MONDOKLAH, MAKA PERLAHAN CADAR ANDA AKAN TERLEPAS

Saya sering membayangkan dedek-dedek yang mengenakan cadar hidup di kampung saya, nanam jagung, cari rumput, minumin sapi, nyiram tembakau, nimba air, dan selayaknya hidup dikampung saya.

Sehari-hari saya sering dianggap tidak menghormati orang yang bercadar, mengucilkan mereka-mereka, dan menjadi musuh bagi mereka. Tapi itu kan anggapan orang, sementara mereka tahunya ya karena tulisan saya. Padahal, kalau pas saat saya berpapasan dengan orang bercadar, saya amat bangga ke mereka. Kalau ada yang bercadar terus bisa saya ajak bicara, saya tentu sangat bahagia ngobrol dengan mereka, dan tentu saya beratuskodrat persen menghormati jalan yang mereka tempuh.

Tapi di sisi lain, entah kenapa, ketika ada kawan yang bilang dirinya hijrah malah bikin "gerakan Banjarmasin berhijab", malah bilang  yang bacaannya Kalr Marx adalah komunis, malah bilang negara harus di ganti ke syariat islam, malah bilang Pancasila thoghut, dan malah-malah yang lainnya.

Begini akhwat-akhwat yang sangat saya sayangi, perihal Gerakan Banjarmasin Berhijab, apakah tidak bertentangan dengan hak-hak mereka yang diluar agama kita? Saya paham maksud dari gerakan ini, mungkin, adalah  memberikan hijab kepada mereka yang kurang mampu. Tapi, jika hijab semacam proganda dalam menyinggung masalah agama, saya rasa itu kurang sejalan dengan Banjarmasin yang menjunjung tinggi nilai keberagaman.

Antum paham? Belum paham? Ya Allah.. yaudah saya ambil contoh yang kedua, jika antum mencap orang yang bacaannya Kalr Marx, dengan mudahnya antum bilang bahwa orang komunis, rasanya anda harus update ulang niat hijrah antum, maksudku ya luruskan lagi niat, ilmu dan bacaan-bacaan antum.

Yang sudah hijrah bilang ke saya bahwa saya kebanyakan makan micin. Ya allah, itu haram mengandung lemak babi kan? Makanya kita harus sering-seringlah nganga-nganga bilang mie itu haram, produk barat haram, micin haram, kangkung itu haram, nama jalan itu haram, makan pentol itu haram, pokoknya diluar kita wajib haram. Titik!

Jika kita anti komunis, produk macam xiaomi itu dari negeri komunis juga haram, samsung haram, facebook haram, instagram haram, google haram, WA haram, buku-buku berbahasa inggris haram, papan tulis bertulis made in china  juga haram, intinya diluar kita itu haram. Makanya, saya pengen membuat gerakan Baikot WA biar kita bisa sms-an kayak dulu, gerakan Baikot Google biar makalah tak plagiat, gerakan Baikot Facebook biar segala kenangan mantan kita perlahan lenyap, gerakan Baikot Micin biar sesekali kita camilan pakai masako. Haha..

Sebagai orang kampung yang didikannya cuma mentok di pondok dan sering melanggar, tentu tak adaapanya keilmuan saya di bandingkan yang sudah hijrah, toh sekarang saya masih belum juga dapat hidayah. Astaghfirullah.

Keilmuan saya ya cuma ngoceh, bikin orang kesel, gak ada tuh tulisan saya yang bikin orang gembira, ceria lalu tiba-tiba kawin tanpa jujuran hanya karena membaca tulisan saya.

Sebagai orang kampung yang tak taat-taat amat waktu mondok tentu saya sedikit banyak tahu bagaimana cara hidup di pondok, makan kiriman kawan, saat jamaah kabur, pura-pura sakit biar tidak sekolah diniyah, nonton piala Liga Champions dirumah temen. Pokoknya yang buruk-buruk itulah kehidupan saya. Itu juga hampir banyak terjadi dikehidupan temen saya.

Tapi disisi lain, dalam sudut ruang yang berbeda, justru di pondoklah kami diajari tidak melulu soal haram, tidak melulu soal bidah, tapi kami diajari bagaimana ketika nanti kami pulang ke kampung halaman, merangkul perbedaan sebagai rahmat, menghormati pilihan orang, menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, islam yang sejuk, haram-halal diselesaikan dalam bahtsul masaail, tidak menghakimi kesalahan orang, dan tentu kami diajarkan bagaimana kami mencintai budaya dan merawat budaya. Saya tentu ingat kiai kami, KH. Said Aqil Siraj, yang mengatakan "Saya sekolah di Arab 15 tahun, saya pulang ke Indonesia bawa Ilmu bukan bawa budaya" kurang lebih begitulah perkataan beliau. Sungguh kami mencintai kiai-kiai kami yang sejuk, adem, dan segar itu.

Selama tiga tahun saya mondok, dan saat itu saya jadi Pimpinan Redaksi majalah pondok, saya sering kebagian ngantar majalah-majalah ke pondok pesantren putri, dan seingat saya, gak ada tuh yang pakai cadar, jangankan buat beli cadar, kiriman aja mereka pasti kurang. 

Pondok yang cuma menampung 8000 orang itu, tetap menjaga budaya leluhur kita, dan kita disana sama sekali tidak diajarkan mengubah tatanan sosial untuk menjadi syariat, tidak sama sekali. Kami hanya diajarkan bagaimana kita harus terus berilmu bukan berhijrah biar dapat ilmu. Sebab bagaimana pun, hijrah yang tanpa ilmu adalah semacam kita minum air segalon tapi masih haus sedangkan diseberang orang sibuk promo isi air galon. 

Maka dari saya, ketimbang nanti omelan-omelan datang saat antum pulang kekampung halaman, mending mondok ke pondok saya, disana setahun  cuma 150.000. Dan tentu disana tak diajarkan bercadar, nyiai disana ya kayak Emak-emak yang jualan sayur dipasar, tidak memakai cadar, tidak memakai cadar, dan tidak memakai cadar. (Saya bosan membahas masalah ini, sumpah!).

Post a Comment

0 Comments