NASIONALISME : BARANG ANTIK YANG KIAN SAMAR


Tentu kita masih ingat pidato Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan, beberapa waktu lalu yang dalam isi pidatonya terdapat kata "pribumi". Lalu menuai protes dari banyak pihak. Lalu kenapa masih ada pembatasan antara pribumi dan nonpribumi?

Dari gelombang protes terhadap isi pidato tersebut seolah kita melihat tampilan sejarah tentang tingginya derajat plural kita. Kita tentu masih ingat pada 13-15 Mei 1998, peristiwa dahsyat yang telah menelan lebih dari 1.250 jiwa dari kalangan miskin perkotaan yang terpanggang dalam pertokoan yang sengaja dibakar. Peristiwa tersebut tidak hanya berhenti pada aksi pembakaran dan penjarahan terhadap warga Tionghoa, tapi juga pemerkosaan terhadap lebih dari dari 150 perempuan Tionghoa. Peristiwa tersebut disitir oleh Seno Gumira dalam komik Jakarta 2039. Peristiwa yang menguburkan kita sebagai bangsa yang beradap dan bersopan santun mulia.

Meski bagi sebagian kalangan menilai peristiwa tersebut adalah sebuah bentuk kekerasan oleh negara (state vialence) namun sebagaimana rumus umum yang berlaku, masyarakatlah yang menanggung dosa hitam tersebut. Dalam kurun waktu sejarah Indonesia, posisi Tionghoa memang mengalami pasang surut yang cukip kontras.

Kronologis Posisi Rasial Tionghoa

Dalam perjalanannya, sejarah benih-benih rasial terhadap Tionghoa sudah dimulai pada jaman kolonial. Di jaman itulah terjadi kebijakan-kebijakan anti - mestissage, kebijakan yang mengharamkan adanya percampuran rasial. Pemerintah kolonial ingin menjadi masyarakat koloni dari kekacauan bentuk-bentuk percampuran atau hibriditas rasial. 

Maka sesuai dengan kebijakan tersebut, mobilitas sosial yang terjadi dalam masyarakatnkoloni adalah mobilitas-mobilitas yang tidak mempunyai elastisitas. Dalam mobilitas yang tak ber-elastisitas ini gerak  sosial masyarakat sangat terbatas, dalam bahasa Aristoteles, masyarakat bukan lagi sebuah "ungkapan dari atau syarat untuk mengada (being) dari khusus manusia", dari terminologi itu masyarakat kolonial tidak lagi dipandang sebagai sebuah komunitas sipil yang menjalankam kodrat sosialnya.

Dalam masyarakat kolonial, masyarakat terbagi dalam tiga kelas sosial yang tertutup yaitu ; Bumiputra (inlander), Timur asing dan Eropa.

Dalam pengertian mobilitas yangbtak elastis, maka Si Bumiputra harus berada dalam kalangan dan berprilaku Bumiputra, sedangkan Si Tionghoa harus berada dalam komunitas Tionghoa dan berprilaku layaknya Tionghoa. Dalam pengertian itu pemerintah kolonial telah membuat klasifikasi masyarakat yang oleh Focault tersebut sebagai "simbolik darah".

Sejarah kita kemudian mencatat ternyata diskriminasi rasial terus berlanjut seolah tidak pernah bisa terselesaikan. Di tahun 1959 tercatat sebagai lahirnya sebuah kebijakan rasial pertama dalam pemerintahan Indonesia, PP No 10 tahun 2959 hang mengasingkan "masyarakat Tionghoa" baik secara politik maupun ekonomi. Kemudian PP tersebut diikuti dengan lahirnya kebijakan yang tidak kalah rasialnya, di tahun 1965 lahir apa yang kemudiam dikenal sebagai kebijakan Dewan Banteng, kebijakan pemerintah Soekarno yang memberikan modal bagi pengusaha pribumi. Akibatnya lebih dari 100 ribu keturunan Tionghoa pergi meninggalkan Indonesia. Dari sinilah kemudian lahir perbedaan yang melahirkan istilah nonpribumi, bagian dari negara yang seolah tidak mempunyai hak terhadap negara ini.

Pramudya Ananta Toer salah satu orang yang berusaha melakukan kritik twrhadap kebijakan tersebut, dalam Hoakiau di Indonesia, Pram menulis:

"(Orang-orang Tionghoa) bukan pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena suatu tabir politik, tiba-tiba mereka menjadi orang asinh hang tidak asing."
(Pramudya Ananta Yoer, Maret 1960)

Akibat tulisan tersebut tidak hanya menyebabkan Pram dipenjara tapi juga buku tersebut dilarang beredar.

Epilog

Dari rekam sejarah diatas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita catat: 

Pertama, posisi kita sebagai bangsa seolah telah menjadi apa yang oleh Benyamjn Disraeli disebut sebagai two nation, dua bangsa dalam satu wilayah. Pendikotomian pribumi dan nonpribumi akan menjadikan ketegangan rasial sebagai sesuatu yang tak berujung pangkal, mengkhianati pondasi yang telah dibuat oleh para founding fathers kita tentang bangsa yang dibangun di atas pluralitas dan keberagaman kita.

Kedua, pembedaan yang akan membawa kita pada sebuah perikemanusiaan yang terbatas, limited humanity, yang bila tidak segera kita selesaikan akan terus membawa kita kepada tragedi-tragedi, sebagaimana tragedi Mei 1998.

Ketiga, pembedaan-pembedaan tersebut pada muaranya akan membawa kita kepada sebuan bangunan nasionalisme yang chauvin, yang suatu saat akan membawa kita pada semangat primordial yang akan menghancurkan kita sebagai bangsa.

Keempat, rekam sejarah tersebut akan membawa kita pada sebuah lorong hitam dan kebingungan sejarah, dan kita akan sampai pada pertanyaan-pertanyaan "apakah ketegangan rasial yang terjadi di Indonesia karena klasifikasi yang di lakukan oleh pemerintah kolonial sehingga menjadi tradisi, ataukah ketegangan rasial itu benar-benar disebabkan oleh sebuah "praktek negara". 

Sejarah ditulis memang untuk dipelajari, dan bukan malah kita lari darinya. Sudah selayaknya kita  melupakan hal-hal pragmatis yang akan menghancurkan kita sebagai bangsa yang beradab. Sudah saatnya kita pandang semua masyarakat baik yang berideologi sama ataupun beda agamanya bukan lagi sebagai lawan tetapi sebagai seorang Indonesia dan seorang manusia. Jangan karena pentingan politik tertentu kita malah melupakan bangsa hang di bangun atas nama kemajukan ini.

Post a Comment

0 Comments