MAU APA KALIAN SETELAH JADI SARJANA?



Satu pertanyaan sederhana ini seringkali mengusik pikiran saya akhir-akhir ini, mau apa setelah saya serjana? Jawabannya berpuluh-puluh "solusi" mengalir. Mulai dari, bertani, daftar ASN, jaga warung, buka usaha, jadi guru, dan kita tentu saja bebas memilih apa saja langkah selanjutnya setelah jadi mahasiswa. Padahal sudah mafhum, bahwa menjadi mahasiswa butuh proses yang tak mudah, masuk dalam dunia kampus ibarat mengikuti ajang kontes ditelevisi. Mulai dari proses babak audisi, penyisihan dan pemenang.

Sekarang kita sudah menjadi pemenang dengan piala "kaum intelektual", predikat prestise yang dikagumi banyak orang, membuat tetangga dan orang tua bangga. Seperti kata orang, calon pemimpin bangsa keluar dari gerbang ini. Lalu pertanyaan yang muncul seperti pertanyaan diatas. Mau apa kita setelah sarjana? Apa yang akan kita lekukan dengan gelar intelektual kita?

Untuk menjawab ini setidaknya, dalam pandangan penulis, ada dua pilihan, pertama sekedar mendapat gelar dan kedua mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan predikat gelar kita.

Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Kenyataan ini harus diakui bahwa perubahan yang santer terdengar dari suara mahasiswa tidaklah mendapat kepuasan di dalam masyarakat. Contohnya, kita tentu tahu bahwa Perguruan Tinggi menyuplai paling banyak kandidat pengangguran,  kuruptor yang menodai predikat intelektualnya juga berasal dari mahasiswa, sirkus hukum juga dimainkan kaum ini (bukan rakyat biasa), dan permasalahan lainnya terus berputar pada lingkaran kaum berpendidikan. Ironi bukan?

Kampus sering dianggap sebagai penyumbang Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas yang dalam sejarahnya memang memberikan peranan penting pada kemajuan bangsa Indonesia. Saadar tidak sadar, di kampuslah kesempatan mengoptimalkan potensi diri sesungguhnya terbuka luas. Namun, sampai sekarang begitu banyak wacana yang mengatakan bahwa mahasiswa sekarang kurang begitu peduli terhadap persoalan masyarakat kecuali pada tugas kuliah dan kehidupan pribadinya. Hal ini bisa kita lihat indikasinya melalui menurunnya minat berorganisasi, partisipasi pemilu dilingkungan kampus cenderug tergolong rendah untuk ukuran masyarakat terpelajar.

Indikasi-indikasi diatas mungkin belum cukup, tapi secara umum hal-hal seperti itu banyak sekali terjadi di kampus manapun. Setidaknya ada beberapa penyebab mahasiswa menjadi pragmatis dan apatis. Pertama, soal kesadaran, mahasiswa sekarang tidak sadar akan predikatnya sebagai cadangan kehidupan selanjutnya di masyarakat. Kedua, membantu orang tua, juga sering menjadi alasan yang benar-benar final. Ketiga, larangan orang tua yang menganggap organisasi kurang bermanfaat masih ada. Dan keempat, aktifitas kampus yang padat menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa untuk bersosial layaknya dilingkungan masyarakat.

Dalam sekelumit persoalan-persoalan yang timbul dalam dunia kampus tentu akan berdampak pada kehidupan selanjutnya, yaitu pascalulus. Masih terlihat mahasiswa yang sudah sarjana nampak kebingungan kemana langkah selanjutnya, menjadi petani, guru, ASN, buruh, usaha atau apapun keinginan lainnya justru serba dihantui rasa cemas, was-was dan khawatir. Jika yang timbul adalah demikian, kita harus ingat soal waktu. Pemanfaatan waktu bukan hanya untuk diri sendiri tetapi untuk lingkugan sekitar dan masyarakat. Hidup memang benar-benar pilihan. Lalu apa pilihan kita setelaj menyandang gelar sarjana?

Post a Comment

0 Comments