MAHFUDISME - Disebuah acara televisi, aku menonton kabarnya
ada seorang guru matematika
di China yang menugaskan muridnya menghitung 100.000.000 butir beras dalam
waktu kurang dari tiga hari. Jika lebih dari tiga hari akan di beri hukuman
menghitung lebih banyak lagi. Kisah luar biasa yang langsung viral di negeri
tirai bambu sana. Mengenai tugas kukira guru ini besar juga nyalinya. Jika di
Indonesia mungkin akan langsung jadi bahan nyinyir online. Lalu di undang talkshow
di tv, atau
malah di panggil KPAI, karena melakukan kekerasan dengan membebankan tugas tak
manusiawi pada anak sekolah dasar. Bisa juga langsung di undang istana di ajak
ngobrol Pak Presiden bareng Menteri pendidikan lalu pulang dengan wejangan
panjang.
Kisah PR seratus juta beras itu ternyata punya maksud
tujuan tersendiri. Sang guru ingin anak didiknya bisa berpikir kreatif dan
kritis. Saat hari pengumpulan tugas, di dapati 10 anak yang berhasil menghitung
seratus juta beras dengan caranya masing-masing. Ada yang menghitung sejumlah
seratus butir dahulu, lalu mengalikan banyak berasnya dengan sepuluh, seratus
hingga sampai seratus juta. Sesuai dengan ekpentasi gurunya, dia ingin
anak-anak menghitung per sepuluh, per lima puluh atau perseratus lebih dulu
baru mengalikan hingga jumlahnya seratus juta. Bisa di lihat, PR seratus juta
beras ini ternyata punya makna lebih dalam dari sekedar tugas yang bikin capek.
Di Indonesia, kepercyaan orang tua pada cara
mendidik seorang guru semakin rendah. Rumah terlalu banyak ikut campur terhadap
urusan sekolah. Malah ada orang tuanya terlalu over, sering mendekti gurunya
harus mengajar seperti apa. Tapi lucunya, kadang, orang tua ini
malah lupa mengajarkan tata krama, etika yang harusnya sudah di tumbuhkan di
rumah alhasil yang terbentuk sekedar generasi doyan ngeluh. Mengormati orang
tua, bukan hanya perkara yang di ajarkan di sekolah. Bahkan kebiasaan kecil
seperti mengucapkan salam saat hendak masuk, mengetuk pintu dahulu. Atau
disiplin waktu dengan bangun awal di pagi hari. Harusnya sudah di setting
di rumah masing-masing.
Beda tugas yang di barikan guru beda pula tugas
mahasiswa. Terhitung hampir sebulan perkulihan aktif semester ganjil telah
berlangsung. Di masa seperti inilah, kami mahasiswa yang masih punya jadwal
rutin masuk lokal sedang sibuk memanen tugas dan lagi booming bagi-bagi
kelompok makalah. Kehidupan semakin sulit ketika semua rutinitas, yang awalnya
leha-leha harus ditinggalkan. Biasanya ketika liburan tiga bulan yang kemarin,
aku rutin sayang-sayangan sama kasur terkasih. Semua berubah sejak dunia api
menyerang.
Sekitar tiga minggu yang lalu, di sebuah lokal di
lantai satu ujung gedung B. Terjadi pembagian kelompok. Bagi
mahasiswa berawalan nama A maka harus terdidik mentalnya. Absen paling awal,
saat ulangan duduk paling depan hadap-hadapan dengan pengawas. Kalo tugas
menghapal di suruh setor paling awal. Bahkan ketika ulangan lisan kami mahluk
berhuruf awal A yang maju di garda depan. Namun hari itu tidak demikian.
Kendati absen saya paling atas, nama saya berawalan A kelompok makalah, saya
dapat yang paling buncit.
Saya cenderug lebih senang dapat kelompok
pertama, maju makalah paling awal. Biar tugas selesai dan lega. Namun berhubung
mata kuliah lain sudah lebih dahulu menandai nama saya di awal, maka puji
syukur aku panjatkan atas mata kuliah yang ini. Berkedok mata kuliah materi,
saya berpikiran baik mata kuliah ini bisa leha-leha sedikit ngerjain tugasnya.
Toh, tak banyak hitung-hitungan paling.
Namun, ibarat kepakan sayap kupu-kupu di Banjarmasin
yang bisa bikin angin topan di eropa. Dosen pada hari itu, memberikan kode
ganjil. Tiba-tiba personil kelompok saya di tambah, bahkan dengan mengorbakan
mengurangi personil kelompok lain. Hati saya bergumam menanyakan keanehan tapi
terlupakan dalam beberapa menit.
Hari berganti, deadline tugas pun terlupakan.
Minggu berikutnya saya sibuk di SUKMA menyiapkan PENA. Hingga sampai H-3 tugas
dikumpul. Saya ingat kena bagian mengetik, dan ketika itu saya jatuh sakit. Iya
sakit yang menghambat segala-galanya. Hingga berdampak, makalah di kumpul
dengan minus ketikan bagian saya. Meski tugas di kumpul saya tetap hutang
ketikan, karena bagian materi saya tetap harus dikumpul minggu depannya.
Sembuh dari sakit anemia, plus flu di campur
batuk dan dibubuhi demam waktunya aku lanjutkan perjuangan. Setelah dihayati ketika
mengetik tugas, ternyata aku sadar. Materi kelompok kami penuh intrik hitungan.
Ada puluhan rumus yang wajib di ketik dengan equation yang bikin kepala berdenyut kembali.
Inilah bencana angin topan itu. Hati saya
porak-poranda. Kesal setengah mampus dapat materi seperti ini. Diujung tanduk
kegalauan perjuangan, sempat saya ingin menyerah mengerjakan tugas ini. Kali
aja minta kawin, sama mama bisa menyelesaikan problem ini. Tapi kiranya saya
juga belum sanggup, menjalankan tugas jadi ibu rumah tangga. Maka terus
berjuang adalah pilihan terbijak. Satu minggu, 20 lembar penuh rumus itu baru
rampung di ketik. Jangan mengejek saya lemot, kalau mau coba saja ketikan rumus
dengan sejelimet equation itu. Biar tahu siapa yang bikin lemot.
Demikian tugas berat saya di awal semester
terlalui. Melelahkan? Iya sangat melelahkan. Tapi kiranya tugas ini masih cukup
manusiawi. Secara jernih, pikiran saya menuntut: jika ingin membentuk pekerja
keras, ya tak apalah sekali-sekali diberi tugas yang bikin kerja keras. Maksudnya
kerja, keraskan hati saat nugas. hehe.
Penutup, kata teman SMA saya jangan terlalu
sering mengeluh tugas. Kerjakan saja, siapa tahu dengan tugas dan sistem
pendidikan seperti ini Indonesia maju di tangan kita. Percaya pada gurumu,
moga-moga ilmunya berkah.
Penulis: Anggun Rio Pratiwi, mahasiswa matematika semester 5 UIN Antasari.
Editor: MAHFUDISME
0 Comments