HARI PATAH HATI TINGKAT KALSEL

Seandainya saya dikasih pilihan antara mendengar kawin atau terdengar kawin, saya tentu pilih terdengar kawin. Tapi sayangnya, satu persatu saya mendengar sahabat saya kawin. Setiap ada yang kawin, saya selalu membayangkan punya bini, anak, mobil, rumah lantai tiga serta bejibun ibadah dan duit tentunya.

Tapi mau gimana lagi, itu cuma pengandaian yang siapa saja sah-sah saja mengandai. Di tahun yang kemelut ini, tahun 2018 yang barangkali tahun paling redikal membayangkan ranjang. Entah sahabat jurusan atau sahabat organisasi tiba-tiba ramai kawin. Saya sedikit bercucur air mata dalam kantor, pengen nangis keras-keras tapi keburu sakit perut. Akhirnya gak jadi.

Mahdiah, teman sekaligus panutan dalam bertutur sapa srta kalem, tanggal 26 Januari 2018 ini kawin. Sejak mendengar kabar itu, tiba-tiba ingatan-ingatan saya tertarik kebelakang saat dia masih aktif di LPM Sukma. 

Berikut ini kisah-kisah Mahdiah selama saya kenal. Mudahan setelah akhwat-akhwat baca tulisan ini, kelak seperti Mahdiah, Mahdiah yang kalem melebihi kalemnya parfum Axe. 

Mahdiah yang Feminim
Orang-orang akan mengenal dunia luar ketika ia hengkang dari kampungnya sendiri. Kehidupan yang tanpa batas seringkali melatarbelakangi orang-orang merantau. Jadi jangan heran bila antum menemukan sastriwan-santriwati setelah lulus SMA ngebet pengen kuliah di luar, diluar pondok, diluar daerah atau pun diluar negeri.

Jika saya tarik kebelakang sedikit bicara Mahdiah, akan banyak menemukan kisah-kisah yang inspiratif dan penuh haru biru air mata.

Sebagai teman yang usil, saya tahu Mahdiah lulusan SMK dan bukan lulusan pondok pesantren. Awal hidupnya seperti perempuan yang lain, penuh orientasi kekinian, dan tentu dia sewajarnya hidup (barangkali).

Tapi sebegitu pun rumitnya hidup Mahdiah, lambat laun mengalami perubahan, yang setahu saya beliau pernah pakai celana tiba-tiba lama kelamaan saya ngerasa dia lulusan pondok. Mulai pakaian, tutur sapa, dan cara dia bersosial sungguh bagi yang sama sekali tidak kanal barangkali menduga dia lulusan pondok. Sejak saat itu, Mahdiah lebih feminim. Sejak saat itu pula saya sering nangis sendirian dalam kamar mengingat mantan santri ketika dihadapkan kedunia luar malah kurang menampakkan etika santrinya, dan orangnya itu aku sendiri. Saya pun nangis-senangis-nangisnya dalam WC, kenapa sebegini kebelet dan sambelit.

Mahdiah Dan Jabatan
Sebagai orang yang pernah dititipkan jadi Pimpinan Umum LPM Sukma, saya harus putar otak kala itu untuk memilih siapa kira-kira yang cocok jadi sekretarisku.

Akhirnya, semalaman saya melakukan ritual di bawah playover dan minta restu di tiap tiang listrik. Setelah sekian lelah, akhirnya saya dapat petunjuk siapa orang yang cocok jadi sekretarisku.

Mahdiah adalah orang yang tepat jika melihat trekrekotnya, selain dia perempuan yang sudah feminim, dia orang yang bagi saya cekatan, dan tentunya religius. Setiap ada spasi yang salah di proposal dia selalu bilang "Astaghfirullah", setiap kali dana DIPA cair dia selalau bilang "Alhamdulillah", kami sewaktu kehilangan dua sahabat kami dia bilang "Innalillah", setiap kali ada yang kawin diantara kami, dia bilang "Subhanaallah". Tapi saat dia bilang ke saya mau kawin, tak sepatah katapun kalimat-kalimat itu terdengar lagi.

Saya menduga Mahdiah tak ingat masa itu, barangkali sekarang dia jadi sekretaris suaminya, duduk disamping suaminya sambil ngaji. Sementara orang-orang yang dia tinggalkan ketika mendengar kalimat-kalimat itu yang terbayang adalah Mahdiah yang cupu, Mahdiah yang masih sekretarisku, Mahdiah yang kawin tanpa mengundang kami secara resmi. Kami pun serasa begitu banyak kehilangan. Hidup kami begitu hampa "Udah bayar hutangnya, bang?" Tiba-tiba saat nulis sebegini haruada yang nyapa begitu.

Mahdiah Adalah Kita Semua
Setelah ditagih hutang, saya pindah posisi saat nulis ini, saya membayangkan lagi masa saat Mahdiah makan bersama kami. Dulu dia sering bawa makan dan sekarang memberi makan hanya untuk suaminya. Dulu dia sering ketawa dengan kami, dan sekarang dia berbahagia dengan suami. Dulu dia sering kami ejek jomblo, dan sekarang kami kalah telak. Dulu ah Mahdiah yang dulu.

Mahdiah selalu kami anggap keluarga dalam keadaan apapun. Tapi dia barangkali lupa mengabarkan soal perkawinannya, dia mungkin amat sibuk yang padahal kami kapan saja bisa bantu, dia juga mungkin lupa bahwa kami pernah bersamanya beberapa tahun. Setelah sedemikian parah mendengar kabar itu, kami pun meyakini, bahwa kami selalu diseledeng orang-orang yang kami remehkan statusnya. 

Mahdiah adalah orang yang pada umumnya, barangkali dia lupa bahwa hidup kadang lucu dan kadang penuh kejutan-kejutan. Seperti yang menimpa kami semua, kami terkejut dia mau kawin, tapi kami lebih terkejut dia sidang skripsi tanpa ada yang tahu dari kami. Akhirnya saya pun meyakini barangkali cukup calon suaminya datang saat itu, dan saya bukan lagi orang yang perlu diingat dan sesegera harus dibuang. Nasib haja lagi hen..

Surat Kecil Untuk Mahdiah
Sebelum saya mengakhiri tulisan ini Mahdiah, ijinkan saya menulis surat singkat ini. Dan saya yakin ketika kamu membaca surat ini kamu tidak akan menemukan pahala, yang berpahala ialah saat dimana kamu baca Al-Qur'an.

Selamat berkawin ria Mahdiah, cepat-cepatlah punya momongan dan bawalah ke kami nanti. Dengan begitu kami akan cepat sadar bahwa kami sudah setua ini. Kami bukan orang yang tidak mau kawin, tapi ya bagaimana lagi, kendala utama bukan soal niat tidaknya kawin, tapi jujuran lebih menakutkan dari pada teror skripsi.

Jika kelak Mahdiah bertemu salah satu dengan kami, jangan sapa kami (saat kami lagi berak), jangan undang kami (karena kami memang sibuk), jangan chat kami (karena kami habis kouta), jangan ada Mahdiah lagi.. jangan ada Mahdiah lagi.. jangan ada yang kawin lebih dulu lagi... 

Post a Comment

0 Comments