Foto: redkal.com |
SUARA PAMAN YANG MENGALAHKAN HUJAN
Di dalam kamar, Paman sendirian memeluk boneka super hero. Ia melihat langit-langit kamar, sesekali melihat boneka kesayangannya. kemudian melihat langit-langit kamar lagi (siang tadi ia memasang gambar istana berwarna perak), perlahan-lahan ia masuk ke dalam istana di langit kamarnya.
Ada pesta anggur dengan pangeran-pangeran tampan menyambut dan membungkuk kepadanya. Sementara Paman hanya tersenyum kecil dan sesekali membetulkan mahkotanya yang mulai miring. Dalam mahkotanya, ada yang datang dan pergi, ada gunung dan iring-iringan mobil, ada taman dan rusa hutan, ada sungai dan arak-arakan perahu. Lalu Paman duduk dengan mata bergerak-gerak dan mengarah. Sementara di luar istana masih hujan. Orang-orang terkunci dalam mahkota yang ia kenakan.
Paman tiba-tiba ingin pulang, tapi ia juga betah di istana. Lalu Paman melanjutkan perjalanan ke sebuah taman yang sebagiannya bermadu dan sebagiannya sisa gerimis malam tadi. Ia melepas pakaiannya lalu menceburkan diri. Di dalam taman, ia melihat burung bangau, gunung-gunung, dua belas kampung halaman, dan boneka super hero. Suara boneka itu menarik paman dari taman, ia jatuh ke ranjang dipelukannya. Paman melihat langit-langit kamar yang samar sambil memeluk boneka super hero dan membayangkan dirinya kembali bekerja, bergerak bersama mimpi-mimpinya saat hujan mulai reda.
HIKAYAH KOPI
: untuk Amah yang manis di gelasku
Hidup ini serasa terbuat dari aroma kopi, sayang
Sebelum kau seduh
Aduklah dadaku hingga mengental
Dan cecaplah pekat kopi di lidah hingga nalurimu
Biarkan ampasnya tersisa di tenggorokan dan lambung rindumu.
Kelak, kau akan mengerti
Kita pernah bertukar gelas
Di mana tempat bibir kita masing-masing
Menyeruput kenangan-kenangan di dalamnya.
Lalu kita sama-sama menatap bulan separuh di langit
Dan sisanya mengapung di gelas kita masing-masing.
Sementara dingin
Mulai mengendap di ubin langit-langit rumah
Dan segera turun menjadi kunang-kunang
Lampu-lampu serasa padam
Kau dan aku memandangi tubuh kunang-kunang yang bercahaya hingga larut.
Dan sisanya
Kita bertukar hangat dalam gelas
Dada kita juga mulai beraroma kopi
Sementara mata kita melahirkan puluhan kunang-kunang
Yang terbuat dari biji kopi.
Banjarmasin, 4 November 2017
TIGA SAJAK SEKUEL
Orgel yang patah:
Di luar musim terus kembali membawa usia hujan ke pualam daun. Kita sama-sama duduk dekat jendela, membiarkan angin dan dingin mengusap-usap umur kita yang mulai putih, sementara dada kita bermekaran, ada uban-uban datang dan pergi, seperti usia yang sebentar lagi reda di ranjang dipan.
Lalu, kau pura-pura menjulurkan tanganmu keluar jendela dan membayangkan rinai hujan memelukmu. Kita lihat sepanjang jalan, udara-udara berlarian, daun-daun yang tabah, dan rambu lalu lintas yang setia menunjuk arah kepada orang yang sesat usianya.
"Maukah kau memelukku dari belakang lewat doa-doamu?" Lalu kupeluk erat hatimu. Kita hanya diam, memandangi jalanan yang terus memburu usia kita sepanjang derak jam.
Kemala yang gelisah:
Di atap, hujan mengalirkan rindu, kita duduk dibangku yang sebagiannya basah dengan usia dan sebagiannya lagi dipenuhi doa-doa keramat. Kita melihat daun-daun kedinginan memeluk batang pohon ingatan kita seperti masa kanak-kanak kita yang berlarian menangkap kenangan dan menyimpannya di dalam saku baju. Kulihat kau tersenyum dengan mata berair. Aku mendekapmu, seolah-olah kematian sebentar lagi bertamu. Dan kita lupa menyiapkan menu.
Hikayah yang hilang
Seekor orang bunting menanti sepotong hujan terjatuh di dalam kamar tidurnya. Sambil berjalan ke semak-semak mimpi, ia membuka matanya yang masih samar, melihat lemari berwarna coklat yang berisi lipatan-lipatan kenangan di dalamnya. Lalu ia tidur kembali dengan mimpi-mimpinya, ke dalam lemari yang masih menganga. Sementara hujan di luar masih menyala, angin membekas di daun dan temperatur udara seperti lebam ciuman-ciuman.
Banjarmasin 5 November 2017
0 Komentar