PLURALISME DAN DEMOKRASI INDONESIA


Berdiskusi tentang pluralisme dan demokrasi di Indonesia, sama artinya membahas suatu masalah: "Bagaimana menegakkan demokrasi di dalam masyarakat yang plural; baik secara etnis, ras, golongan, ideologi dan agama?" Pembahasan atas masalah ini seringkali menghasilkan jawaban spekulatif dan menjebak banyak pemikir, bahwa dalam menegakkan demokrasi bagi masyarakat plural diperlukan suatu ideologi tunggal untuk menyatukan masyarakat ke dalam satu kesatuan ideologi. Pertama, pluralisme lebih dilihat sebagai  realitas ketidaksatuan (kadangkala lebih dimaknakan perpecahan) dan oleh karenanya masyarakat perlu disatukan secara ideologi seolah-olah agar tidak pecah. Kedua, pluralisme lebih diartikan suatu ancaman bagi keutuhan suatu bangsa, ketimbang dilihat suatu kelumrahan semata. Bahkan dalam pandangan yang bersifat teologis perbedaan lebih dilihat sebagai kodrat yang bermakna satu rahmat.

Dari kedua kekhawatiran itu kemudian gagasan  ideologi tunggal dikedepankan dengan isu persatuan dan kesatuan yang di dalam prakteknya kebih bermakna penyerangan. Maka ini sangat berbeda dan bertolak belakang dengan makna  kebersamaan-kemesraan (solidarity) di dalam perbedaan. Bahkan makna penyeragaman itu lebih berarti suatu pengingkaran realitas keberagaman dan praktek demokrasi lebih didasarkan pada makna-makna itu, padahal yang demikian lebih merupakan dedemokratisasi: sebab di dalam penyeragaman, setiap kelompok yang berbeda-beda tidak dimungkinkan untuk dapat mengembangkan diri sesuai potensi pluralitasnya masing-masing, melainkan - seringkali secara politik dan dalam tekanan kepentingan ekonomi kekuasaan setiap kelompok di paksa untuk mengintegrasikan diri kedalam kebudayaan tunggal yang secara sentralistik berada di bawah pengaruh kekuasaan negara.

Tulisan ini tidak akan memperpanjang perdebatan terhadap jawaban spekulatif dan dua kekhawatiran yang amat berlebihan sebagaimana yang diuraikan diatas. Namun, berangkat dari realitas itu, tulisan ini akan mencoba lebih di fokuskan pada pembahasan dua permasalahan.

1. Apa signifikansi demokrasi di dalam masyarakat plural?
2. Bagaimana menegakkam demokrasi di dalam masyarakat plural dengan melihat pluralisme sebagai realitas kelumrahan?

Secara historis dalam evolusi sosial budaya masyarakat manusia, realitas pluralisme merupakan suatu kodrat antropologis. Oleh karenanya, realitas ini lebih merupakan suatu kelumrahan dan memang harus terjadi dalam setiap sejarah kehidupan masyarakat manusia. Setiap manusia dalam sejarahnya senantiasa mengalami perbedaan, baik dalam bentuk kelompok, etnis, ras, golongan maupun agama. Tidak ada kontradiksi yang berarti di dalam perbedaan itu, terutama pada awal-awal terbentuknya masyarakat hingga memasuki zaman pertengahan. Kontradiksi baru mulai timbul ketika jumlah penduduk kian hari kian bertambah, sedangkan kebutuhan alamiahnya tercukupi dan melimpah. Dari realitas keterbatasan sumber-sumber kehidupan alamiah inilah kontradiksi terjadi dan melahirkan berbagai fenomena kekerasan di dalam masyarakat yang kompleks.

Heteroginitas lebih diartikan berbeda dengan pluralitas kepada masyarakat kompleks, ia diukur  bukan berdasarkan kelompok plural, melainkan berdasarkan stratifikasi sosial (kelas-kelas sosial) yang terbentuk di dalam masyarakat kompleks tersebut. Realitas tentang kelas-kelas sosial inilah yang kemudian melahirkan kontradiksi-kontradiksi di masyarakat, sebab realitas ini mengandung konsekuensi kesenjangan bukan perbedaan sebagaimana dipakai dalam memahami pengertian plural, lihat saja jumlah penduduk miskin  di laman http://independen.id sekarang yang jumlahnya masih spekulasi. 

Kesenjangan yang terjadi dapat dilihat dari terdapatnya kelas-kelas dominan dan kelas-kelas marginal, maka timbullah berbagai fenomena persekusi, penindasan, eksploitasi dan penghisapan disatu sisi. Sedangkan di sisi lain timbul fenomena kekecewaan, kemarahan dan kebencian yang kemudian terakumulasi dan mengalami resistensi menjadi potensi radikalisme sosial kelompok-kelompok kelas marginal. Dari pemahaman teoritik ini dapat dimengerti kemudian, mengapa di dalam sejarah masyarakat manusia terjadi relitas peperangan dan bentuk-bentuk kekerasan-kekerasan lainnya.

Kekerasan timbul bukan terjadi karena masyarakatnya berbeda-beda etnis, ras, golongan, ideologi dan agama. Akan tetapi kekerasan timbul karena masyarakat mengalami tekanan-tekanan di dalam kehidupannya, sementara kekerasan secara sistematik pun dicipatakan oleh kelompok dominan yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya akan sumber-sumber kebutuhan yang semakin hari semakin terbatas itu. Walaupun sering terjadi konflik antar kelompoknetnis, ras, golongan, ideologi ataupun agama, konflik itu terjadi tidak bersumber dari perbedaan diantara mereka, melainkan berpangkal dari kelas-kelas sosial yang senjang. Sebagai contoh; etnis A merasa iri terhadap etnis B, karena etnis B lebih mendominasi akses penguasaan sumber-sumber kehidupan, terutama secara ekonomi dan politik (http://independen.id).

Jika melihat sumber kontradiksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat plural, sebenarnya bukanlah pluralisme itu sendiri, melainkan pada kelas-kelas sosial yang mendominasi. Maka sesungguhnya penegakan demokrasi lebih kepada fungsi penegakan keadilan dan kedaulatan. Sementara penyelesaian konflik antar kelompok etnis, ras, golongan, ideologi dan agama tidak dapat diromantisir dengan menyatukan mereka kedalam suatu ideologi tunggal yaitu "Persatuan dan Kesatuan". Selama keadilan dan kedaulatan tidak ditegakkan, maka konflik-konfik itu akan tetap potensial dan suatu saat dapat meledak lebih dahsyat.

Penegakan demokrasi di Indonesia mesti dimulai dari kesungguhan menjawab persoalan-persoalan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, terutama secara ekonomi dan politik. Bahkan supremasi hukum pun dapat ditegakkan setelah keadilan politik ekonomi ditegakkan. 

Oleh karena itu, perubahan struktur sosial (ekonomi-politik)  di dalam masyarakat sekarang masih menjadi PR utama yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK. Pelibatan masyarakat juga menjadi penyadaran terhadap peran kebutuhan bersama. Artinya, bahwa proses  demokrasi berjalan di dalam kesadaran masyarakat itu sendiri untuk melakukan perubahan secara terorganisir, terdidik dan terpimpin tanpa harus mengedepankan sentimen kelompok etnis, ras, golongan, ideologi dan agama.

Banjarmasin, 24 Oktober 2017

Post a Comment

0 Comments