SURAT CINTA UNTUK DPRD KALSEL



MAHFUDISME -Bagaimana kabar bapak-bapak disana? Semoga masih nyaman duduk sebagai utusan rakyat, dan tentu saja bapak tidak lupa memikirkan nasib rakyat ‘kan, yang kian hari hidup semakin gila-gilaan? Sebagai wakil kami, tentu saja bapak mengerti permasalahan Daerah Pilihan (Dapil) yang bapak tangani. Anggaplah bapak sebagai konseptor, lalu bapak mengerti bahwa wilayah ini rakyatnya sering berak di sungai, maka bapak mencarikan solusi dengan membuat WC disetiap rumah-rumah, lalu sungai tak tercemar dan airnya nyaman buat kumur-kumur. Begitulah kira-kira, Pak.

Saya, dan tentu tulisan ini bukan perwakilan atas “semua rakyat”, saya hanya ingin berkeluh-kesah ke bapak, atau bahasa alaynya, saya ingin curhat ke bapak. Curhat semua hal, termasuk teman sejawat kami dan almamater kami yang berujung pada kata “ancaman penjara” karena laporan bapak-bapak lalu kemudian laporan itu dicabut.

Tentu saja saya bukan pembela mereka, lebih-lebih saat aksi itu, saya tidak dilapangan dan hanya selangkangan di kursi tempat bekerja. Curhatan ini atas nama peribadi, dan atas nama saya yang masih menyandang kata “mahasiswa” dan kuliah dikampus Universitas Islam Negeri Antasari.

Setelah sekian hari dari kejadian itu, saya selalu berusaha untuk diam dan tak ingin menulis apa saja yang berhubungan dengan aksi tersebut. Namun dalam kepala saya, tiap hari semakin tak karuan. Lebih-lebih ketika saya ingat salah satu dari yang ditetapkan tersangka adalah kawan yang begitu akrab dengan saya waktu dulu.

Saya tahu, saya juga telah menonton video dan foto-foto aksi itu. Ada dari mereka yang mancak-mancak dalam ruang sidang paripurna, membanting papan nama, dan konon katanya nendang pintu ruang paripurna bapak. Karena protes “keras” inilah kemudian terjadi kericuhan, penangkapan, lalu penetapan tersangka.

Di media sosial, sebutlah seperti Facebook, banyak yang mencemooh tindakan anarkis itu. Katanya, tindakan itu tidak mencerminkan mahasiswa, tidak mencerminkan keintelektualan kita. Lalu dengan video banting papan nama itu, komentar-komentar di goreng supaya tambah sedap. Pandangan nyinyir terhadap mahasiswa seolah posisi mahasiswa waktu itu adalah salah total dan tak perlu mendapat simpati.

Memang, tindakan banting-bantingan itu kurang baik, bahkan ada yang komentar “itu yang kamu banting pakai uang rakyat” katanya tegas. Saya ngelus-ngelus siku tangan baca komentar demikian. Saya ngarep, yang komentar macam ini pernah kuliah dan pernah aksi. Tapi jika kuliah lalu pulang, wajar saja komentar demikian.

Alhamdulillah, Pak. Saya juga sudah membaca soal pencopotan laporan itu dan kawan-kawan saya ini cukup laporan tiap hari ke pihak yang berwajib. Lucunya, pak, jika dihitung-hitung kerugian dengan embel “duit rakyat” itu, mulai dari papan nama, ensel pintu yang katanya rusak, ngomong-ngomong saya bisa ganti. Atau minimal kami batungan buat gantiin karena bapak tidak terima namanya dibanting. Tapi masak ia, mahasiswa macam kami jadi “tahanan kota” yang tiap malemnya cuma nongkrong.

Terus pak, jika saya bilang seperti itu, pasti ada yang bakalan komentar begini “Bukan masalah uang, tapi harkat dan martabat Dewan harus dijaga, dan mahasiswa harus beretika” kira-kira begitu yang bakalan keluar bahasanya, pak. Cuma ya sudah lah. Anggaplah mahasiswa salah dan sampeyan benar. Saya yakin deh, bapak dulunya pernah ngampus ‘kan? Pernah ngampus di UIN (dulu IAIN) gak, Pak? Itu loh kampus yang katanya alumninya sering dikira pintar baca doa. Pernah, Pak? Kalau sampean pernah ngampus di kampus ini, tahu dong harga mei instan, pasti bapak bakalan tahu harganya iwak karing sekilo berapa. Cuma kalau bapak tidak pernah ngampus di kampus saya, misalnya bapak kuliah diluar negeri, terus nongkrongnya bukan di amperan macam Pasar Lama, pastilah bapak tak tahu sulitnya hidup di negeri seribu taman ini.

