HST TERANCAM TAMBANG

Setidaknya saya sudah bikin dua tulisan untuk HST. Pertama soal OTT Sang Bupati, dan kedua tentang drama-drama yang bakalan terjadi di HST setelah Sang Bupati tumbang.

Tapi, sekitar tadi malem saya dapat kiriman link soal pembukaan lahan pertambangan di HST. Saya tentu tak terkejut sama sekali. Saya sudah menduga hal itu, setelah beberapa waktu lalu ngobrol-ngibril dengan temen-temen Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Konon, kata temen Walhi, mebidik sang bupati adalah cara untuk mengembosi hutan di HST. Tentu kita semua tahu gunung Meratus. Tapi kedepan kita lihat bagaimana nasibnya, perlahan seperti gunung di daerah Binuang sekarang yang awalnya gunung kini dibiarkan menganga, mengerikan.

Saya pernah menikmati pegunungan Meratus, ikut kegiatan Dialog Pemuda Antar Iman di desa Kiyu. Hutan yang masih rimbun, udara sejuk, dan kelucur air sungai mengalir beriak-riak. Sungguh pengalaman yang tak pernah saya temui setelahnya.

Itu dulu, kini, setelah Sang Bupati terjungkal, gema-gema tambang menghantui Meratus, seakan seluruh penjuru mesin sedang mendengung mau membabat pohon-pohon disana, hewan-hewan amandemik seperti di teror rasa takut, dan desa-desa bakalan tenggelam kedalam jurang.

Sekali pun saya bukan penduduk sini, setidaknya saya bersuara meski tak ada yang mendengar, berita-berita sekarang seperti sampah yang cuma menurunkan berita jika tanpa kepentingan, mahasiswa jangan hanya sebatas mentok di diskusi semata, lihat, puluhan ribu penduduk HST di takuti hantu yang bernama tambang.

HTS bukan Binuang, HST bukan Kotabaru, HST buka Balangan, HST tidak kota atau kabupaten yang lain di Kalimantan Selatan. HST adalah tempat seluruh Kalimantan meminum segar airnya, HST adalah tempat dimana udara-udara hinggap di paru-paru kita, HST adalah rumah kita semua.

Bagaimana pun, masyarakat kita di HST adalah orang tua kita. Mahasiswa sebagai kaum intelektual jangan hanya diperbudak bangku kuliah, mahasiswa yang katanya agen perubahan jangan hanya cengengesan bila ditanya kapan kalian turun ke jalan, mahasiswa yang katanya jihad jangan hanya putar tasbih bila alam sekitar terancam, mahasiswa sebagai pengontrol sosial jangan cuma memelihara otak yang isinya cuma tai. 

Ingat sekali lagi, masyarakat sana adalah orang tua kita, hutan-hutan di sana adalah kampung halaman kita. Sekali tambang HST di buka, maka anak cucu kita kedepan tak akan tahu rindangnya pegunungan Meratus, anak-anak disana dijadikan budak pekerja, orang-prang diiming-imingin gaji yang besar. Maka, tertutuplah mata batin kita. 

Nurani mahasiswa sekarang sudah tergadai, mata mahasiswa sudah begitu buram melihat kebenaran, telinga mahasiswa tak mendengar lagi jerita-jeritan rakyat, mulut mahasiswa tak bisa bersuara lagi hanya karena kekuasaan, sementara bacaan mereka semakin rendah, mahasiswa hanya tahu duduk di cafe, makan direstoran, pakaian kekinian, sedangkan mereka dari hari ke hari semakin mati. Lalu kemana masyarakat HST berharap? Masyarakat tak usah banyak berharap, duduk, dan biarkan mesin-mesin itu menggerus perlahan, hingga mereka sadar, mahasiswa dan lulusan TK tak ada beda!


Post a Comment

0 Comments