MAHFUDISME - Kemarin,
kami mengadakan sebuah acara yang sebenarnya sudah dirancak jauh-jauh hari, tapi
seperti biasa, yang hanya bisa berangkat dan ikut cuman dua orang, yakni aku
dan Moh Mahfud dan akhirnya kami hanya terkumpul 3 orang.
Seperti
yang pernah diucapkan oleh bang Firman, bahwa kami adalah tiga serangkainya
Sukma yang berkecimpung dalam dunia sastra.
Acara
kami adalah mengunjungi rumah seorang sahabat yakni Ali Makki di desa Sungkai,
Batutanam. Kami berlima bahkan lebih biasanya sering ke puncak gunung, khususnya puncak
ke Mandiangin, nah sebenarnya ke rumah Ali pun sama dengan puncak,
jikalau kalian yang pernah ke rumah Ali tentu tau bagaimana suasanya,
rumah-rumah dipuncak gunung, dengan medan yang cukup sulit, bagaimana kendaraan
Mahfud dengan Beatnya harus berjuang dan terus berjuang melawan tanjakan.
Dalam
agenda sebenarnya kami berlima yang ingin kumpul dan berempat yang memulai
perjalanan dengan si Ali Makki yang menunggu dirumahnya. Tapi ya begitulah,
segala halangan, rintangan dan alasan datang silih berganti, hanya orang-orang
yang tahan dengan godaan yang mampu melewatinya, yah, mungkian kami berdua
adalah orang yang dapat melalui. Sedangkan yang lainnya, entah apa yang
terjadi.
Dipuncak
Batutanam ada sebuah kehidupan seperti ditempat-tempat lain, hanya saja antara
rumah satu dengan yang lainnya harus melewati bermacam tanjakan dan turunan
yang kadang ekstrim keparat.
Dan agenda kami adalah sembari menikmati alam pegunungan, tentu ajang kumpul,
mengobrol dan menikmati hidangan alam yang tersedia, seperti durian, mangga
asam, mangga gadong, kasturi, ramania yang baru berbunga, rambutan pun juga
sama. Hanya durian dan kasturi yang tersedia, dan kasturi adalah salah satu
buah endemik kalimantan.
Mungkin
bisa membayangkan yang suka dengan durian, bagaimana harumnya durian dinikmati
ketika matang di pohon sambil bersandar dibawahnya, suasana alam yang asri.
Kicauan burun-burung, gemericik air pegunungan dan dikejauhan ada pengembala
sapi yang memberi makan dengan rumput yang hijau. Dan diakhirnya minum dari
kulitnya.
Ada
banyak cerita yang terjadi, dimalam-malam bagaimana aroma kacang rebus yang
disajikan dengan dipanen langsung dari kebun, aroma kopi hitam disamping
pohonnya yang belum berbuah, anggrek-anggerk liar yang tumbuh dipohon.
Selama
satu malam kami menginap dirumah Ali, sebab acara dan kerjaan yang tak bisa
ditinggalkan esoknya, kami pun pulang membawa oleh-oleh beberapa biji buah
durian, “Oleh-oleh buat si pacar”, ungkap Chairil dalam bait sajaknya.
Kami
pun kembali menuruni tanjakan yang berkelak-kelok dengan tanah dan batu sebagai
dasar jalannya. Dikejauhan kita bisa menikmati pohon-pohon yang tumbuh
dipuncak, rumah-rumah yang bertengger, anak-anak yang pergi dan pulang sekolah
seperti mendaki sebuah gunung dengan pakaian merah-merah.
Ketika
pulang ditengah jalan raya, mobil-mobil melaju dengan kesecapatan tinggi,
menyelinap sepeda motor kami, tiba-tiba sebuah kaca mobil itu terbuka dan
berterbanganlah sampah-sampah makanan yang dia keluarkan, tepat mengenai kami yang
melaju dibelakangnya. Kadang sebuah gerutu terucap tentang bagaimana enaknya
membuang sembarangan tanpa pernah memikirkan apa yang akan terjadi, dan jemari
lentik itu pun menutup kaca mobil sambil terus melaju kencang tanpa pernah tau
apa yang terjadi dengan sampah yang dia buang.
Ditengah
hiruk pikuk seperti ini, kadang orang-orang yang merasa dirinya lebih, bisa apa
saja tanpa pernah memikirkan sebab dan akibatnya, dan ketika itu aku teringat
pernah membaca sebuah cerita tentang “Jemari lentik yang keluar dari kaca
mobil” tapi aku lupa punya siapa, dan kali ini bolehlah aku juga memberi judul
yang hampir sama. Yang jelas begitulah... dia tak pernah tahu bahwa kami
membawa sekeranjang durian dan teman-teman yang punya alasan.
Penulis: Syarif Hidayatullah,
S.E. saat ini menetap dikampung halamannya yakni Bantuil, pesisir sungai
Barito, sembari menjadi Seniman dan mencari pekerjaan.
Editor: MAHFUDISME
0 Comments