BELAJAR BANYAK DARI KAK ANNA DESLIANI


MAHFUDISME - Sekilas semuanya sangat asing. Bahkan untuk mengingat nama sesama anggota baru yang ke mana-mana selalu bersama-sama, membuat namanya selalu tertukar saat menyapa bertemu di jalan. Semenjak ingin mengikuti organisasi kampus bernama LPM Sukma dulu, yang saya ingat-ingat selama menjadi mahasiswa baru (di kampus yang katanya hijau itu) hanyalah bidang sastranya.

Hal itu saya simak saat ngumpul bersesak nafas menahan aroma yang campur aduk di gedung auditorium kampus bersama mahasiswa baru lainnya. Duduk lesehan menunggu waktu habis sambil menonton kakak-kakak yang mondar-mandir menghambur-hamburkan permen. Kalau saja saya bisa memilih saat itu, saya hanya kepingin es doger buatan paman.

Lambat laun, saya semakin menyadari keinginan kala itu, tak lebih seperti menemukan hobi baru yang sedang berkobar-kobarnya. Menyenangi bidang sastra saat itu, membuat saya semakin sadar sekarang, bahwa kesusastraan yang saya bawa adalah bukan apa-apa dan tidak ada apa-apanya.

Mengenali kata “senioran” pun saat berorganisasilah saya betul-betul baru mengerti apa arti dan apa makna sebenarnya kata itu. Menjadi senioran ternyata tidak segampang anak sekolah yang absennya full tanpa tiga keterangan hadir yang melegenda (izin, sakit dan tanpa keterangan), lalu dinaikkan ke kelas selanjutnya.

Menjadi senioran ternyata perlu waktu dan proses yang cukup membosankan, tidak sesingkat proses meracik secangkir serbuk kopi. Begitulah ketika sepintas mengamati lebih dalam sosok-sosok yang luar biasa berkelebat lalu lalang di perantauan, tempat memangku sejuta harapan.

Salah satu sosok senior yang muncul sehabis meminum kopi malam tadi adalah Kak Anna. Sosok-sosk itu banyak mengajari bahwa menjadi senior tidaklah seenak kehendak diri sendiri untuk berbuat apa saja.

Namun apa saja yang mereka lakukan adalah hal yang mengagumkan di mata saya. Sebutlah kak Anna, awal yang sangat pertama melihat sosoknya, yang begitu kental dipikaran adalah bahwa kakak yang satu ini sangat mirip dengan kawan seperguruan bela diri di kampung. (Maaf kak Anna) Waktu itu keduanya sama-sama berjerawat, sangat mirip... bagi saya, merah-merah yang ada di wajahnya justru membuat semakin menarik, iya menjadi merona dan mempesona.

Bahkan sewaktu masih bersekolah di tingkat menengah atas, saya begitu iri melihat kakak penjaga perpus yang punya beberapa jerawat di wajahnya itu. “Sri, kak Hesti cantik banget ya, apalagi ada merah-merahnya. Jadi merona” kataku pada teman sekelas waktu itu, sehabis bersantai di perpustakaan sekolah.

Kenapa aku gak ada jerawatnya ya?” saya juga menanyakan hal bodoh itu. Mungkin lawan bicara saya saat itu sangat tidak berselera untuk menanggapi, namun dengan terpaksa dia tetap saja menjawabnya.

Kembali pada kisah di kota perantauan, setahun mengikuti kegiatan organisasi akhirnya dapat juga tugas wawancara kebagian Siakad. Saat itu saya sendirian, menanyai beberapa hal seputar lomba antar kampus. Dengan gugup yang sok santai, saya ketawa-ketiwi berusaha mencairkan suasana sebeku ujung alam mana saja. Setelah selesai wawancara, saya langsung menelpon kak Anna, bahwa wawancara sudah selesai. Lumayan singkat, saya diarahkan menyusun beberapa halaman yang penuh coretan tak terbaca itu.

Belajar merangkai tulisan berita dengan “pengalaman kilat” ketika mendengar berita di televisi,  saya pun berusaha menggerakkan ujung-ujung jari di keyboard yang berlubang-lubang seperti galian tambang itu. Saya terus mencoba menyelesaikan, walau sebenarnya saya tahu, apa yang sedang ditulis tidaklah berkualitas (sama sekali).  Beberapa kali mendapat materi jurnalistik pun seperti tidak nyangkut di kepala, entah apa yang saya pikirkan waktu itu, saat pemberian materi-materi yang mantap luar biasa itu berlangsung, kepala saya seperti daunt alas menangkap air hujan deras, tak berbekas.

Saat dikoreksi itulah, banyak kata-kata beliau yang menggugah rasa sadar. Banyak kalimat beliau yang terlontar ke telinga dengan ritme yang begitu cepat namun sama sekali tidak “typo” atau pun kepleset misalnya seperti “becak” menjadi “cicak”. Saya tidak ingat dengan jelas apa saja urutan kalimatnya. Sederet kalimat emas saat itu tentu ada sedikit rasa yang menyadarkan walaupun tidak dicatat sama sekali. (Maaf lagi, Kak Anna) tidak hanya fokus pada apa yang diucapkan, saya justru asik melihat mimik wajahnya yang begitu serius itu, seolah wajah Kak Anna tambah cantik, apalagi jabatannya sebagai senior redaktur Buletin Berantas waktu itu.

Bahwa saya mendapatkan pelajaran berharga bagaimana harus melihat sesuatu dengan jelas, dengan suatu dasar yang kuat. Bukan dari luar, melainkan dari dalam hati saya sendiri. Begitu, ketika melihat mata kak Anna berbicara di sela rapat mingguan, ucapannya sangat realistis, bahkan tidak menampakkan sedikit pun kalau wanita itu ternyata seorang penulis puisi. Puisi-puisinya jauh lebih banyak yang dibukukan ketimbang banyaknya huruf-huruf  yang saya susun berharap orang mengatakannya itu sebagai puisi.

Apa yang saya gambarkan di atas hanyalah sebagian partikel kecil dari wanita cantik bergelar pimpinan redaksi di dalam keorganisasian yang saya temui dan yang terus saya pelajari sekarang ini. Meskipun mungkin, orang-orang disekeliling saya terus mempelajari bagaimana cara saya mempelajari itu semua.

Harapan saya semoga tulisan ini bisa dikirim dan dibaca. Sudah itu saja. Memimpikan di lain waktu saya bisa menulis apa saja, seringan tawa kak Anna, sewaktu meminta persetujuan mengenai tulisan ini – mungkin itu juga harapan lainnya.

Penulis: Leni Wulandari, penyuka sastra, bergiat di LPM Sukma
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments