SANTRI MENGHADAPI ARUS PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA


(Refleksi hari santri nasional 22 Oktober)

Semenjak industrialisasi digulirkan sampai sekarang, yang ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi, telah banyak membawa perubahan-perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat di segala bidang. Realitas paling dominan dari sisi positifnya adalah bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui serananya yang ada, menyebabkan dunia dan aneka ragam isinya terasa dekat dan transparan. Sisi lain pengaruh negatifnya telah menyebarkan kegelisahan-kegelisahan yang luar biasa dari akibat kemajuan sains dan teknologi, di mana muncul ideologi, kebudayaan atau kebiasaan baru yang tidak jarang menyebabkan 'perang batin' antara hati nurani dengan suatu yang dianggap benar dan ketidakberdayaan untuk menemukan kebenaran yang hakiki menghadapi realitas perubahan  sosial budaya yang secara historis terjadi.

Bagi dunia barat, produk-produk modernisasi seperti liberalisme, kapitalisme, materialisme, hedonisme yang dianggap menjanjikan masa depan, ternyata sebaliknya malah mengancam martabat kemanusiaan dan kelangsungan peradabannya. Sehingga aspek spiritual (agama) terabaikan dan terasing dilingkungannya sendiri. Namun, di Indonesia justru sebaliknya, bahwa aspek spiritual memiliki peran penting dan terbukti tetap aksis dan tidak tersingkir dari panggung sejarah. Salah satu faktor penyebabnya adalah adanya pesantren yang di dalamnya terdapat sebuah komunitas yang terdiri dari kiai dan santri berikut perangkat sistemnya yang bernuansa religius.

Keberadaan pesantren yang notabene merupakan lembaga pengkaji Islam dengan intensifikasi penggodokan melalui kitab-kitab kuning di samping Al-Quran dan Sunnah sebagai stressing utama, memang secara riil terbukti banyak menelurkan santri alumni pesantren yang tersebar dalam masyarakat dan menjadi embrio kiai atau pesantren baru yang minimal bisa meneruskan dan melanggengkan komunitas pesantrennya dengan ciri-ciri masyarakatnya yang islami.

Dalam perkembangan berikutnya, perubahan sosial budaya hang terjadi di luar pesantren telah mampu mengubah pola pikir masyarakat menjadi lebih maju sebagai akibat dari cepatnya globalisasi informasi, sehingga  pesantren mulai merespon perkembangan tersebut sebagai langkah antisipatif. Akibatnya, muncul dua istilah yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern).

Pesantren salaf dengan ciri khasnya masih mempertahankan tradisionalitasnya dengan mempergunakan sistem manajemen sederhana dan mempunyai kurikulum kepesantrenan tersendiri yang sama sekali belum tersentuh format kurikulum formal di bawah naungan departemen terkait, misalnya Pondok Pesantren Ibnul Amin, Pamangkih Berabai dan yang lainnya. Di pesantren model salaf ini biasanya memang sengaja tidak terlalu mengakses perkembangan arus globalisasi informasi dari luar mana pun baik dari media elektronik maupun media cetak, sehingga mereka hanya berkonsentrasi dengan kitab-kitab keislaman klasik. Sedangkan pesantren modern mulai mengembangkan sistem manajemen modern dengan mengemas kurikulum formal tanpa meninggalkan kurikulum muatan lokal kepesantrenan. Misalnya Pondok Pesantren Pertanian di Bogor dan lainnya.

Model pesantren yang banyak di temui adalah pesantren-pesantren tradisional yang berada dalam ruang (space) antara tradisional dan modern. Banyak model pesantren yang mau dikatakan pesantren salaf tetapi bukan salaf karena telah mengadopsi kurikulum formal departemen terkait melalui lembaga formal yang ada dalam pesantren tersebut. Akan disebut pesantren modern namun tidak menonjolkan spesialisasi model pesantren dengan segala instrumen modern. Alhasil, alumni santri yang dihasilkan beraneka ragam dalam merespon perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga cara memecahkan persoalan yang muncul ke permukaan akibat kemajuan zaman beragam pula.

Bagi alumni pesantren model terakhir ini (yang kurang peduli terhadap kemajuan) memandang sains dengan apriori serta membiarkan arus perubahan itu bergulir mengikuti zaman. Sedangkan alumni pesantren (yang peduli bagi masa depan umat menghadapi perubahan) justru menerobos mencari solusi persoalan keumatan melalui perspektif Islam dengan kembali mereinterpretasi doktrin dengan probabilitas penggunaan Ushul Fiqh. Karena justru disiplin ilmu yang terakhir ini merupakan hasil ijtihad sebagai respon perkembangan zaman yang terus berubah.

Dalam situasi ini santri harus belajar kembali tentang hermineotika Islam (Ilmu Tafsir). Dengan demikian, santri bisa memilah-milah nama kitab mufassirin yang tekstual dan kontekstual. Namun, jika kita perhatikan lebih jauh  dalam masa transisi ini, pesantren dan santri dihadapkan pada persoalan ambiguitas. Yaitu, alumni santri lebih mengedepankan moral kepesantrenan atau tuntutan sosiologis dalam masyarakat.

Setidaknya, dalam pengamatan penulis, ada beberapa penyebab fenomena ambigu seperti di atas. Pertama,  minimnya pemahaman dunia luar terkait kemajuan teknologi dan informasi, sehingga setelah berada dalam entitas lingkungannya terjadi keterkejutan budaya (culture shock) dan memerlukan sosialisasi yang cukup memadai. Kedua, krisis metodologi secara kelembagaan, dengan sistem yang ada tidak ada pembiasaan pola pikir kritis dan dialogis dalam menghadapi persoalan aktual yang terjadi di masyarakat. Ketiga,  terbatasnya pemahaman  tentang moralitas (akhlak) yang hanya di pahami sebagai etika hubungan yang sempit. Misalnya, santri terhadap kiai/ustad, anak terhadap orang tua, atau yang muda terhadap yang lebih tua. Justru yang terjadi bukan moralitas sosial yang lebih universal yang secara horizontal menyangkut semua makhluk terutama manusia (insan) dengan dasar transendensi (tauhid) kepada Khaliknya.

Dari uraian di atas, kita dapat ilustrasi mengenai model-model pesantren selama ini. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana pesantren tradisional tersebut mampu mengadakan reorientasi ke depan terhadap model yang sudah ada untuk mengkhususkan diri menyangkut format apa yang dikehendaki dalam menyiapkan alumni-alumninya yang mampu menjadi waratsatu al-anbiya' (penerus misi Islam) yang tangguh dan peka terhadap persoalan zaman. Sebab, selama pesantren berada dalam transisi dengan terus menerus tanpa bentuk dan tujuan (ultimate goal) yang jelas secara teori sosial akan menimbulkan ambiguitas yang bisa dilihat dari para alumni cetakan pesantren tersebut. Karena tidak sedikit pesantren sekarang mulai tidak dilirik lagi oleh sebagian masyarakat yang pola pikirnya sudah mengikuti zaman. Masyarakat yang pola pikirnya prospektif-dinamis sudah mulai melirik lembaga pendidikan yang berorientasi pada pendidikan kognitif (kemampuan intelektual), afektif (kedewasaan sikap, etika/moralitas) dan psikomotorik (keterampilan) yang dipadu dengan nilai-nilai religius. Dan sekali lagi, satu-satunya lembaga yang memungkinkan pencapaian ada di pondok pesantren. Maka, sudah semestinya pesantren sensitif (peka) terhadap perkembangan dan tuntutan zaman ini dengan menyiapkan diri sedini mungkin.

Dalam reorientasi ke arah pencarian jadi diri atau model yang diinginkan, maka wacana yang perlu dimunculkan dan didiskusikan di Hari Santri Nasional yang bertepatan pada 22 Oktober ini adalah: Pertama, komitmen yang kuat dari pihak dalam pesantren sendiri untuk memajukan pesantrennya. Kedua, menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang memadai, lebih-lebih dengan prestasi yang bagus di kancah lokal, nasional dan internasional. Ketiga, memilih tenaga-tenaga profesional di bidangnya yang memiliki kompetensi, kapabilitas, dedikasi dan tanggung jawab untuk memajukan pesantren tersebut. Kelima, menyiapkan sarana prasarana yang memadai sebagai penunjang program yang telah di rencanakan. Waallahwa'lam Bissawab.



Post a Comment

0 Comments