rata-rata tidak begitu ketat. Artinya kepenyairan seseorang bukan dinilai dari seberapa sering ia nongkrong tulisannya dalam buku antologi tingkat regional.
Kembali ke Murni, penulis puisi yang barangkali sedikit berbeda dengan penulis perempuan lainnya. Jika kita baca puisinya misalnya. Kita tentu tak akan nampak paham begitu saja. Puisinya penuh pergulatan, kecemasan, kengerian, dan kadang juga air mata. Coba baca berikut ini puisinya:
MERAYU MALAM, MENANTI HUJAN
Buih cinta di balik kebingungan
Yang kutemui di sudut-sudut ruang
Dalam tangis yang berserakan
Meminta, menghujat dan merayu
Pada malam-malam yang berjubah putih
Bintang tak ikut campur atas kuasa Tuhan
Cacing kepanasan pun tak menghujat matahari untuk meminta malam.
Burung burung yang terbang ke zaman
Lalu hilang dan tenggelam.
Ada yang datang dan pergi
Ada yang duduk dan berdiri
Tanpa tahu arti sebiji nasi.
Orang orang takut kemarau, namun tak meminta hujan.
Ada yang datang dan pergi
Mencabik isi hati.
Ada yang datang dan pergi
Mencari bakti diri.
Ada yang datang dan pergi
Lalu lupa diri
Tetaplah
Tetaplah menanti pada setiap malam
Lantunkan rayuan, menanti hujan.
Banjarmasin, 14 Mei 2016
Bagaimana perasaan anda setelah membaca puisi tersebut? Jika anda tidak tahu orangnya maka anda sedikit pusing, gatal-gatal, dan barangkali sedikit lupa ingatan. Haha.. Tapi, saya akan mencoba mendekatkan anda kepadanya, mengantarkan kehidupan Murni dalam kehidupan anda. Mari kita kuliti puisi diatas.
Pondok, Cinta dan Murni yang Tertelam
Buih cinta di balik kebingungan
Yang kutemui di sudut-sudut ruang
Dalam tangis yang berserakan
Meminta, menghujat dan merayu
Pada malam-malam yang berjubah putih
Bintang tak ikut campur atas kuasa Tuhan
Cacing kepanasan pun tak menghujat matahari untuk meminta malam.
Burung burung yang terbang ke zaman
Lalu hilang dan tenggelam.
Pada mulanya urusan kasih sayang. Kasih sayang yang terbatas pada sudut-sudut ruang. Bagaimana pun, soal kasih sayang ini adalah kenangan dimana kehidupan Murni yang terjadi selama mondok. Maklum saja, mana ada pondok yang mengenakkan, dan bebas. Jika anda mondok dan waktu itu juga anda berurusan dengan cinta, maka rasakan, betapa anda akan menjadi orang yang pesakitan.
Murni, sebagai orang yang pernah jatuh cinta dibalik sembilunya tembok pondok, wajar jika menganggap cinta saban hari menggema, merayu, mengganggu, dan pada akhirnya dilampiaskan pada air mata. Dari sinilah Murni datang, lalu pergi, mula-mula urusan cinta.
Pada kehidupan berikutnya, entah Murni berlibur atau sudah selesai mondok, ia menghadirkan hidupnya bersama alam, Tuhan, lalu melompat ke zaman yang entah. Keterkaitan Murni dengan kehidupan pondok masih terasa di pragraf kedua ini. Kuasa Tuhan atas segala hal menjadi terjawab, termasuk urusan cinta, rindu, dan tangis. Kasih sayang tiba-tiba berwarna putih, semuanya nampak begitu saja.
Murni Datang, Murni Pergi
Ada yang datang dan pergi
Ada yang duduk dan berdiri
Tanpa tahu arti sebiji nasi.
Orang orang takut kemarau, namun tak meminta hujan.
Ada yang datang dan pergi
Mencabik isi hati.
Ada yang datang dan pergi
Mencari bakti diri.
Ada yang datang dan pergi
Lalu lupa diri
Setelah kepergian, apa yang anda rasakan selain rasa sesal? Anda juga gembira? Di pragraf ketiga Murni tiba-tiba saja menjadi perenung, memikirkan orang-orang yang hidup disekitar, menjadi lebih tahu betapa pentingnya orang-orang sekitar dibandingkan hanya urusan cinta. Tapi disisi lain Murni masih memikirkan urusan yang dilupakan itu tetap saja terasa, kasih sayang yang tercabik, kemarau yang mengiris hati dan dibiarkan begitu saja.
Murni pergi sebagai pengasingan dari kasih sayang yang lupa diri. Setidaknya Murni menggambarkan hal itu sebagai kenangan yang terus saja berbakti dalam dirinya. Padahal, semuanya sudah terlupakan, semuanya sudah berserah diri pada yang Maha Penyendiri.
Murni dan Hujan
Tetaplah
Tetaplah menanti pada setiap malam
Lantunkan rayuan, menanti hujan.
Pada bagian ini, tentu saja Murni sudah selesai menikmati liku perjalanan. Ia hanya berharap bahwa hujan mendinginkan perasaannya. Hujan menjadi kepulangan paling bahagia, hujan menjadi penyemangat segala lika-liku urusan cinta.
Begitulah kehidupan Murni, urusan cinta dipandang dalam segala aspek, tumbuhan, hewan, cuaca, dan Tuhan. Segalanya di padukan, dihadirkan sebagai pelampiasan bahasa. Kalimat yang dirangkai bukan begitu saja hadir, tapi lebih kepada kalimat-kalimat murnilah yang dicoba Murni sebagai jalan ekspresi.
0 Komentar