MENERAWANG KEBANGKITAN LPM SUKMA (PART 2)



MAHFUDISME - Sebentar lagi, tepatnya 14 Mei bulan mendatang, LPM Sukma akan bertambah usia dan semakin tua. Jika kelak anak saya masuk Sukma, mungkin usia Sukma sudah 30 tahun atau bahkan 40 tahun. Meski pun begitu, betapa pun umur Sukma, tak ada jaminan umur dewasa maupun tua ia semakin tumbuh dan bersinar.

Rotasi kepengurusan silih berganti, kehidupan Sukma terasa biasa-biasa saja. Banyak “lulusan-lulusan Sukma” lahir prematur, jika ia cek kesehatan ke rumah sakit, si dokter bakalan bilang kalau ia kekurangan kalori bacaan, sari-sari bahasa yang diserap pori-pori otak terlalu banyak mengandung lemak dan miskin vitamin judul buku-buku.

Jangan dihitung berapa banyak lulusan-lulusan ini baca buku, jangan juga ditanya kapan lulusan-lulusan ini terakhir kali menulis (kecuali hanya sekadar menulis status ). Seiring perjalanan waktu, lulusan-lulusan ini bakal menyadari bahwa Sukma bukan hanya tempat merebus mie instan atau ramai ketika dikasih umpan “masak bareng”. Akan tetapi Sukma adalah ruang di mana kita bisa menjadi pengembara hidup, memikirkan persoalan cadar dan baju ketat yang semakin hari semakin merinding, melihat realitas betapa foto mahasiswa foya-foya di Instagram dan sebagainya. Itulah Sukma.

Maka tak heran, banyak anggota-anggota Sukma yang bergelimpangan mengadu nasib di organisasi lain, ia menyadari bahwa Sukma adalah tempat yang selalu memaksa kita untuk berpikir, sedangkan ia banyak yang harus dipikirkan, termasuk menggali jati dirinya dengan merenung seharian dibangku kuliah.

Menjadi orang yang benar-benar Sukma tentu tidaklah mudah. Segala macam penyakit, alasan, dan rintangan seperti hantu yang tak mudah kita tebak kapan datangnya. Kebanyakan yang masuk Sukma atas dasar ingin jadi penulis, atau yang paling umum, ingin mengasah kemampuan dibidang jurnalistik. Sampah!

Saya jadi teringat sewaktu awal-awal masuk Sukma. Pekerjaan kami adalah memancing, ngobrol-ngobrol di angkringan, mencari haliling, atau masak nasi tentara yang amat keras. Setelah itu tiduran di Sukma.

Kadang bila di antara angkatan 2013 dalam hatinya ada bisik-bisik “ingin naik gunung”, yang lain meng-iya-kan, kita pun naik gunung meski bertiga. Simpel.

Terbersit menjadi penulis sewaktu tempo dulu, sama sekali tidak. Apalagi mengasah kemampuan agar bisa juri lomba atau pembicara, sama sekali juga tidak. Tapi proses memang tidak mengubah manusia secara spontan, lambat laun “ingatan-ingatan” perjalanan sewaktu masih di Sukma mulai tampak. Dan saya yakin, bahwa yang suka bermalas-malasan dan beralasan di Sukma akan sulit betah beradaptasi. Tapi di sisi lain, mereka yang terus berproses akan berjumpa dengan mimpinya.

Di bawah komando Muhammad Iqbal, awal-awal saat ia terpilih muncul pertanyaan, “Seperti apa nasib Sukma di tangannya?”. Pelan tapi pasti, Iqbal dengan segudang pengalaman di dunia luar sedikit menjawab pertanyaan saya. Meski pun begitu, Sukma bukan organisasi apa-apa jika anak-anak Sukma tidak lagi menghiasi dinding koran-koran, lomba-lomba, dan semacamnya.

Saya percaya, bahwa pelan-pelan sekarang Sukma punya imajinasi baru dan harapan baru.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments