LENI WULANDARI (LAGI), MAHASISWI ABSURD YANG BERLIKU



MAHFUDISME - Dalam minggu-minggu ini aku sedang menikmati lantunan lagu-lagu Iklim, sebuah band legendaris asal Malaysia yang dalam waktu dekat kemarin telah kehilangan sang vokalis yakni Saleem. Ada rasa yang hilang seketika padahal diluar sedang musim hujan. Yaa,,, begitulah kenyataan hidup, terlalu tak nampak seperti ikan-ikan disungai.

Ditengah gerimis hujan yang melanda, aku pun berselancar membuka internet, seketika ada postingan dari Bunda Helwatin Najwa tentang nominasi pemenang lomba cipta puisi dan cerpen kategori pelajar/mahasiswa Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2018 di Kotabaru yang akan dilaksanakan pada tanggal 8-11 November 2018 nanti. Diantara 6 nominasi cipta cerpen, terdapat nama Leni Wulandari, Mahasiswi UIN Antasari Banjarmasin.

Aku hampir samar mengingatnya, sebab kadang menemui orang yang salah, sebab ada dua yang bagiku mirip yakni Leni dan Neni. Aku lupa dia jurusan apa, tapi yang kuingat dia sekarang menjadi pengurus LPM Sukma mengambil devisi sastra (kalau benar) dan pernah beberapa kali ketemu cuman hampir jarang ngobrol, hanya senyum-senyum dan bertanya ini-itu tentang sastra.

Kemarin, lebih tepatnya ketika Pena Sukma 2018, aku menghadiri acaranya, dan ketemu, seperti biasa, mungkin beginilah orang-orang yang berkecimpung dalam dunia tulis-menulis, kadang ngobrol hanya seperlunya saja, tapi ada sedikit yang dibicarakan yakni mengenai lomba ASKS di Kotabaru tahun ini.

Ulun handak umpat lomba cipta cerpen bang, nanti koreksi bang lah,” pintanya.

“Kalau ada waktu,” Kataku.

Dan akhirnya sampai deadline itu berakhir aku belum sempat mengoreksinya, hingga akhirnya ada sebuah pencapaian yang dia usakan sendiri, dengan keringatnya sendiri, dengan pikirannya sendiri.

Tetapi, beberap waktu lalu dia memang sering mengirimkan puisi atau cerpennya denganku, sekadar untuk dikoreksi menurutnya, dan lupa berapa kali aku pun pernah memberikan kritikan terhadap naskah yang dia sodorkan, tapi mungkin dia hanya senyum-senyum sendiri membaca kritikan ku itu.

Seperti yang diungkapkan oleh J.K Rowling, bahwa menulis adalah pekerjaan paling sunyi di dunia. Tetapi dalam tulisan-tulisan tidak sesunyi si empunya naskah, tapi sering juga absurd. Aku pernah mengoreksi beberapa tulisannya, tentang gaya, diksi, bahkan alurnya yang kadang sering loncat-loncat seperti tupai, dan kali ini pepatah itu kena “sehebat-hebatnya tupai meloncat dia akan jatuh juga”, haha pribahasa yang kadang dipaksakan, tapi benar, naskah cerpennya mentok menjadi nominasi, dan sangat memungkinkan dia akan mendapat juara, bahkan juara 1.

Ketika itu ku kirimkan pesan mengucapkan selamat, sebab masuk nominasi, dia pun menjawab “kemungkinan yg “apakah itu memungkinkan” bang? balasnya dengan emoji seperti orang sedang hanyut disungai, ku jawab “ambil kata dasarnya “mungkin”, Sebuah senyum dipaksakan dan emoji lagi yang muncul, beginilah kehidupannya, tapi dengan hidupnya inilah membawanya menjadi finalis dalam ajang sastra tahunan bergengsi di Kalimantan Selatan.

Layang-layang Biru dalam Awan-awan Kelabu adalah judul cerpennya yang masuk dalam nominasi, tetapi aku sama sekali tak punya gambaran tentangnya dan naskahnya yang dulu dikirim via WA sudah terhapus, kita pun masih bertanya-tanya, mungkinkah tak terduga seperti Danarto atau mungkin agak romantis seperti yang diungkapkan D Zawawi Imron “Izinkan aku menghapus debu diujung sepatumu”, sama-sama tapi lebih greget.

Jika ada yang belum kenal, silahkanlah kenalan, siapa tau mentok dijadikan pacar olehnya,,,haha dan semoga terus menulis, ini hanya awal bukan finis dalam memasuki gerbang sastra berikutnya.


Penulis: Syarif Hidayatullah S.E, saat ini masih menjadi Seniman dan tinggal di Marabahan.
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments