Dulu,
Kanak-kanak
kita berlarian
Mengejar deru
ombak dan melukis karang
Dan
membawanya pulang dengan sekeranjang kenangan
Mungkin, kita
adalah riwayat yang tak perlu jadi kisah apalagi soal resah
Dan, rumah
kita kokoh berdiri diamuk badai dan waktu
Lalu, kita
sama-sama menatap laut yang menyeret senja dan kau berucap
“Rumah itu
bakal dingin tanpa ada sajak yang lahir”
Perempuan
yang Tak Pernah Selesai Bercerita
Ketika
pertama kali Moh Mahfud menyodorkan naskah ini, aku coba baca perlahan, satu
persatu. Aku seperti takut untuk tergesa-gesa dan kwatir ada yang terlewat
meski satu kata. Kucermati setiap puisi-puisi yang lahir ini, puisi-puisi lahir
secara berserakan, kemudian dikumpulkannya satu persatu, sebagai anak yang
kelak akan merawatnya, merawat ingatan-ingatan masa lalu, serta
pertemuan-pertemuan hari kemarin.
Tahun
2013 aku pertama kalinya bertemu dengan Moh Mahfud dan beberapa orang teman
lainnya, dia sama sekali tidak paham bahasa kami, bahasa ibu yang digunakan
sehari-hari, dia seperti orang yang sangat pendiam, tanpa banyak suara dan
sesekali melirik serta memperhatikan kami, kemudian selang beberapa waktu ia
menyodorkan sebuah puisi yang ia tulis kemarin. Puisi itu berjudul Perempuan yang Tak Pernah Selesai Bercerita,
aku membacanya, kemudian terjadilah interaksi kami dengan menggunakan bahasa
Indonesia, mulai hari itu pertemuan, percakapan, dan kekonyolan kami keluar
satu persatu dan aku seperti sebuah kamus Bahasa Banjar yang ia tak pahami
serta mengerti.
Puisi
itu ditulisnya untuk seorang perempuan, perempuan yang sering banyak bicara
dalam komunitas kami, Pondok Huruf Sastra, itulah organisasi pertama yang
mempertemukan kami, sebuah perkumpulan sederhana dengan orang-orang sederhana
tetapi gila, bercita-cita yang tak tergapai.
Dalam
puisi itu aku seperti merasa sebuah kekhawatiran, tentang kami yang lebih
banyak terombangnya dari pada tenangnya. Tetapi itu wajar, rasa seorang makhluk
hidup yang bernama manusia, lebih baik kita menikmatinya dari pada terlalu
mengkhawatirkannya.
Berbicara
tentang judul, kenapa Moh Mahfud memilih judul MA, tentu ia punya pertimbangan yang sangat, kami mengetahui satu
sama lain, setiap apapun itu, kita sering berdiskusi. Aku ingat ia pernah
bercerita tentang buku pertamanya dengan judul Rantau Akhir, ia
bercerita itu adalah buku yang ia tulis ketika masih di kampung dan selagi dia
masih hidup di Pondok Pesantren.
Kemudian
dia juga bercerita tentang rencana buku yang kedua, bahkan dia sudah mengolah
cover bukunya berwarna kuning dengan seorang lelaki berdiri dengan judul
Menolak Matahari, tapi ia bilang masih tentang sebatas rencana, entah kapan
akan terealisasi, hingga akhirnya beberapa tahun lewat, kemudian dia juga
bercerita tentang bukunya yang kedua dengan judul SIRA, aku dan Ali sempat berfikir tentang maksud buku itu, hingga
akhirnya kami mengerucut tentang seseorang, yakni kekasihnya, tentu saja itu
benar.
Tema
perempuan yang kental dalam puisi-puisinya ini tentu akhirnya merujuk pada satu
nama, meskipun sebelumnya nama-nama itu begitu berserakan, tapi marilah kita
lihat bagian akhir dari perjalanan ini sampai sekarang, dia pernah bilang,
ketika kita menulis puisi cinta, tetapi kita sama sekali tidak tahu untuk siapa
kisah cinta, kita seperti percuma, maka merujuklah pada satu nama, maka tentu dia
akan menemukan makna.
Sesampai
dipuncak paling angkuh/kita membuat rumah-rumahan bak anak kecil/membuat bara
apa/mengumpulkan kayu, sedih, lelah/dan tentu kenangan-kenangan kita di
dalamnya/
puisi ini berjudul Dipuncak, Kita Mandi Angin.
Dalam
puisi ini bercerita tentang kenangan kita dan kekasihnya, kita berenam waktu itu
mendaki, kami bertiga didalam tenda, dia dan kekasihnya diluar menatap bintang,
tidur dalam sebuah tidur kepompong dan kau hanya beralas
matras tanpa apapun. Kemudian seorang teman berkata, kita bertiga adalah lelaki
bejat, membiarkan perempuan tidur diluar bersama dingin, angin dan malam.
Tapi
kita semua melaluinya dengan tawa dan senyuman, sampai kapanpun kita slalu
menjadi sahabat, susah senang sudah menjadi hal yang wajar dan biasa.
Suatu
malam kita pernah sama-sama membawa kekasih ke sebuah angkringan malam di Kota
Banjarmasin, entah apakah dia mengabadikannya atau tidak, tapi itulaha salah
satu perjalanan-perjalanan kita, yang aku ingat sewaktu itu dia sudah kurang
menulis puisi, sibuk di organisasi dan menulis opini serta sebagainya.
Pada
suatu waktu kita juga pernah bersaing dalam berbagai lomba puisi, meskipun
bersaing tapi kita kadang saling mengoreksi satu sama lainnya, dan tentang
puisi-puisi yang berjudul Amah di dalam antologi ini tidak perlulah kubahas,
kalian pasti sudah tahu juga, apalagi di sana tertulis kado pernikahan, dan MA
mungkin adalah panggilan anak-anak mereka kelak kepada seorang yang akan
menjadi ibu.
Sampai
disini dulu, kurang lebihnya bisa ditambahkan dilain hari dan kesempatan.
Penulis: Syarif
Hidayatullah, SE (Penyair, tinggal di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala)
Editor: MAHFUDISME
KARENA HIDUP PENUH BUNGA-BUNGA DAN MEMANG BEGITULAH ADANYA, SAMPAI KAPANPUN ITU |
0 Comments