MAHFUDISME - Pada
zaman teknologi yang berkembang pesat saat ini, dunia internet seakan
menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya
pengguna media sosial di seluruh dunia, seperti Facebook, Twitter, Instagram,
Line, Path, WhatsApp dan media sosial lainnya.
Hal ini
menunjukkan perkembangan dunia maya sudah menjadi dunia baru bagi masyarakat
Indonesia,
hal ini juga disebabkan besarnya konsumsi masyarakat dengan yang namanya
telepon pintar (smartphone), yang mencapai 100 juta lebih pengguna smartphone
yang dikutip dari laporan baru dari emarketer.
Baik
positif maupun negatif, sadar ataupun tidak, aktivitas
pengguna media sosial yang berlebihan akan mengalami yang namanya Sindrom Fomo (Fear Or Missing Out) atau ketakutan akan ketinggalan informasi,
dalam artian pengguna media sosial terjebak ketakutan berlebihan untuk tidak update,
kecenderungan ini akan
terus berburu informasi terbaru, atau bahkan mengalami kekhawatiran bila tidak
mengambil bagian dari apa yang sedang ramai dibicarakan di media sosial.
Arus
informasi tersebar cepat dalam hitungan detik, mempermudah masyarakat membagikan
informasi sebelum mencari kebenaran informasi tersebut. Sebagaai contoh dinding
Facebook terus penuh dengan informasi-informasi baru sesuai apa
yang sedang hangat di bicarakan, misalnya beberapa hari lalu dinding facebook
penuh dengan kasus gempa dan tsunami di sulawesi tengah.
Selain
itu,
beberapa pekan terakhir informasi kasus penculikkan anak juga sempat beredar
cepat khsusunya di daerah Tamban, Mekarsari dan Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala (Batola). Informasi ini membuat masyarakat
setempat panik dan was-was terhadap anak mereka. Walaupun informasi tersebut
sempat dibilang hoaks oleh Polda Kalsel melalui instagram, itu bukan membuat
masyarakat langsung percaya, namun menambah kebingungan dan kebimbangan,
sehingga muncul pertanyaan,
informasi mana yang harus dipercaya?
Titik
permasalahannya adalah,
semua informasi yang beredar di media sosial langsung dilahap masyarakat tanpa
filter,
dan dalam hitungan
detik langsung beredar dan menuai komentar yang membuat mereka ketakutan.
Masyarakat kita juga lebih cenderung membagikan informasi ketika informasi
tersebut mempunyai kedekatan terhadap emosi mereka. sekali lagi,
yang menjadi korbannya adalah masyarakat itu sendiri, dimana berdampak terhadap
mental masyarakat yang dibuat resah, was-was, kepanikan dan lebih fatalnya keterpurukan.
Definisi
sederhannya adalah,
masyarakat kita belum siap menerima lajunya arus media informasi, kenapa?
Karena mereka tidak dibekali ilmu untuk membedakan informasi mana yang benar
atau salah. Mereka hanya berbekal uang untuk membeli smartphone, tetapi
tidak dibekali ilmu dalam menggunakan smartphone.
Poin
pentingnya media informasi dapat menimbulkan sisi rawan yang gelap sampai tahap
mencemaskan dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang
teknologi itu sendiri yang berhubungan dengan “cybercrime” atau
kejahatan mayantara. Masalah kejahatan mayantara ini sepatutnya mendapat
perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi masa depan.
Karena kejahatan ini termasuk salah satu kejahatan luar biasa, bahkan dirasakan
pula sebagai kejahatan misterius yang dapat mengancam kehidupan masyarakat. Itu
bukti perlu adanya kecerdasan dalam bermedia sosial lebih khususnya dalam
membagikan informasi yang beredar. Lalu siapa yang bertanggung jawab dalam ini,
apakah pemerintah, akdemisi atau tokoh agama, entah lah, siapa motif dan apa
tujuan dari semua ini masih tanda tanya besar. Toh kita harus semakin peka
terhadap segala informasi apa saja bukan?
Penulis: Muhammad Husni, S.Sos. Bekerja di Dinas Sosial,
tinggal di Tabunganen, Batola.
Editor: MAHFUDISME
0 Comments