WISUDA; ANTARA CPNS, GURU DAN HIDUP YANG BENAR-BENAR JOMPLANG



MAHFUDISME - Hari ini, banyak kawan saya merayakan pemutaran umbul-umbul toganya yang kuning. Medsos mereka postingannya hampir sama, upload foto wisuda ditamburi kalimat-kalimat motivasi biar yang belum lulus kebakaran bulu ketek, macam saya.

Saya yang masih berperang melawang penyakit kemalasan dalam mengerjakan skripsi, cuma jadi penikmat foto mereka. Membayangkan bagaimana rasanya salebrasi pakai toga, foto bersama keluarga, dan tentu saja mengunggahnya ke segala penjuru lini masa milik saya. Ah, sudahlah.

Kemarin, keluarga saya terutama bapak nanyain kapan wisuda. Terus rekan kerja dan atasan di kantor juga menanyakan hal yang sama, lebih-lebih kakak ipar saya, “kalau kamu cepat wisuda, saya semakin cepat nyampe di Kalimantan,” bujuknya.

Semenjak diomongin begituan, akhirnya saya beranikan diri menghadap ketua jurusan saya, dan hasilnya saya dicarikan kisi-kisi judul skripsi. Disela-sela percakapan kami, yang paling bikin haru ketika beliau ngomong, “kamu bisa sampai 2023, kan kamu gak pernah ngambil cuti kuliah,” kata beliau. Saya hanya cengengesan.

Sedikit nyesel kenapa waktu musim dulu gak langsung tancap gas skripsi. Tahun 2016 saya sudah KKN dan selesai semua mata kuliah. Hingga tahun 2018 ini saya masih terjebak dan membiarkan kawan-kawan seangkatan saya sedikit-sedikit mampus dari kampus. Dan hari ini, tepat dimana mereka wisuda, habitat macam mereka semakin terancam kepunahan, dan saya termasuk spesies yang bebal.

Bagi saya, wisuda adalah party, dimana orang-orang didalamnya yang awalnya berpredikat “intelektual” akan kembali menjadi manusia primitive. Contoh, ketika mereka selesai wisuda, hampir rata-rata dari orang ini akan kembali ke kampung halamannya. Kondisi ini tentu berbeda ketika mereka masih semester 1 atau 6 yang hidupnya homogen. Ketika selesai salebrasi toga, mereka akan kembali menjadi makhluk heterogen yang akan menyesaki kampungnya masing-masing.

Terlepas dari wisuda hari ini, harapan banyak orang setelah diganjar gelar adalah mendapat pekerjaan, apapun itu, “intinya tidak lagi bergantung sama orang tua,” kira-kira begitu. Selesai wisuda, banyak dari mereka akan mencari peruntungan dengan mencopy beberapa lembar ijazahnya buat ngelamar pekerjaan. Apapun perusahaannya, mereka lamar. “intinya kerja,”.

Dari sekian banyak pekerjaan, takaran orang sukses di kehidupan kota Banjarmasin atau Banjarbaru, adalah menjadi Aperatur Sipil Negara (ASN) atau orang biasa menyebutnya PNS. Ketika mereka yang diwisuda hari ini dikemudian hari menjadi PNS, berarti mereka sudah mengangkat derajat hidup dirinya dan keluarganya. Problemnya, selama di bawah Kepemimpinan Presiden Jokowi, pengangkatan PNS hanya terjadi sekali, artinya 5 tahun sekali. Otomatis untuk menjadi PNS sangat sulit, belum lagi tampungan orang-orang yang diwisuda mulai tahun 2014-2018 semakin membludak. Maka, peluang untuk menjadi PNS sangat sulit. Memang sih tidak semuanya demikian, tapi saya yakin, banyak dari kaum serjana pengen sekali menjadi PNS.

Pada persoalan berikutnya, dan mungkin yang sangat mengkhawatirkan adalah, “rupanya jurusan itu sama sekali tidak berarti apa-apa ketika dihadapkan pada dunia kerja,” kata kawanku. Pontang-panting melamar pekerjaan dari perusahaan satu keperusahaan berikutnya. Coba kalian nyanyi lagunya Iwan Fals yang judulnya Serjana Muda. Nah, itu gambarannya..

Biasanya, apapun jurusan kuliah kita, setelah kita kalah bersaing untuk memperoleh pekerjaan di perusahaan, kita akan pulang “mengabdi untuk kampung halaman,”, atau paling tidak segala kegagalan kita dalam dunia kerja pasti akan terserap menjadi “guru,”. Ketika sampai di kampung, menjadi guru adalah pekerjaan mulia, pekerjaan yang tentu tidak sebanding dengan kerja kerasnya ngajarin siswa, sama bayaran yang ia peroleh setiap bulannya. Menjadi guru itu lintas jurusan bisa, gak percaya? Yaudah sana buktikan.
Setelah sekian tahun beradu nasib menjadi mahasiswa upnormal, pada akhirnya kita akan menjadi rakyat jelata. Belajar hidup bertetangga, mengurangi minum kopi sampai suntuk pagi, mengurangi foto-foto manyun, mengurangi posting ini dan itu, mengurangi belanja alat sulam alis, mengurangi wangi-wangian baju, dan pada akhirnya kita benar-benar menjadi manusia normal kembali.

Menjadi mahasiswa bukan perkara gampang, disana kehidupan absurd, mulut berbusa karena tertawa, jalan-jalan ngabisin duit orang tua, pacaran lalu makan di mall juga pakai duit orang tua. Jadi wajar saja, setelah serja, mereka akan kembali menjadi manusia normal. “berarti kamu belum normal, kan statusmu masih mahasiswa,”. Ya saya masih belum normal, dan terlalu ribet mikirin itu-ini-dan kamu.

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments