PETANI, KEMISKINAN DAN PEMERINTAH


"Pemilu sebagai agenda besar penentuan nasib bangsa ini akan dilaksanakan setahun lagi. Lalu perubahan apa yang dirasakan masyarakat kelas bawah (grass root) sampai di penghujung tahun 2017 ini?"

Potret buram lingkaran masyarakat kemiskinan yang dialami mayoritas bangsa ini merupakan permasalahan utama dalam pembangunan perekonomian. Mereka yang termasuk dalam garis kemiskinan (poverty line) adalah mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Kemiskinan lekat dengan masyarakat yang hidup dalam sektor ini. Mustahil tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonomi secara merata dan berkeadilan tercapai, apabila perhatian negara dalam hal ini pemerintah sebagai penentu fasilitator melalui berbagai paket kebijakan masih "setengah hati" bahkan kurang memprioritaskan nasib mereka. Logisnya, paket kebijakan pemerintah sekarang masih memarjinalkam keberadaan petani dan nelayan.

Kondisi riilnya, serangkaian program paket kebijakan ekonomi nasional yang betumpu pada Nawa Cita Indonesia, hasilnya adalah retorika belaka. Ada kesenjangan yang mencolok antara yang kaya akan semakin berlimpah harta, sedangkan yang miskin semakin terhimpit oleh keadaan perekonomian global seperti sekarang ini.

Saat konglomerasi yang semakin menggurita dan meraksasa, saat itu pula nasib petani dan nelayan belum cukup memenuhi kebutuhan pokoknya. Harga karet di dunia naik, sedangkan dalam negeri anjlok, belum lagi persaingan dengan  karet impor. Demikian halnya yang dialami nelayan yang pada umumnya menggunakan alat-alat tradisional harus dibenturkan dengan peraturan-peraturan baru.

Kondisi seperti diatas bertolak belakang dengan berita dan survie yang selalu mengungkapkan pertumbuhan ekonomi nasional dari tahun ke tahun, sedangkan yang merasakan langsung yaitu petani dan nelayan nasibnya semakin tak karuan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari perekonomian nasional yang dilematis. Disatu pihak paket kebijakan perekonomian menerapkan ekonomi modern dengan industrialisasi, sedangkan dipihak lain sebagian besar masyarakat masih dalam lingkup perekonomian subsistem-tradisonal sebagaimana petani dan nelayan yang hidup dipedesaan.  Lalu bagaimana eksistensi mereka kelak?

Pada masa sekarang ini kita telah masuk dalam perekonomian global dengan sistem perdagangan bebas dimana Indonesia juga menjadi pemain di dalamnya. Artinya, kita tidak dapat menghindar dari perekonomian global yang bukan hanya di anggap sebagai peluang oleh sebagian masyarakat, melainkan juga sebagai tantangan yang harus dihadapi perekonomian nasional.

Keterbukaan ekonomi yang demikian, berimplikasi pada ketergantungan terhadap luar negeri semakin besar. Bahkan, pernyataan yang paling monohok, "kedaulatan suatu negara mampu ditembus oleh kepetingan pasar".

Mengkaitkan petani dan nelayan di era digital ini sudah barang tentu pemerintah mutlak harus memprioritaskan sektor ini. Sudah selayaknya kita kembali pada perekonomian yang berbasis kerakyatan sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh UUD 1945. Dalam konteks yuridis, seharusnya akan sangat bijaksana apabila negara membuat produk hukum yang sejalan dengan hak-hak yang sepatutnya dimiliki petani dan nelayan. Disamping itu, secara politis, kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah harus memprioritaskan kalangan petani dan nelayan, sebab selama ini belum ada regulasi yang cukup adil bagi hak prioritas mereka.

Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai Sumber Daya Alam (SDM) yang sangat potensial untuk mensejahterakan masyarakat petani dan nelayan. Ironisnya, proses pembangunan nasional, seperti kasus Kulon Prugo, hak-hak dan kepentingan kaum kelas bawah aliyas petani dimarjinalkan dna di anaktirikan. Pembangunan yang lebih diprioritaskan pada penibgkatan devisa negara tanpa dibarengi dengan pembangunan struktur perekonomian masyarakat tradisonal (petani dan nelayan), mengakibatkan terjadinya jurang kemiskinan yang semakin lebar. Terjadinya distorsi berbagai kepentingan dalam pembangunan perekonomian menimbulkan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat petani maupun nelayan.

Kita tentu berharap dengan terbentuknya pemerintahan baru di tahun 2019 nanti, nasib kaum petani dan nelayan secara nyata benar-benar diperjuangkan, bukan hanya sebagai janji manis politik semata. 

Perlu menjadi catatan kita semua bahwa persoalan-persoalan substansial semacam penegakan hukum, pendidikan, kemiskinan, maupun hak-hak prioritas petani dan nelayan masih penuh dengan ketimpangan. Logisnya, negara tidak melulu mengurusi sektor-sektor berbasis modal besar, tetapi bagaimana sekarang pemerintah memposisikan  para petani dan nelayan sebagai pemberi konstribusi serta penopang dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional.

Tulisan ini dikut sertakan dalam lomba blog Dompet Dhuafa
  • #BulanKemanusiaan
  • #HeroJamanNow
  • #MembentangKebaikan



Post a Comment

0 Comments