MAHFUDISME - Sekilas semuanya sangat asing.
Bahkan untuk mengingat nama sesama anggota baru yang ke mana-mana selalu
bersama-sama, membuat namanya
selalu tertukar saat menyapa bertemu di jalan. Semenjak ingin mengikuti organisasi
kampus bernama LPM Sukma dulu, yang saya ingat-ingat
selama menjadi mahasiswa baru (di kampus yang katanya hijau itu) hanyalah
bidang sastranya.
Hal
itu saya simak saat ngumpul bersesak nafas menahan aroma yang campur aduk di
gedung auditorium kampus bersama mahasiswa baru lainnya. Duduk lesehan menunggu
waktu habis sambil menonton kakak-kakak yang mondar-mandir menghambur-hamburkan
permen. Kalau saja saya bisa memilih saat itu, saya hanya kepingin es doger
buatan paman.
Lambat
laun, saya semakin menyadari keinginan kala itu, tak lebih seperti menemukan hobi baru
yang sedang berkobar-kobarnya. Menyenangi bidang sastra saat itu, membuat saya semakin sadar sekarang, bahwa kesusastraan yang saya bawa adalah bukan apa-apa
dan tidak ada apa-apanya.
Mengenali
kata “senioran” pun saat berorganisasilah saya betul-betul baru mengerti apa arti dan
apa makna sebenarnya kata itu. Menjadi senioran ternyata tidak segampang anak
sekolah yang absennya full tanpa tiga keterangan hadir yang
melegenda (izin, sakit dan tanpa keterangan), lalu dinaikkan ke kelas
selanjutnya.
Menjadi
senioran ternyata perlu waktu dan proses yang cukup membosankan, tidak
sesingkat proses meracik secangkir serbuk kopi. Begitulah ketika sepintas mengamati
lebih dalam sosok-sosok yang luar biasa berkelebat lalu lalang di perantauan,
tempat memangku sejuta harapan.
Salah
satu sosok senior yang muncul sehabis meminum kopi malam tadi adalah Kak Anna.
Sosok-sosk itu banyak mengajari bahwa menjadi senior tidaklah seenak kehendak
diri sendiri untuk berbuat apa saja.
Namun
apa saja yang mereka lakukan adalah hal yang mengagumkan di mata saya. Sebutlah
kak Anna, awal yang sangat pertama melihat sosoknya, yang begitu kental
dipikaran adalah bahwa kakak yang satu ini sangat mirip dengan kawan
seperguruan bela diri di kampung. (Maaf kak Anna) Waktu itu keduanya sama-sama
berjerawat, sangat mirip... bagi saya, merah-merah yang ada di wajahnya justru
membuat semakin menarik, iya menjadi merona dan mempesona.
Bahkan
sewaktu masih bersekolah di tingkat menengah atas, saya begitu iri melihat
kakak penjaga perpus yang punya beberapa jerawat di wajahnya itu. “Sri, kak Hesti cantik
banget ya, apalagi ada merah-merahnya. Jadi merona” kataku pada teman sekelas
waktu itu, sehabis bersantai di perpustakaan sekolah.
“Kenapa aku gak ada jerawatnya ya?” saya juga menanyakan hal bodoh itu. Mungkin lawan bicara saya
saat itu sangat tidak berselera untuk menanggapi, namun dengan terpaksa dia tetap saja menjawabnya.
Kembali
pada kisah di kota perantauan, setahun mengikuti kegiatan organisasi akhirnya
dapat juga tugas wawancara kebagian Siakad. Saat itu saya sendirian, menanyai beberapa hal seputar lomba
antar kampus. Dengan gugup yang sok santai, saya ketawa-ketiwi berusaha mencairkan suasana sebeku ujung alam mana
saja. Setelah
selesai wawancara, saya
langsung menelpon kak Anna, bahwa wawancara sudah
selesai. Lumayan singkat, saya diarahkan menyusun beberapa halaman yang penuh
coretan tak terbaca itu.
Belajar
merangkai tulisan berita dengan “pengalaman kilat” ketika mendengar berita di televisi, saya pun berusaha menggerakkan ujung-ujung jari
di keyboard yang berlubang-lubang seperti galian tambang itu. Saya terus mencoba menyelesaikan, walau
sebenarnya saya tahu, apa yang sedang ditulis tidaklah berkualitas (sama sekali). Beberapa kali mendapat materi
jurnalistik pun seperti tidak nyangkut di kepala, entah apa yang saya pikirkan
waktu itu, saat pemberian materi-materi yang mantap luar biasa itu berlangsung, kepala saya seperti
daunt alas menangkap air hujan deras, tak berbekas.
Saat
dikoreksi itulah, banyak kata-kata
beliau yang menggugah rasa sadar. Banyak kalimat beliau yang terlontar ke
telinga dengan ritme yang begitu cepat namun sama sekali tidak “typo” atau
pun kepleset misalnya seperti “becak” menjadi “cicak”. Saya tidak ingat dengan
jelas apa saja urutan kalimatnya. Sederet kalimat emas saat itu tentu ada
sedikit rasa yang menyadarkan walaupun tidak dicatat sama sekali. (Maaf lagi,
Kak Anna) tidak hanya fokus pada apa yang diucapkan, saya justru asik melihat mimik wajahnya
yang begitu serius itu,
seolah wajah Kak Anna tambah cantik, apalagi jabatannya sebagai senior redaktur Buletin Berantas waktu itu.
Bahwa
saya mendapatkan pelajaran berharga bagaimana harus melihat sesuatu dengan
jelas, dengan suatu dasar yang kuat. Bukan dari luar, melainkan dari dalam
hati saya sendiri. Begitu,
ketika melihat mata kak Anna berbicara di sela rapat mingguan, ucapannya sangat realistis, bahkan
tidak menampakkan sedikit pun kalau wanita itu
ternyata seorang penulis puisi. Puisi-puisinya jauh lebih banyak yang dibukukan
ketimbang banyaknya huruf-huruf yang saya susun berharap orang
mengatakannya itu sebagai puisi.
Apa
yang saya gambarkan di atas hanyalah sebagian partikel kecil dari wanita cantik
bergelar pimpinan redaksi di dalam keorganisasian yang saya temui dan yang
terus saya pelajari sekarang
ini.
Meskipun mungkin, orang-orang disekeliling saya terus mempelajari bagaimana
cara saya mempelajari itu semua.
Harapan
saya semoga tulisan ini bisa dikirim dan dibaca. Sudah itu saja. Memimpikan di
lain waktu saya bisa menulis apa saja, seringan tawa kak Anna, sewaktu meminta
persetujuan mengenai tulisan ini – mungkin itu juga harapan lainnya.
Editor: MAHFUDISME
0 Comments