Oya, pak, kita kembali ke kawan-kawan mahasiswa tadi. Ketika memikirkan mereka yang kini menjadi tahanan kota (meski bebas tanpa kurungan), saya jadi teringat apa yang diucapin Orson Welles, katanya “Keadilan tidak menemui siapapun, tapi ia akan menemui nasib baik atau buruk”.

Sangat tepat bacot Orson ini, Pak. Di jaman edan-edanan macam sekarang, keadilan macam angin yang entah berdiam dibagian mana. Kesakralan Pancasila yang memuat kata “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” lalu terpeleset menjadi “Keadilan Bagi Siapa Saja Yang Berkuasa”. Loh, saya gak menghina Pancasila, saya ngomong gini karena banyak kasus-kasus besar yang merobek hak rakyat lalu berlalu bagai angin. Iya deh, saya ambil contoh begini.

Saya pernah membaca tulisan di Kanal Kalimantan yang memberitakan Perjalanan Fiktif keloga Bapak di Kabupaten Banjar. Itu yang jalan bukan satu atau dua orang saja, pak. Saya kurang tahu persisnya berapa. Cuma jika melihat anggaran untuk perjalanan dinas dewan, sekali jalan, dompet saya tak muat. Lalu kasus itu terhenti di kejaksaan. Dan sekarang gimana nasibnya saya kurang tahu, maklum, siapa yang tahu angin, kecuali hanya bisa merasakan? Biarlah kasus itu berlalu begitu saja, intinya ‘kan rakyat cukup tahu saja meski gak selesai-selesai.

Perjalanan Fiktif macam ini, apakah tidak memakai uang rakyat, Pak? Yang sampean pake buat kunjungan atau meninjau, atau apalah itu duit rakyat, misalnya duit dari pajak rumah, pajak kendaraan dan iuran-iuran lainnya yang datang dari keringat rakyat? Terus bila dibandingkan, rugian mana, banting papan nama atau perjalanan fiktif? Saya yakin, jika duit perjanalan fiktif ini buat beli papan nama, insyaallah sampai tukang bersih-bersih di kantor bapak bakalan kebagian papan nama. Tapi yaudah, anggaplah kasus perjalanan fiktif itu, lebih bermartabat. Kan gak ketahuan rakyat. Sementara kawan-kawan saya yang kemarin ada yang memvideokan ketahuan, lalu menjadi orang tak beradab dan tak beretika.

Oke pak, itu saja yang mau saya curhatkan ke sampean. Sekali lagi, saya tak menyalahkan bapak, saya cuma gak tahan mendam uneg-uneg dalam kepala sendirian. Kalau pun ada bahasa yang saya gunakan diatas menyinggung hati bapak, ya maafin saya. Tolong jangan laporin polisi, karena sekarang saya sibuk ngumpulin jujuran.

Terakhir nih pak, tolonglah pangkas perjalanan dinas sampean, alokasi perjalanan dinas sampean buat nambal jalan ‘kan lebih berfaedah. Ya bukan apa-apa atau saya mau mengatur bapak. Sentimen masyarakat untuk percaya sama orang macam bapak sekarang menurun, lebih-lebih ketika kemarin dengar kabar 41 dewan di Malang tamasya ke KPK. Tapi saya yakin kok, bapak pasti amanah, bapak pasti tak menghambur-hamburkan duit, bapak pasti selalu bersama rakyat. Nah, kalau bapak emang bersama rakyat, saya mau nantangin bapak, bisa gak ngeringanin biaya jujuran saya? Berani gak? Yaelah pak, duit 25juta dari kantong bapak itu mah gak ada apa-apanya. Pak lah lah lah…

Penulis: Moh Mahfud
Editor: MAHFUDISME

Post a Comment

0 Comments