MAHFUDISME - Groub presma 13 bermunculan kiriman membahas adanya makhluk absurd yang
bernama Leni Wulandari, si anak UIN Antasari berasal dari Batu Licin yang
berhasil masuk nominasi Lomba Cerpen Aruh Sastra Kotabaru, bulan depan. Beberapa
komentarnya mengindikasikan bahwa pencapaian ini harus di rayakan sebagai
apresiasi bagi pendatang baru, apalagi berangkat dari Persma.
Perempuan
absurd yang jadi pembahasan hangat di kalangan anak Sukma saat ini, tak pernah saya kenal sekalipun namanya. Leni, kini saya tahu
nama itu dari tulisan di mahfudisme yang ditulis kepala suku dan Syarif tentangnya.
Gadis yang
kini jadi pengurus Presma sukma dan membidangi sastra di kepengurusan sekarang itu, sering mengirimkan tulisannya kepada senioran supaya dikoreksi bagaimana
baiknya cerpen jika di sayembarakan, apa langkah yang harus diperhatikan?
Cuma si
konsultan tak memberikan cacatan berarti dan cerpen melayang menemui pelangi,
kemudian menari di pikiran kami senioran. Betapa bangganya kami karena masih ada
generasi yang mungkin ‘gesit’ seperti halnya kami
dulu, Para Pemburu Lomba dan media untuk mengisi perut dan bayar kost.
Okelah, saya
tak mengenal “perempuan absurd” istilah yang dipakai penulis mahfudisme untuk Leni
wulandari ini. Dari ulasan sosok pada tulisan sebelumnya, saya sedikit memahami
jika ia sangat tertarik pada dunia sastra.
Entah sejak
kapan ia mulai menyukainya, yang jelas orang yang berkutat sebagai penyair itu memiliki
dunianya sendiri yang sepi. Bisa jadi sepi dalam tulisannya saja atau sepi
hidupnya. Coba kalian teliti kebenarannya ke dalam penelitian skripsi kalau
terasa penting. Hehhe
Pada ulasan Syarif
tentang Leni, lelaki Marabahan yang jadi konsultan sastra bagi anak Sukma, saya
semakin yakin Sukma akan kembali bertaring selama anggotanya terus mencoba dan
mencoba lagi.
Leni
memulainya dari berbagai macam percobaan. Percobaan menulis esai di Mahfudisme,
sayembara, antologi. Ia sepertinya tak mau tahu komentar orang lain jika
tulisannya jelek, sebusuk sampah dan semacamnya yang penting menulis dengan
semaunya. Saya jadi salut kok masih ada ya anak Sukma mau bersepi dalam
tulisan? Akankah ia Mencoba menulis berbagai jenis tulisan?
Mencoba
menggoreskan segala alat tulis, mencoba mencoret ke segala kertas, hingga
akhirnya sampai menemukan jenis tulisan apa yang lebih dekat pada karakter yang
ada dalam diri kita, menemukan goresan yang indah seirama pagi, menemukan
coretan yang mengesankan hati.
Kini, Leni sudah mencoba dengan segala keterbatasannya hingga menjadi
perempuan absurd yang barangkali sering senyum-senyum sendiri atau suka
menyendiri di tempat sepi mendapatkan inspirasi yang begitu fantasi. Layang-layang Biru dalam Awan-awan Kelabu, begitu judul cerpen yang masuk nominasi Aruh sastra Kotabaru.
Kurang absurd
apa coba dengan judul begitu? Pangulangan
kata seperti layang layang atau awan awan tentu sekilas tak akan menemukan
jawabannya. Saya hanya berfikir itu sebuah simbolik. Layang layang permainan musim
kemarau yang ditarik ulur itu mungkinkah seperti pergulatan kehidupan Leni yang
tampak indah dilangit namun nyatanya awan awan terus bergelora dalam pikirannya
hingga kesimpulannya kelabu? Entahlah tulisan ini yang lebih absurd
Buat Leni
yang tak saya kenal. Sekian saja.
Penulis: Ali Senior,
menetap di desa Seribu Bibir
Editor: MAHFUDISME
0 Comments